[Suzanne Millia]
Hari pertama sekolah, aku dapat kejutan luar biasa. Saking tak percayanya, aku menyemburkan sarapan yang sedang kukunyah ke wajah ayahku. Bagaimana tidak? Salah satu resolusi tahun baru seseorang baru saja terwujud.
Maksudku, Lara mulai bersekolah.
Pagi-pagi sekali dia datang ke rumah bersama Bibi Cecile. Wanita itu terlihat canggung, seolah dia tak pernah menginjak rumah ini sebelumnya. Sementara sepupuku tak banyak berkomentar. Sikap itu membuat ia tampak seperti penjahat yang sedang menyamar, terutama karena penampilan Lara yang seolah enggan memperlihatkan wajahnya pada dunia.
Kami sarapan bersama di rumah, yang membuatku agak kesal karena Bibi Cecile berulang kali berkata bahwa ini mungkin pilihan yang salah untuk mulai mengembalikan Lara ke dunia pendidikan formal setelah sepuluh tahun dia homeschooling. Walau ibu dan ayah berulang kali menenangkan, tak ada yang benar-benar berhasil mempengaruhinya. Bahkan dia memaksa untuk ikut bersama kami di bis sekolah sewaktu aku mengatakan sudah waktunya kami berangkat.
Aku dan Lara meninggalkan orang tua kami sekitar sepuluh menit sebelum jadwal bis tiba di pemberhentian. Jalanan sekitar diselimuti salju tipis, sesuai dengan udaranya yang tidak terlalu dingin. Kami berjalan berbaris seperti kereta. Aku di depan, sementara Lara berjalan membungkuk di belakang dan masih tanpa suara. Mungkin dia terkena penyakit tenggorokan sampai-sampai tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Suaranya yang amat mahal pagi ini baru terdengar ketika kami telah naik bis.
"Pagi juga," adalah dua kata pertama yang keluar dari mulut Lara. Itupun untuk membalas salam teman-temanku yang dia temui beberapa hari lalu di rumahku.
Emily dan Jessica, kawan baik sekaligus teman se-band-ku telah menyiapkan kursi untuk kami berdua. Aku duduk di samping Jessica, gadis Asia dengan mata yang tidak dapat dibedakan apa dia sedang tertidur atau tidak. Lara duduk di sebelah Emily, gadis keturunan Skotlandia yang mengaku pernah bertemu dengan Ratu Elizabeth.
Keduanya sangat heboh dengan kehadiran Lara. Sepupuku langsung diserbu puluhan pertanyaan bahkan sebelum pantatnya menyentuh kursi penumpang. Lucunya adalah Lara hanya menjawab dengan jawaban-jawaban singkat yang paling panjang terdiri dari lima kata. Kupikir itu akan menghentikan keduanya untuk mewawancarai Lara, tetapi ternyata mereka tidak pantang menyerah. Malah, aku yang lelah mendengarnya.
"Wow, aku tak pernah melihat kalian seramai ini."
Suara seorang lelaki terdengar. Kami berempat menoleh.
Jason, pria yang kukencani sejak malam tahun baru berdiri sebangku di depan kami. Di belakangnya menyusul tiga atlet football lain. Mereka berempat berbadan besar dan bertambah berisi karena masing-masing mengenakan mantel yang tebal.
"Halo, Jason!" Jessica menyapa. "Apa kauingin duduk di sebelah Suzzy? Aku tak apa duduk di samping Conor."
Jason melirikku, kemudian Conor, anak setingkat di atasku yang juga anggota tim football sekolah.
"Well, aku memang mengharapkan itu." Jason menjawab, tersenyum begitu manis padaku.
Sewaktu Jason menukar posisi dengan Jessica, bis kembali berangkat. Di belakang, aku mendengar Lara bertanya sesuatu yang dijawab oleh Emily dengan berbisik, "Dia pacar Suzzy."
Mukaku memanas. Aku bahkan bisa membayangkan raut terkejut Lara sekarang. Sementara Jessica yang duduk di barisan sebelah bersama Conor sedang cengingisan menatapku.
Aku melempar topi rajutku pada Jessica. "Diamlah!" gertakku.
[Aqila Al-Amin]
Aku mengenal dia di hari pertama semester musim dingin. Rambutnya pirang panjang sepinggang dan tak banyak bicara membuat dia tampak berkharisma. Lokernya tepat berada di sebelahku, yang kutahu tak pernah tersentuh sejak awal aku bersekolah di sini. Mata kelabunya sendu, tetapi saat tersenyum seolah ada pancaran cahaya yang mengiringinya.
Namanya Lara Douglas, dan dia orang non-muslim pertama yang mengajakku berkenalan lebih dulu di sekolah ini.
"Kerudung yang indah," pujinya ramah setelah kami saling memperkenalkan diri. "Kau cantik mengenakannya."
Aku tidak langsung menjawab. Maksudku, itu hampir seperti aku salah dengar. Seumur-umur, jarang sekali orang mengatakan itu padaku--dengan mengecualikan keluargaku tentu saja.
"Maaf?"
"Kau cantik dengan kerudung itu, Nona Al-Amin."
"Ah," kugaruk kepalaku yang tak gatal, "terima kasih."
Dia menganggukkan kepala sekali, bertepatan dengan bel pelajaran pertama dimulai. Tanpa komentar lebih lanjut, kami menyusuri koridor sekolah yang penuh lalu lalang murid-murid SMA. Dia pergi ke arah barat, sementara aku ke timur. Kupikir aku tak akan bercengkrama dengan dia lagi sejak tanpa sengaja kulihat dia mengenal Suzanne Millia, salah satu murid populer sekolah, ditinjau dari bagaimana Suzanne menanggapi omongannya.
"Duh, makanya, kan, sudah kubilang seharusnya kau mengikuti Bu Mitchelle saja," kata Suzanne, lalu menoleh pada kedua temannya. "Sampaikan permintaan maafku pada Bu Eleanor karena akan datang terlambat ke kelasnya." Kedua teman Suzanne mengangguk, kemudian dia bersama Lara Douglas berjalan ke arahku.
Takut, aku melangkah cepat-cepat menuju kelas.
Betapa terkejutnya aku ketika menyadari Lara Douglas mengambil kelas yang sama denganku. Akan tetapi, dia duduk di belakang, sementara aku paling depan. Sewaktu kelas selesai, Lara Douglas menyodorkan kertas kecil di atas mejaku. Tulisannya kaku dan berantakan, menandakan dia amat jarang menulis.
Isi kertas itu:
Aku harap kita bisa jadi teman, Aqila.
Dari Lara.
Napasku hampir berhenti sewaktu membacanya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...