1(end)

60 12 3
                                    

Erillia melirik secarik kertas di tangannya sekali lagi. Memastikan kalau-kalau alamat yang ia jumpai ternyata keliru. Sesekali angin yang menerpa hampir menerbangkan kertas mungil yang sudah agak lecek.

Setelah memastikan kalau ia tak salah alamat, dengan setengah keraguan Erillia menekan bel di hadapannya dua kali.

Tak ada jawaban, tapi Erillia yakin ia mendengar suara langkah mendekat enam detik setelahnya.

Pintu terbuka dan sosok pemuda yang ingin Erillia temui muncul. Detektif Mackean yang terkenal kini di hadapannya. Senyum kikuk Erillia mengembang.

"Selamat siang, tuan Mackean." Erillia berkata sopan.

Pemuda dengan 'wajah bangun tidur'-nya memerhatikan Erillia selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab sapaannya. "Erillia..?"

Erillia memiringkan kepalanya ke kanan 30° tanda ia tak mengerti. Bagaimana Detektif Mackean bisa tahu namanya? Bukankah ini pertama kalinya mereka bertemu?

"Oh?" Erillia memekik. "Anda tahu nama saya, tuan?"

Mackean menatap Erillia aneh. "Ah, aku ini Detektif, jadi, tak aneh jika aku bisa langsung mengetahui namamu." Kemudian ia menggaruk belakang lehernya dengan nada suara ragu.

Tak ada yang menyahut. Lima detik setelah keheningan, Mackean mengangkat suara.

"Jadi, ada perlu apa? Jika kau mau memintaku menyelesaikan kasus, apa kau sudah membuat janji padaku sebelumnya?" Mackean bersandar di ambang pintu. Piyama biru bergaris-garis putihnya kini tampak seluruhnya. "Tapi aku tak ingat ada telegram ataupun telepon tiga hari terakhir ini."

"U-Uhm..." Erillia tampak bingung menjawab pertanyaan beruntun dari sang Detektif. Ia tak tahu kalau harus membuat janji terlebih dahulu sebelumnya.

"Tampaknya kamu belum membuat janji." Mackean beranjak masuk dan mulai menutup pintu.

Dengan wajah menunduk Erillia mundur beberapa langkah selagi Mackean mencoba menutup pintu. Pintu terhenti sesaat. Mackean menatap payung dan mantel Erillia.

"Kau dari mana?"

"Eh? Umm... Distrik C-03, Purple Grace."

Mackean membulatkan matanya takjub. "Oh wow, itu jauh sekali. Tiga kali perjalanan naik kereta. Apa kamu memiliki kerabat di Distrik bagian N ini, nona?"

Erillia menggeleng sebagai jawaban.

"Dengan kata lain kamu menghabiskan 9 jam perjalanan kesini hanya untuk bertemu denganku?"

Kali ini Erillia mengangguk.

Mackean menghela napas. "Kalau begitu silahkan masuk dahulu. Diluar pasti dingin, salju mulai mencair masuk ke dalam syalmu. Aku akan membuatkanmu cokelat panas."

"Terima kasih."

Erillia duduk di sofa kulit di ruang tamu. Suara percikan api dari perapian menambah kesan hangat dalam ruangan. Ruangan ini hening sekali. Hanya ada suara jam dinding dan deru filter akuarium.

Empat menit setelah Erillia mendaratkan pinggulnya, Mackean datang dengan dua cangkir cokelat panas di tangannya.

"Terima kasih, tuan." Erillia berseru cerah.

Mackean duduk di sofa yang satunya dan berpangku tangan. "Lyon saja tidak apa-apa."

"Oh, baik, Lyon."

"Kuharap kamu tidak terganggu dengan piyamaku."

"Saya tidak keberatan, sungguh."

"Kamu bilang tadi kamu datang dari Distrik C-03, kenapa sampai nekat datang jauh-jauh kemari?" Lyon memulai obrolan.

Missed FragmentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang