Aku terduduk lemas di kursi, kepalaku pening. Pandanganku tertuju pada Elisa yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, infus terpasang di tangannya yang kecil. Sudah empat jam sejak dokter memberinya obat penurun demam, dan sekarang tubuhnya terlihat sangat lemah.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan suara Langkah kaki tergesa-gesa terdengar. Aku menoleh dan melihat Daddy berlari masuk.
"Elisa!" seru Daddy, penuh kekhawatiran, sebelum segera menghampiri tempat tidur Elisa. Aku hanya bisa memutar bola mataku, menahan desah frustasi. Seperti biasa, datang di saat-saat kritis.
"Kamu kenapa, sayang?" Daddy memeluk Elisa dengan erat.
Elisa membuka mata, menatapnya. "Mommy mana, Dad?" tanyanya, suaranya terdengar begitu rapuh.
Daddy terdiam sejenak, lalu dengan lembut mengelus rambut Elisa. "Sayang..." gumamnya, menghindari pertanyaan Elisa sambil terus memeluknya erat. "Kamu istirahat ya?"
Elisa hanya mengangguk pelan, lalu memejamkan mata lagi. Dalam hitungan menit, dia kembali tertidur, napasnya terdengar lebih tenang.
Sepuluh menit berlalu, aku duduk diam memerhatikan Daddy yang sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat di layar, entah apa yang dia lakukan.
"Daddy?" panggilku, merasa kesal melihatnya begitu cuek setelah Elisa tertidur.
"Yap!" jawab Daddy, mengangkat wajahnya sebentar dari layar, tampak sedikit terkejut mendengar suaraku.
"Ikut aku!" ucapku, dengan cekatan menarik tangan Daddy membawanya keluar dari ruangan Elisa. Aku melepaskan tangan Daddy saat di depan pintu Elisa.
"Ada apa?" tanya Daddy mengerutkan keningnya. Tatapannya bingung, tapi juga agak datar, seperti sudah terbiasa menghadapi emosiku.
"Mom ke mana??" tanyaku menginterogasi.
"Dia pergi ke Paris. Disana ada show, katanya," jawab Daddy dengan nada biasa, seolah-olah perjalanan Mommy ke Paris bukan masalah besar.
"Kenapa Daddy nggak cegah Mom?" desakku, nadaku meninggi.
"Kamu tau sendiri, Mommy itu keras kepala," balas Daddy dengan suara yang lebih tenang, seperti mencoba meredakan emosiku yang meledak-ledak.
"Tapi Dad, lihat Elisa sekarang! Dia terus manggil-manggil Mom! Dia butuh Mom!" suaraku mulai bergetar, tak bisa lagi menahan perasaanku.
Daddy mendesah, matanya sejenak tertunduk. "Daddy udah coba telpon, tapi nggak diangkat," katanya, seolah dia tidak lagi peduli atau sudah terbiasa dengan absennya Mommy.
"Huft! Sama saja!" aku menghentakkan kakiku, frustasi dengan ketidakpedulian ini. Amarahku mendidih, dan tanpa menunggu lagi, aku berbalik, meninggalkannya di sana.
"Sharin, mau ke mana?" panggil Daddy.
"Gak penting, Dad!" teriakku, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Rasanya percuma. Aku terus berjalan, mencoba menjauh dari semua ketidakberdayaan yang kurasakan.
Saat aku berada di parkiran rumah sakit, baru saja hendak memasuki mobil, tiba-tiba terdengar suara keras di sebelahku.
"BAAA!" suara itu membuatku terlonjak kaget. Ternyata, laki-laki usil di depanku adalah Raveno.
"Tai lo! Nggak ada kerjaan lain selain ngagetin orang lo, ya!" ucapku jengkel menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Raveno hanya terkekeh, menampakkan deretan giginya yang putih. "Heheheh.."
Aku melipat tangan di depan dada, berusaha menenangkan diri dari kejutan tadi. "Tau dari mana gue disini?" tanyaku sambil menaikkan alis.
Raveno mengangkat bahu dengan senyum penuh godaan. "Kasih tau gak yaa?" balasnya, meledek seolah-olah sedang mempertimbangkan jawabannya dengan serius.
"Terserah lah!" ucapku membuang muka, tidak ingin melanjutkan obrolan yang jelas-jelas dia sengaja buat untuk menggodaku.
"Ngambek nih?" Raveno menarik hidungku.
"Apaan sih, woy?" aku mendorong tangannya menjauh dari wajahku.
Mendadak, ekspresi wajah Raveno berubah serius. "Lo ada masalah? Cerita dong sama gue," tanyanya sambil menatapku dengan tatapan yang lebih lembut.
Aku mendesah panjang. "Mommy gue baru aja berangkat ke Paris, dan sekarang Elisa lagi sakit," jawabku lesu.
"Oh," jawabnya singkat.
Aku mengernyit, menatapnya dengan kesal. "Oh doang kali?" seruku, merasa tidak puas dengan reaksinya yang datar.
"Ya terus gue harus bagaimana?" tanyanya polos.
"Hibur Elisa kek!"
Raveno tertawa kecil. "Ya udah, ayo!" jawabnya langsung berjalan menuju pintu masuk rumah sakit tanpa banyak pikir lagi.
Aku menghela napas lega dan mengikuti langkahnya. Bersama Raveno, aku kembali ke kamar Elisa, berharap kehadirannya bisa sedikit mencerahkan suasana hati adikku yang sedang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit.
Sesampainya di kamar, aku melihat Daddy sedang menyuapi Elisa dengan penuh perhatian.
"Om?" Raveno menyapa, suaranya riang.
Daddy menoleh, tersenyum saat mengenali suara itu berasal dari Raveno. "Oh, Raveno!"
"Kak Raveno!" teriak Elisa dengan semangat yang tak disangka-sangka.
Raveno mendekat, mencolek hidung Elisa sambil tersenyum. "Hai, manis? Kakak bawa sesuatu, apa coba tebak?"
Elisa memiringkan kepala, penasaran. "Gak tau."
"Tadaaa!" ucap Raveno, mengeluarkan sebuah boneka penguin lucu di balik punggungnya.
"Yeah! Boneka!" seru Elisa girang, langsung memeluk boneka itu erat-erat.
Aku dan Daddy tersenyum melihat betapa senangnya dia. Suasana kamar rumah sakit yang tadinya sedikit muram kini terasa lebih cerah.
"Sharin, Daddy mau keluar sebentar, ada urusan mendadak," kata Daddy sambil menepuk pundakku lembut. "Raveno, tolong jaga kedua princess ini, ya?" tambahnya sambil mengedipkan mata penuh godaan.
"Siap, Om!" jawab Raveno mantap, mengedipkan matanya juga seolah meniru gaya Daddy.
Aku menatap Daddy dengan alis terangkat. "Daddy mau kemana?" tanyaku sedikit khawatir.
Daddy tersenyum lembut. "Sebentar sayang, ada urusan." ucap Daddy tersenyum lalu mencium kedua pipi Elisa dan mengecup keningku sebelum melangkah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME
Teen FictionDalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayang-bayang kekacauan. Suara teriakan...