BRAAK!
Suara bantingan itu menggema, membuatku terkejut. Aku terbangun dengan tubuh yang lemas, seolah seluruh otot-ototku berhenti berfungsi. Ketika mencoba meraih keningku, aku baru menyadari kedua kaki dan tanganku terikat erat. Aku berada di tempat asing, di atas kasur yang tampak mewah, dilengkapi meja dengan beberapa gelas wine di sampingnya. Ruangan ini remang, dindingnya berlapis perak, mengkilap dan menambah kesan anggun, namun tetap membuat bulu kudukku berdiri.
"SHIT! LEPASIN GUE!" teriakku kencang, menarik-narik tali di pergelangan tanganku, namun ikatannya tak bergeming.
Pintu tiba-tiba terbuka dan masuklah seorang wanita dengan langkah pelan. Dress merah selutut yang dikenakannya tampak elegan, rambutnya terurai sepunggung, sedikit berantakan namun terlihat cantik. Aku memicingkan mata, merasa mengenalnya, dan ketika ia berbalik, jantungku serasa berhenti. Itu Clara. Mantan selingkuhan Daddy. Dia... parasit yang hampir menghancurkan keluargaku waktu itu.
"Lo?" suaraku terdengar penuh kebencian dan terkejut.
Clara tersenyum miring, seperti singa yang siap memangsa. "Long time no see, girl!" sapanya penuh ejekan.
Aku menggertakkan gigi, berusaha memproses apa yang sebenarnya terjadi. "Lo nyulik gue?" desisku, mataku menyala penuh amarah.
"Oh, ya?" Clara mengangkat satu alis, nada suaranya licik. Dengan tenang, dia mengeluarkan ponselnya, memutar rekaman yang langsung membuat napasku tercekat.
"Ada pelanggan setiaku yang ingin mempekerjakanmu sebagai waitress di klubnya,"
"Kau hanya akan melayani pelanggan VIP mereka, kau tahu? Gajinya sangat tinggi."
"Bagaimana, Luna?"
"Aku mau."
Aku tersentak. Itu percakapanku dengan Mrs. Sierra kemarin saat ia menawarkan pekerjaan baru untukku. Tunggu! Apa ini semua jebakan? Dan Mrs. Sierra... dia mengenal Clara? Tubuhku terasa dingin saat menelan kenyataan pahit ini.
Clara mendekat, lalu duduk di pinggir kasur, wajahnya penuh kemenangan. "Kau sendiri yang mengiyakan tawaran itu, sayang," ucapnya sambil memegang daguku. "Jadi, apa ini disebut penculikan?" Ia tertawa puas, bibirnya terangkat dalam senyuman iblis.
Tanpa pikir panjang, aku meludah tepat di wajahnya. "Bitch!" umpatku dengan benci.
Clara terhentak, lalu mundur selangkah, wajahnya berubah murka.
"Jelas ini penculikan! Lo jebak gue!" seruku, suaraku dipenuhi amarah. "Lo bakal tau akibatnya kalau Daddy gue
ta–"
PLAAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, membuat wajahku terbanting ke kasur. Rasanya panas, seperti terbakar. Aku bisa merasakan cairan anyir besi merembes ke sela bibirku.
"Shit!" umpatku lirih. Sudut bibirku berdarah.
"Emang Javier masih nganggep lo anaknya? Setelah lo kabur dari rumah?" tanya Clara mengejek, menghunus perasaan pedih yang selama ini kukubur dalam-dalam.
Napasku memburu, bergetar karena kata-katanya yang menusuk. Aku mencoba bangkit, tapi tali di pergelanganku terlalu erat.
"Kita lihat saja, siapa bitch yang sebenarnya di sini," bisiknya, senyum liciknya kembali muncul. sebelum aku bisa membalas, dia menekan leherku dan membuka mulutku paksa. Cairan pahit, jauh lebih pahit dari alkohol, mencekat tenggorokanku hingga aku tersedak, berusaha menolak, namun sia-sia. Cairan asing itu mengalir cepat, membakar jalannya turun ke tenggorokanku.
Clara berdiri, puas melihatku kalah dari serangannya. "Have fun, dear!" serunya girang.
Aku meliriknya tajam, masih kesakitan akibat cekikannya. Saat ingin berusaha duduk, tubuhku mendadak lemas, nyaris tak bisa digerakkan. Dengan gemetar, aku mencoba bangkit, tapi tubuhku sudah kehilangan tenaga. Mataku berkunang-kunang, perasaanku mulai gelisah. Clara membuka tali di tanganku, tapi itu tidak ada gunanya. Aku tidak bisa mengontrol tubuhku sendiri. Tak berdaya..
Pintu terbuka lagi. Seorang pria berpakaian rapi memasuki kamar, berdiri di sebelah Clara.
"Mulailah, dia sudah terpengaruh obat," Clara memberi instruksi dengan nada dingin, seolah aku hanyalah boneka.
Degup jantungku makin cepat. Pria itu mendekat, tangan kasarnya mengelus lenganku dengan gerakan yang membuatku mual. Aku mencoba menepis, berusaha dengan sisa kekuatanku, namun percuma.
Aku menangis tanpa suara, air mata mengalir deras, rasa takut menghujam tiap inci tubuhku. "No, please..." bisikku lemah, hampir tak terdengar.
Pria asing itu terkekeh, suara tawanya dalam dan mengerikan. "Preety girl!" ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku berpaling, tak kuasa menatap wajahnya yang semakin mendekat. Aku bisa mencium aroma alkohol bercampur rokok di setiap napasnya, membuatku sangat ingin muntah.
'Please, God! Help me!' batinku berteriak, memohon dalam keputusasaan.
Tubuhku bergetar ketakutan, saat merasakan tangannya mulai merambat naik mengelus pahaku.
'Just send someone... anyone to save me... please...'
Aku ingin memberontak, namun sudah tidak ada lagi sisa tenagaku yang tersisa. Aku memejamkan mataku pasrah, dengan air mata yang tumpah tak berhenti.
'Daddy...'
Aku memejamkan mata, membiarkan air mata terakhirku jatuh, dan menyerah pada kegelapan yang perlahan menghilangkan kesadaranku sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME
Teen FictionDalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayang-bayang kekacauan. Suara teriakan...