Aku berjalan ke ruang kerja Daddy, melihatnya sibuk menatap layar laptopnya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Sesaat aku ragu, tapi akhirnya memberanikan diri.
"Dad, bisa kita bicara sebentar?" ujarku sambil mendekatinya.
"Ya, ada apa sayang?" ucap Daddy menghentikan aktivitasnya.
Aku duduk di depannya, meanatap mata lelah yang tak pernah benar-benar menatapku. "Daddy sibuk banget ya, sampai gak punya waktu buat aku sama Elisa??" tanyaku mencoba menahan nada kecewa.
Daddy tersenyum tipis. "Bukan begitu sayang, Daddy kan kerja juga demi kamu sama Elisa." jelasnya.
"Tapi Dad.." aku menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku rasa kita ini cuma butuh kasih sayang dan menghabiskan waktu bersama, Dad?" ucapku memelas, suaraku sedikit bergetar.
Namun, Daddy hanya tersenyum lagi. Senyum yang sama, senyum yang tak membawa perubahan apapun. Tangannya kembali sibuk dengan pekerjaannya, seolah percakapan ini tak lebih penting dari dokumen-dokumen di hadapannya.
"Dad, dengerin please," aku mencoba sekali lagi, "Aku cuma minta satu hari aja. Daddy belum temuin dokter buat nanyain Elisa waktu itu, kan?" sambungku lagi.
"Elisa cuma sakit biasa, sayang." jawab Daddy masih tetap fokus dengan pekerjaannya.
"Tapi, kayaknya bukan sakit biasa Dad," bantahku, nadaku mulai naik. "Mana mungkin dokter sampai bilang kayak gitu."
Namun tak ada respon apapun dari Daddy. Aku mendengus kasar dan bangkit meninggalkan ruang kerjanya.
Aku berjalan menuju Elisa yang sedang bermain bonekanya di ruang tamu, wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah dan semakin kurus. Aku menghampiri dan berjongkok di sampingnya.
"Elisa, main sendirian?" tanyaku pelan sambil mengusap pipinya lembut.
Elisa hanya mengangguk. Matanya masih focus memainkan boneka di tangannya.
"Dimana bi Ina?" tanyaku lagi.
"Tadi bi Ina bilang mau keluar sebentar," jawab Elisa, matanya menatap boneka di tangannya.
"Oh..." hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku duduk di sebelahnya, memperhatikan gerak-geriknya.
"Kak?" Elisa tiba-tiba menghentikan permainannya, menatapku dengan mata polos. "Mommy kemana, ya?"
Pertanyaan itu seperti panah yang menancap di hatiku. Aku tak punya jawaban yang pasti. "Kan, Mommy lagi kerja."
"Kok gak pulang-pulang, ya?" tanyanya lagi sambil memonyongkan bibir mungilnya.
Aku menahan napas, berusaha tersenyum meski hati rasanya remuk. "Kakak juga gak tau, ya udah kamu maen aja dulu," ucapku mencoba menghibur.
Elisa mengangguk pelan. "iya deh," balasnya dengan senyum tipis.
Namun, hanya beberapa saat kemudian, Elisa mendadak memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Wajahnya tiba-tiba menegang, napasnya pendek-pendek.
"Elisa, kenapa sayang?" tanyaku cemas.
"Kepala aku sakit, kak!" rintihnya, tangannya semakin erat memegang kepalanya.
Aku mendekat, dan saat itu aku melihat darah mulai mengalir dari hidungnya. Hatiku mencelos.
"Sakit kak.." suaranya terdengar semakin melemah.
"Sayang, astaga...!" aku mulai gemetar, tak tahu harus berbuat apa.
Dan dalam hitungan detik, tubuh kecilnya terkulai lemas di hadapanku. "Elisa!" aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, berharap dia akan sadar kembali.
Dengan panik, aku berteriak. "Dad! Daddy! Tolong!" teriakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME
Novela JuvenilDalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayang-bayang kekacauan. Suara teriakan...