[4] Malam Abadi

7.1K 877 176
                                    

Seandainya kamu tahu nyeri di wajahku ini belum seberapa dibanding apa yang telah mereka lakukan terhadap gadis yang sekarang dipangkuanku ini. Lihatlah, Hana. Gadis ini mempunyai rambut lembut seperti rambutmu. Aura tenang seperti auramu. Juga rasa putus asa yang sama denganmu. 

Seandainya kukenalkan seorang Alka Senarya Al Lail padamu, pastilah engkau langsung bisa akrab dengannya. Gadis ini orang terpenting di hidupku. Dia adikku, Hana. Adikku yang malang. 

Aku belum bisa menceritakan apa pun padamu. Kamu tidak perlu terlibat lebih jauh lagi. Cukuplah kamu sebagai penyembuh luka yang hobi bersarang di tubuhku. Juga luka yang bersembunyi dalam hidupku. Pun kamu belum boleh tahu tentang bagaimana perasaan ini tertuju kepadamu, Peri Senja. 

Sudah dua bulan lebih sepuluh hari lima jam enam menit enam belas detik aku mengenalmu. Selama itu pula aku merasakan bagaimana semesta masih berbaik hati mempertemukan kita. 

Jangan pedulikan bagaimana setiap sore aku bisa menemuimu. Ataupun bisa bebas mengajakmu kemana pun aku mau. Ya, terserah aku. Karena kamu tidak pernah meminta apapun. 

Ketika aku membuka gerbang rumahmu--ingin menemuimu seperti biasa--tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada seorang gadis yang duduk di atas kursi roda bersama kotak P3K-nya, tidak ada anak kecil yang ingin diobati, dan tidak ada siapapun. 

Aku mengetuk pintu rumahmu. Tidak ada yang menyahut. Hanya keheningan yang menjawab salamku. Kuputuskan menunggumu di balkon rumahmu. Pasti kamu sedang pergi sebentar, 'kan? Aku di sini memandang senja sendirian, menunggu seorang gadis pemilik mata teduh sehangat senja. Namun, sampai mega merah memudar di atas sana, berganti pada ungu kelabu yang muram, kau tak kunjung datang. 

Aku melangkah gontai pulang. Aku tidak menginap di rumah nenek, aku harus menjaga adikku. 

"Koko? Kenapa wajahnya lesu?" tanya seorang gadis yang sekarang tengah duduk di kursi ruang tamu. 

"Koko kehilangan Peri Senja hari ini." 

"Apakah besok dia akan kembali?" tanyanya khawatir. 

"Semoga." 

Aku sering menceritakan tentangmu pada Alka, jangan malu-malu kalau nanti kamu bertemu dengan adikku itu. Aku jamin, kamu pasti senang. 

Aku tidak membenci malam. Akan tetapi, malam ini aku merasa dadaku sakit. Seakan senja tadi menyiramiku dengan ramuan aneh yang baru terasa efeknya ketika ia pergi. Entahlah, aku tidak mengerti jenis perasaan macam apa yang kini kurasakan. 

Aku benci malam ini. 

***

Esoknya, aku kembali mengunjungi rumahmu ketika sore dan kudapati ibumu sedang mengunci gerbang hendak pergi. 

"Sore, Tante," sapaku. 

Ibumu sedikit terkejut melihatku. Mungkin karena beliau ingin cepat-cepat pergi. 

"Nak Andaru? Sudah baikan?" Dia justru mengkhawatirkanku. 

Aku bisa maklum karena beberapa plester dan kain kasa masih menghiasi tubuhku. 

"Sudah, Tante. Hana ada?" 

Raut wajah ibumu berubah. Ada kilatan khawatir yang begitu bisa aku baca. Aku tetap menunggunya menjawab. 

"Hana sedang berada di rumah sakit." 

Sekarang, kupastikan raut wajahku yang berubah. 

"Kenapa? Dari kapan?" 

"Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan. Kata dia, seperti tidak bertenaga. Dua hari yang lalu Tante larikan ke rumah sakit." 

Menyakitkan, Hana. Menyakitkan melihat wajah ibumu hampir menangis. Menyakitkan mendengar kamu tidak baik-baik saja. 

SENJANDARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang