Aku menyeret langkah dengan lemas di lobby sekolah, ini seperti perjalanan panjang dari parkiran menuju kelas. Ini sudah hari ketiga aku menahan diri untuk tidak menyentuh makanan. Semua ini kulakukan agar Daddy berubah pikiran dan tidak jadi mengirimku ke luar negeri. Tapi sepertinya percuma, keputusan Daddy tak pernah bisa diganggu gugat. Sepertinya aku menyerah saja.
"Hidup gue gini banget, ya," pikirku, merutuki keadaan, menjatuhkan tubuhku di kursi, merasa semua energi tersebut habis.
Billa melirikku dari meja sebelah. "Lo kenapa? tanyanya sambil menyentuh keningku, alisnya berkerut. "Astaga, lo panas banget!" ucapnya dengan nada terkejut.
Aku mendengus, mencoba menyembunyikan ketidaknyamananku. "Apaan sih!"
Billa memutar bola matanya, jengah dengan sikapku yang keras kepala. "Kalo dibilangin, ya lo!" ucap Billa kesal.
Aku menghela napas panjang, "Bil, nanti istirahat anterin gue ke kantin, ya?" pintaku dengan suara serak.
"Tuh kan, apa gue bilang! Mana mungkin lo bisa jauh dari makanan!" balas Billa merutukiku.
Aku hanya bisa tersenyum lemah, terlalu capek untuk menjawab. Aku menaruh tasku diatas meja, menyandarkan kepalaku menyamping, kemudian tertidur. Tidak peduli dengan bunyi bel berdering yang menandakan pelajaran akan dimulai.
***
Aku terduduk lemas di bangku kantin, menunggu Billa yang sedang mengantre untuk memesankan makanan. Perutku benar-benar melilit, ditambah kepalaku yang pusing bukan main.
"Lama banget sih," gerutuku pelan.
Tanpa peringatan, sebuah suara tiba-tiba memotong lamunanku, membuatku sedikit tersentak.
"Sendirian aja, neng?" sapa seseorang dengan tersenyum lebar. Raveno dengan gaya khasnya, muncul entah dari mana.
"You think?" jawabku malas, tidak berminat untuk berlama-lama dalam obrolan ini. rasanya berbicara pun butuh tenaga yang tak kumiliki saat ini.
Raveno mengamati wajahku dengan cermat, "Lo kenapa lemes banget?" tanyanya sambil mendekat, kemudian menempelkan punggung tangannya ke dahiku. "Lo sakit??" Raut wajahnya langsung berubah cemas.
Aku berdecak pelan, "Lebay lo!" balasku jutek. Tapi Raveno tak terpengaruh, matanya tetap memperhatikan gerak-gerikku dengan waspada.
Tak lama, Billa muncul dengan nampan berisi dua porsi nasi goreng. "Eh, ada Coach Veno," sapa Billa dengan nada ceria, sama sekali tak peka dengan atmosfer suram yang menyelimutiku. Aku hanya mendesah, lalu mengambil sendok, mencoba makan meski rasa mual masih bergelut di perutku.
Satu suap pertama, dan rasanya sangat enak. Aku langsung memakannya dengan sangat lahap, berharap makanan ini bisa mengatasi perutku yang menggerutu sejak kemarin.
"Pelan-pelan kali." Omel Billa namun tak kuhiraukan
Namun tiba-tiba, rasa sakit di kepala dan perutku semakin intens. Segalanya berputar cepat, dan rasa mual semakin mengaduk tenggorokanku.
"Lo kenapa??" tanya Raveno, kali ini terdengar lebih serius.
Aku mencoba merespon, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokanku. Pandanganku mulai kabur, semakin lama semakin buram. Tubuhku seolah hilang kendali, kemudian semua di sekitarku menjadi gelap.
"Sharin!" hanya suara itu yang mampu kudengar, bersamaan dengan kesadaranku yang menghilang.
***
Saat kubuka mataku perlahan, ruangan ini terasa asing, penuh dengan aroma antiseptik dan suara mesin-mesin yang berdetik pelan. Kenapa aku ada di sini? Suasananya terasa berat. Sayup-sayup, aku bisa mendengar suara pertengkaran yang memecah keheningan.
"Ini semua gara-gara kau, Javier!" Suara Mommy, terdengar marah. "Lihat sekarang! Apa kau tidak kasihan padanya?" lanjut Mommy dengan nada semakin tinggi.
"Turunkan nada bicaramu, Kenzie!" bentak Dad, suaranya dalam dan penuh tekanan.
Astaga, dalam kondisi seperti ini mereka masih saja bertengkar. Aku ingin memanggil mereka, tetapi suaraku terlalu kecil, tertelan oleh keributan mereka. Aku menyenggol gelas alumunium di samping tempat tidurku dan menjatuhkannya.
PRANGG!
Suara nyaringnya membuat mereka terdiam, kemudian dengan cepat menghampiriku dengan mata penuh kekhawatiran.
"Sayang??" ucap Mom lembut.
"Mom ini dimana?" tanyaku, suaraku masih serak dan lemah.
"Di rumah sakit sayang," jawab Mommy.
Dad mendekat, suaranya lirih saat ia berkata, "Sayang, Daddy minta maaf ya?" ucap Daddy mengenggam tangan ku. "Soal waktu itu, Daddy bohong tentang rencana ingin menaruh kamu ke luar negeri. Maafin Daddy, ya?" lanjutnya.
Aku tersenyum kecil, lega namun juga kesal. Kalau tahu begini, aku tidak perlu melalukan hal nekat itu.
"Au amat ah, Dad!" jawabku, berpura-pura merajuk pada Dad.
Daddy terkekeh pelan, "Kamu mau apa? Daddy beliin apa aja deh," tawar Daddy, mencoba merayuku.
"Hmm mau apa ya?" ucapku sambil memainkan rambutku. "Aku mau lepas ini, Dad!" ucapku sambil menujuk ke selang infus yang terpasang di lenganku.
"Ehh, gak boleh," jawab Daddy menggeleng cepat.
"Yahh," gumamku kecewa. Jujur aku tidak betah dengan semua alat ini.
Aku menggigit bibir, memikirkan sesuatu yang bisa kuinginkan. "Aku mau pizza deh, tapi yang jumbo ya?" ucapku sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigiku.
Dad tertawa kecil. "Siap, Daddy's girl!" ucap Daddy sambil mengancak-acak rambutku, membuatku tertawa juga.
"I'll be right back, Sweety!" ucap Daddy, kemudian meninggalkan ruangan.
"Ok!" jawabku sambil mengacungkan jempol.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME
Fiksi RemajaDalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayang-bayang kekacauan. Suara teriakan...