Awal Kisah [Versi Lama]

229 10 1
                                    

GAGANG koper itu ia genggam erat, melewati kerumunan manusia yang berjalan kesana kemari. Saat tiba di luar stasiun, dia berhenti. Laki-laki berkaos hitam dan berjaket denim itu meraih ponsel yang ia taruh di saku celana jeans hitamnya.

"Halo, Om Cahyo? Om di mana? Farel udah ada di luar stasiun nih!" serunya dengan ponsel menempel di telinga.

"Oh ya? Waduh, maaf yo. Om masih di jalan. Tadi kejebak macet. Sebentar lagi sampai kok, tunggu yo," kata orang di seberang telepon.

Farel mendengus malas. "Buruan, Om. Panas nih. Farel tunggu. Cepet!"

Setelah mengatakan itu, ia mematikan teleponnya. Ia tidak peduli pamannya tersebut membalas perkataannya atau tidak. Farel gerah. Ia ingin cepat-cepat masuk mobil, tertidur sambil menikmati sejuknya AC mobil setelah melakukan perjalanan yang melelahkan.

Dari kejauhan, tampak mobil pick up hitam mendekat ke arahnya.

Mobil siapa tuh? Jelek amat. Gak pantes buat jemput orang di stasiun. Batin Farel.

Semoga itu bukan mobilnya O-

"Farel!"

Om Cahyo.

Pria paruh baya turun dari mobil pick up tersebut begitu berhenti di depan Farel.

Farel mendengus malas. Kalian tahu? Dari tadi Farel membayangkan mobil yang akan menjemputnya itu BMW atau paling tidak, mobil sedan lah. Eh, nggak taunya pick up.

"Farel, piye kabarmu?" tanya Om Cahyo menepuk pundak Farel dengan senyum hangatnya.

"Nggak usah basa-basi deh, Om. Farel tuh capek tau nggak? Pengen cepet-cepet tidur," jawab Farel ketus.

Om Cahyo tertawa. "Ya udah, ya udah. Ayo, naik ke mobil. Man, tolong bantu bawa barang-barang Farel."

"Siap." Tugiman, teman kerja sekaligus tetangga Om Cahyo, menurutinya. Koper dan ransel Farel di taruh di bak terbuka.

"Kamu mau di depan atau di belakang?" tanya Om Cahyo pada Farel.

Pilihan yang berat bagi Farel. Sebenarnya kalau boleh, Farel lebih ingin naik mobil yang ada AC-nya. Namun, akhirnya ia menjawab, "Di belakang aja, Om."

Om Cahyo mengangguk. Ia naik ke bagian belakang mobil.

"Kenapa harus mobil pick up sih, Om?" tanya Farel dengan wajah bete. Kemudian ia memanjat naik ke mobil bak terbuka, menyusul pamannya.

"Lha mau gimana lagi? Punyanya ini e," jawab Om Cahyo terkekeh.

Farel cemberut. Punggungnya ia sandarkan di kepala mobil.

Setelah semuanya siap, mobil yang disupiri oleh Tugiman pun melaju. Sepanjang perjalanan, Farel melihat pemandangan sekitar.

Yogyakarta.

Ia mendengus. Selama sekitar sebulan ke depan, ia harus berada di tempat ini. Tinggal bersama paman, bibi dan sepupunya. Mengikuti semua kegiatan di tempat ini.

Sejujurnya, Farel tidak suka tempat ini. Bukan karena Yogya tidak indah, melainkan rumah Om Cahyo itu jauh dari hiruk-pikuk kota Yogyakarta. Lebih tepatnya, di sebuah desa yang penuh dengan kegiatan sosial dan keagamaan.

***
Cerita 29 Hari versi baru...

Semoga kalian suka ^^

5 Oktober 2018

29 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang