Ayah, Hujan Kali Ini Aku Bahagia

87 9 17
                                    

Ini hanya cerpen pas seleksi lomba di kabupatenku. Masih sangat amatiran, tapi aku mencoba memperbaikinya.

Selamat membaca! 😊😉😉

***

Angin mengoyak daun-daun kering di luar sana. Gemuruh terdengar bersahutan. Mataku menatap nanar tetesan air yang bertabrakan dengan aspal.

Hujan turun pagi ini. Aku berjalan gontai menuju pintu. Membukanya perlahan dan menarik napas dalam-dalam. Aroma khas hujan berdesakan masuk ke paru-paruku.

Awal hari yang membosankan. Kutatap lagi tetesan air yang lama-kelamaan menjadi banyak itu. Aku bosan.

"Leona! Ayo sarapan! Nanti Ayah akan mengantarmu!" Teriak suara yang sangat familiar di telingaku. Ayah.

Aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Denting sendok menyambutku ketika sampai di ruang makan. Aku menatap kursi-kursi di sana. Ada lima kursi dan hanya terisi dua. Aku dan Ayah.

Tidak ada satupun dari kami yang berbicara. Tidak ada. Tanganku kini menyendok sarapan. Baru beberapa suap sarapan yang masuk ke mulutku, aku kembali menatap diam-diam dua kursi dihadapanku dan satu di sampingku. Sangat berharap, bahwa akan ada seorang lagi yang menduduki salah satu kursi tersebut.

"Ada yang salah?" Tanya Ayah, menghentikan kunyahanku. Ternyata diam-diam ia memperhatikanku.

"Nggak. Nggak ada." Kataku tanpa menatap Ayah. Terlalu sibuk melanjutkan kunyahanku.

Ya, inilah kami. Keluarga. Terjebak dalam rasa canggung. Rasa yang tumbuh, dan semakin tumbuh ketika aku kehilangan sosok yang selalu menghangatkanku.

Aku tak begitu mengenal Ayahku yang sekarang. Hanya ada percakapan-percakapan biasa di antara kami. Tidak ada yang khusus.

Orang lain bahwa ayahku hebat, ayahku luar biasa, ayahku orang yang sukses. Aku tak beranggapan seperti itu. Setiap kali aku memandang ruang kerjanya, hanya ada pantulan siluet laki-laki dewasa yang selalu sibuk dengan tumpukan berkas dan laptopnya. Selalu berjalan tegap dan bicara dengan segala wibawanya

Aku tak mengenalnya dengan baik. Aku sulit akrab dengannya karena ia memutuskan untuk membuatku gadis pemutung seeprti sekarang. Aku malas mencoba akrab dengannya. Tapi akhir-akhir ini kurasa Ayah mecoba dekat denganku. Ia selalu menyempatkan diri mengantarkanku sekolah setiap pagi. Tapi, pembatas tak kentara di antara kami belum juga hilang. Dan itu semua itu salahku  aku terlalu tidak peka. Dan egolah yang menguasaiku sekarang.

***

"Mengapa nilai-nilai kamu turun, Leona?" Tanya Ayah sambil sesekali mengalihkan pandangannya dari jalan di depan. Tangannya yang kokoh mengetuk-etuk setir dengan gelisah.

Pagi kelabu. Pagi yang ditemani rinai hujan lagi. Dan Ayah mengantarku ke sekolah. Lagi.

"Aku cuma bisa kayak gitu." Ucapku acuh tak acuh. Ayah diam tak menanggapi.

Aku memandangi titik-titik hujan di luar sana. Hari ini masih hujan. Dan aku dipenuhi rasa dilema. Seperti titik-titik hujan yang kian membesar. Rasa dilemaku kian besar. Dan rasa bersalahku kian tak terbendung.

"Sudah sampai." Ucapan ayah membuyarkan lamunanku.

"Ya..." aku turun dari mobil tanpa sedikit basa-basi.

Ayah, apa aku terlalu jahat?

Ayah, lidah ini terlalu kelu untuk bilang "maaf"...

***

"Le, kamu sudah ngerjain PR Kimia?" Tanya Fatimah yang kini menyambutku di bangku kami. Aku menggeleng lemah lalu segera menghempaskan diri di kursiku.

Ayah, Hujan Kali Ini Aku BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang