[Katelyn Millia]
Pukul satu malam, aku duduk di atas sofa, menatap televisi yang menyiarkan film-film spesial tahun baru, walau aku tidak menikmatinya. Pikiranku melayang kepada putriku di rumah temannya, sedang berpesta seperti anak remaja pada umumnya, dan suamiku yang entah sedang melalukan apa setelah isu kesalahan teknis pada mesin pembangkit tenaga listrik.
Sewaktu suara mobil terdengar diparkir di halaman depan, aku berlari membuka pintu. Terlihat sosok Richard dengan penampilan kusut, seragam teknisi masih melekat di badannya. Wajahnya yang kelelahan membuatku mendekat tanpa perintah, menuntunnya masuk ke dalam rumah dan membiarkan dia duduk di atas sofa ruang tamu.
Kumatikan televisi dan duduk di sofa seberang Richard, membiarkan dia mengambil napas sebelum menawarkan diri untuk membuatkannya sesuatu. Dia menolaknya--tentu saja, itulah yang membuat dia menjadi seorang Richard. Malah, suamiku mengalihkan pembicaraan.
"Omong-omong, mana Lara?"
Pertanyan itu membuat dadaku berdenyut. Maksudku, alih-alih menanyakan putrinya, Richard malah menanyakan keponakannya.
"Cecile meneleponku, Lara sudah melepas kerudungnya." Richard melanjutkan.
Aku mengangguk. "Iya. Aku membujuk Lara untuk melakukannya."
Richard tersenyum lemah padaku. "Baguslah." Kemudian, bangkit dari sofa dan beranjak menuju tangga. "Aku mau tidur."
Seharusnya, aku mengantar Richard ke kamar atau mungkin menyarankannya mandi sebelum beristirahat. Namun, di kepalaku tiba-tiba terbayang wajah Lara sewaktu kutanyai tadi siang; bahagia dan bersemangat. Sifat yang sangat bertolak belakang dengan Lara yang kukenal, seseorang yang selalu tampak bosan dan menyedihkan.
Suara orang-orang yang membaca Al-Qur'an membuatku menangis dan tertawa, sekalipun aku tidak mengetahui artinya. Seolah, ini adalah kebahagiaanku yang sesungguhnya.
"Kebahagiaan," lirihku.
Tanganku meraih ponsel pintarku di atas meja kopi, membuka perambannya dan mengetikkan sesuatu di mesin pencari.
Tak sempat menyentuh satu pun tautan di sana, aku melempar ponselku ke ujung sofa. Bulu kudukku merinding, seolah aku baru saja menontom film horror. Namun, aku masih penasaran, rasa ingin tahu yang membuatku mengetuk aplikasi Youtube. Aku menulis alquran, lalu memilih salah satu videonya.
Hanya beberapa detik memutarnya, napasku sesak. Jemariku mematikan ponsel cepat-cepat.
Apa yang telah kulakukan?
Terdengar suara tawa dari luar. Itu pasti Suzanne yang baru kembali dari rumah Courtney. Aku beranjak ke jendela, mengintip apa yang dilakukan putriku di halaman. Di sana, aku melihat dia bercumbu dengan seorang pria yang tidak kukenal.
Aku memalingkan muka. Aku tidak bisa melihat privasi Suzanne. Dia akan marah besar kalau tahu. Akan tetapi, bila aku membandingkan Lara dan putriku sendiri ... manakah yang terbaik?
"Oh, Tuhan. Lara akan baik-baik saja, kan? Ini bagus untuknya, kan? Islam agama yang benar baginya, kan?"
Aku duduk berjongkok di atas lantai sembari menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Air mataku tumpah bersamaan pintu depan yang terbuka dan tertutup. Akan tetapi, aku hanya mendengar langkah naik ke lantai atas tanpa satupun sapaan. []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...