SATU : Kerja Sendiri

14.6K 378 37
                                    

           

               🌳🌳🌳🌳🌳

Rara mempercepat langkah kakinya, saat melihat pintu kios tempatnya bekerja sudah terbuka. Kedua mata beningnya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, waktu baru menunjukkan pukul 07:15 WIB. Yang artinya ia belum masuk kategori terlambat, tapi kenapa bosnya--yang biasanya datang siang--kini sudah berdiri di depan meja besarnya. Dalam hati ia menebak apa yang sedang dikerjakan oleh bosnya itu. Apalagi yang dilakukan bosnya itu kalau tidak sedang memotong kain.

"Assalamualaikum," sapa Rara saat memasuki kios, "tumben Pak, sudah dateng?" tanyanya sambil meletakkan tas di bawah mesin jahit.

"Iya, kemarin belum sempet motong," kata Nuzam, bosnya tanpa menoleh.

Rara mengangguk paham, kemudian mulai mengambil sapu untuk memulai kegiatan menyapunya. Namun baru saja ia hendak berjalan keluar kios--untuk menyapu halaman kios yang luasnya tak seberapa--, tiba-tiba Nuzam memanggilnya, mengintruksi gadis berjilbab orange itu untuk kembali masuk ke dalam kios. Rara segera meletakkan sapu-nya dang langsung menghampiri Nuzam.

"Kenapa Pak?" tanya Rara.

"Kamu nanti kerjain yang ini dulu ya, stel PDH. Kantong celana minta dua, betnya pakai KEMENAG, ya. Kalau sudah selesai langsung disetrika. Saya mau pulang dulu, mau bikin panggung buat pengajian," jelas Nuzam sambil mengulung potongan kain itu lalu mengikatnya menjadi dua bagian, bagian satu untuk atasan dan bagian kedua untuk celana. Sementara sisa kainnya ia biarkan begitu saja.

Rara langsung mengangguk paham, begitu selesai mendengar penjelasan Nuzam. Ia sudah merasa tak heran dengan kebiasaan bosnya ini. Hampir tiga tahun bekerja dengan Bapak beranak dua ini, membuat Rara cukup paham dengan sistem kerja bosnya yang potong, jahit, setrika, dan akan diambil hari itu juga. Bosnya ini juga memiliki sifat sedikit banyak mirip dengannya, yaitu tak banyak bicara. Maka jangan heran kalau interaksi antara bos dan anak buah ini sering kali hanya seperlunya saja, meskipun tetap ada sesi bercanda di antara keduanya.

Rara kemudian berjalan keluar kios, meneruskan kegiatan menyapunya yang tadi sempat tertunda. Sementara Nuzam terlihat sibuk dengan ponselnya, baru kemudian meraih jasket dan langsung memakainya.

"Nanti sore kalau saya belum ke sini, kamu tutup kiosnya, ya?" pesan Nuzam sebelum masuk ke dalam mobilnya.

Rara mengangguk paham, kemudian berjalan masuk ke dalam kios. Untuk memulai aktifitasnya. Baru saja ia hendak meraih kain triko untuk bahan kantong celana namun secara tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tukang cukur sebelahnya, membuat gadis yang mantab berhijab ini tersentak kaget.

"Mas Usman ini kebiasaan deh, hobi banget sih ngagetin orang?" dumel Rara kesal.

Bagaimana tidak kesal, putri bungsu dari pasangan Herman Kurniawan dan Dewi Lesmana ini memang paling benci dengan yang namanya dikejutkan. Karena selain membuatnya mendadak seperti orang latah, ia juga sering kali kehilangan kontrol di irama jantungnya yang suka berdetak sedikit kurang wajar. Ia juga bisa mengalami kejang otot.

Pria asli Madura yang kini memilih menetap di Jakarta ini tak menunjukkan wajah bersalahnya sama sekali, bahkan dengan menyebalkannya--di mata Rara--Usman malah memasang wajah cengengesan sambil memainkan alisnya jahil.

"Abis kalau ngagetin Neng Rara, hati Abang jadi sejuk," kelekarnya, membuat Rara mendengus sebal.

Sekalipun Rara ini masuk dalam kategori gadis pendiam dan penyabar--versi Fitria dan Sasti, kakak kandung Rara--tapi kalau sudah berurusan dengan kaum Adam dan sejenisnya, ia akan mendadak berubah jadi gadis yang sedikit judes dan ketus.

"Juragannya ke mana Neng?" tanya Usman sambil mengambil buku katalog berisi sampel kain.

"Pulang," kata Rara sambil mengunting kain keras yang sudah di gambari dengan pola daun kerah dan kaki kerah, "mau bikin panggung buat pengajian katanya."

Usman mangguk-mangguk sambil ber'oh'ria, kemudian meletakkan buku katalognya ke tempat semula dan kembali ke kiosnya. Sementara Rara kembali meneruskan kegiatannya melapisi potongan kain yang perlu di lapisi fislin dengan setrika. Begitu selesai menyetrika lapisan, ia segera memulai aksinya untuk menjahit potongan-potongan pola itu hingga menjadi celana dan juga atasan kemeja.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16:25 dan Rara baru saja menyelesaikan tugasnya. Termasuk melubangi kancing, memasang kancing, hingga menyetrikanya. Begitu semua tugasnya selesai ia segera mulai menyapu sisa kain perca, sambil memesan Ojek Online, karena Dani baru mengiriminya pesan lewat WhatsApp kalau dirinya tak bisa menjemput Rara. Sehingga ia terpaksa harus memesan Ojek Online.

Tepat pukul 16:30 Rara baru tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam ia langsung bergegas naik ke lantai atas, namun suara Fitria menghentikan langkah kaminya, dan dengan terpaksa Rara berbalik, mendapati Fitria sedang menyuapi Raffa, keponakan Rara.

"Dari mana kamu, Dek? Kok jam segini baru pulang," tanya Fitria.

"Kerja lah, emang Mbak pikir dari mana?"

"Kok jam segini baru pulang?"

"Ya, tadi musti nyelesain stel PDH, mau di pake nanti malam katanya, terus Pak Nuzam ke kios sebentar, akunya sendirian, jadi nutup kios dulu."

"Terus Mas-mu mampir ke mana, kok nggak ikut pulang?"

Rara mengangkat kedua bahunya acuh, kemudian baru menjawab. "Ada acara katanya. Lagian aku tadi nggak di jemput Mas Dani kok, naik Abang Go-Jek." Ia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.

Membiarkan Fitria mengerutu, karena kesibukan sang suami yang suka ikut organisasi masyarakat memang suka membuat Fitria di nomor sekiankan, belum lagi kalau harus ditambah dengan kegiatan mengajar Dani.

Tak berselang lama Rara kembali turun ke bawah, dengan stelan baby doll berwarna biru laut dan jilbab putih.

"Hello keponakan Bu lek. How are you today?" sapa Rara yang langsung menghampiri sang keponakan yang sedang main mobil-mobilan, sambil mencium pipi tembemnya. Membuat bocah yang baru saja berumur 3 tahun itu menjerit kesal karena di cium sang Tante.

"Heleh. Gaya-mu, Dek, kebanyakan gaya banget. Lidah kesleo baru tahu rasa," ejek Fitria, kemudian memasukkan satu sendok penuh nasi ke mulutnya.

Rara menggelengkan kepalanya heran, saat melihat kelakuan sang kakak yang asik menghabiskan makanan untuk Raffa.

"Kamu itu lho Mbak, gimana enggak tambah gendut kalo jatah makan Raffa aja Mbak yang abisin."

"Biarin. Kok situ yang repot."

Rara mengelengkan kepalanya heran, kemudian memilih menyandarkan tubuhnya di atas sofa, sambil memainkan ponselnya.

"Mbak Sasti belum pulang, Mbak?" tanya Rara melirik Fitria sebentar, kemudian kembali memfokuskan diri dengan ponselnya.

"Belum. Katanya sih mau menetap di sana."

"Serius?"

Fitria mengangkat kedua bahunya, kemudian bergegas menuju dapur, untuk mencuci bekas mangkuk Raffa.

"Assamualaikum!"

"Wallaikumsalam!"

Rara menoleh ke asal suara, dan menemukan Dewi, Bunda Rara. Buru-buru ia bangkit dari sofa, menghampiri Dewi, lalu mencium punggung tangan sang Bunda.

"Dari mana, Bun, kok rapi bener. Abis pengajian?" tanya Rara, meneliti pakaian yang dikenakan sang Bunda yang terkesan rapi.

Dewi mengeleng, "Bukan. Abis jenguk orang sakit bareng ibu-ibu komplek. Kamu baru nyampe?"

"Udah lumayan agak tadi kok."

"Udah makan?"

Rara mengeleng, "Nanti aja bareng Ayah." Kemudian kembali mendudukkan pantatnya di atas sofa, sambil memainkan ponselnya yang sempat ditaruh di atas meja.

Dewi mengangguk paham, kemudian berjalan ke lantai atas. "Ya udah, Bunda naik ke atas dulu. Mau mandi, gerah."

Rara hanya melirik Dewi, kemudian mengangguk.

Tbc,

Calon ImamKu(Pindah Ke Dreame)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang