She is the sea...

1 0 0
                                    

Bisakah kau rasakan hembusan angin memeluk tubuhmu, Ren?
Dimanjakan oleh hangat sinar matahari, digoda oleh belaian buih laut yang menggelitik
Hirup nafasmu dalam-dalam, hingga kau lupa kakimu menjejak di pasir pantai yang lembut.
Rasakan kulitmu yang terbakar hingga kau lupa pada ombak yang datang dan pergi.
Dengarkan apa yang ada di hatimu, hingga tuli pada celoteh camar, juga debur gelombang yang terpecah karang
Ia akan berbisik, Aku masih ingin disini............

Gadis itu membentangkan tangan dengan mata terpejam. Jari kaki lentiknya tertanam di pasir ketika ombak menjauh. Dagunya yang lancip ia angkat, menantang hangat sinar matahari dengan kulit wajahnya yang putih.
"Kau bisa merasakan ketentraman itu, Ren?" tanyanya masih dengan mata tertutup.
"Indah sekali!!!" jawab Renno kemudian.
"Ya! Lebih indah dari yang ditangkap mata" Renno tidak mengikuti apa yang dilakukan gadis itu, walau ia telah berjanji sebelumnya. Ia menikmati sebuah pemandangan indah; lesung pipi, bulu mata dan rambut-rambut halus didepan telinga yang tergerak bebas disapu angin, dan urat leher yang berdenyut tak berirama.
Cantik sekali!
Pria itu tersenyum, tanpa melepas pandangan pada gadis disebelahnya. Seorang gadis yang begitu mencintai laut dan pantai meskipun tidak bisa berenang dan sedikit segan dengan panas matahari, tapi ia menikmati dengan caranya yang luar biasa; mengambil sebuah kerang setiap kali ke pantai lalu di koleksi. Ia memperlakukan kerang-kerang itu dengan spesial, membersihkan pasir yang menutup rongga-rongganya dengan hati-hati, lalu disimpan di sebuah kotak kaca, berjajar rapi, bersematkan cerita dan nama! Ya, gadis itu menamai kerangnya satu persatu!! Bagi Renno kerang-kerang itu tak lebih seperti kerang keropos yang tergerus usia, tapi gadis itu bisa melihat jauh dengan imajinasinya.

Sayup-sayup tendengar suara memanggil namanya, semakin jelas, dan jelas!
Renno memicingkan mata, mencari sumber suara itu berasal, masih tampak samar. Ia terperanjat ketika matanya terbuka lebar. Hilang sudah lesung pipi, rambut halus, dan dagu lancip berganti dengan dagu Mbok Minah yang 'rangkap dua', juga......
"Bulu mata! Mana bulu mata itu??!"
"Bangun Mas Renno! Bulu mata apa tho? Bulu hidung itu yang banyak" seloroh Mbok Minah, menertawakan Renno.
Kenyataan memang tidak semanis mimpi!
"Ah, Mbok ini, lagi seru-serunya juga...." sesal Renno sambil mengucek mata.
"Iya Mas, maaf. Tapi Mbok mau pamit. Makanannya sudah saya siapkan. Sampean mau mandi atau makan dulu?" tawar Bi Minah, lembut.
"Makan nanti saja, Bi. Saya mau istirahat, kalau Bibi mau pulang, silakan. Nanti saya bisa panaskan makanan sendiri"
"Jadi ada lagi yang bisa Mbok bantu?"
"Tidak ada, Mbok. Sampaikan salam saya buat keluarga Mbok di rumah"
"Baik, Mas Renno. Nanti saya sampaikan, kalau begitu Mbok pamit"
"Di jemput siapa? Mau saya antar?"
"Tidak perlu, Mas. Saya akan dijemput Wardi"
Hari ini, adalah hari terakhir Mbok Minah bekerja, setelah lebih dari 23 tahun dengan setia mengabdikan diri untuk keluarga Renno. Kesehatan Mbok Minah memang menurun, beberapa minggu yang lalu beliau juga sempat di rawat di Puskemas karena penyakit asmanya kambuh. Kini anak-anak Mbok Minah sudah dewasa, Wardi -anak bungsu Mbok Minah- sudah lulus STM 2 tahun yang lalu dan berencana untuk menyusul kakaknya di Bali, dan akan bekerja sebagai teknisi las dengan memboyong Mbok Minah juga tentunya.
Renno membantu membawakan tas Mbok Minah ke halaman rumah, disana Wardi sudah menunggu dengan motor dan mantelnya. Seperti biasa, Wardi selalu tersenyum sopan sambil mengangguk untuk menyapa. Ia memang pemalu.
"Bagaimana kabarnya, Mas Renno? Jam berapa sampai? " sapa Wardi.
"Saya sampai di Jember jam 8 pagi tadi. Kabarku baik, kamu bagaimana War? Koq kamu Nggak masuk kerumah?"
"Kabar saya baik, Mas. Terima kasih, terburu-buru. Jadwal busnya mepet" jawab Wardi.
"Mbok pamit dulu ya Mas Renno, hati-hati dirumah. Jangan kebanyakan bergadang, makan yang banyak biar tidak terlalu kurus. Lihat badan Mas Renno seperti ikan asin" nasehat Mbok Minah.
"Ya, Mbok. Jangan lupa kasih kabar kalau sudah sampai. Wardi juga jangan sungkan buat telpon atau sms dan terus jaga komunikasi, ya?"
Mbok Minah membelai rambut Renno dengan penuh kasih. Mata wanita itu berkaca-kaca. Bagi Renno, Mbok Minah adalah keluarga. Banyak yang telah beliau lakukan. Bagaimana ia membagi tenaga, fikiran dan waktu untuk keluarga Renno dan keluarganya sendiri, tentu bukanlah hal yang mudah. Masih segar di ingatannya ketika Mbok Minah meminta Selamet -kakak Wardi- untuk mengalah pada Renno yang 2 tahun lebih tua darinya. Mbok minah pun tidak pernah membedakan dalam memperlakukan anak kandungnya maupun dengan Renno. Sering ia berucap bahwa semua adalah anak Si Mbok pada Renno kecil saat itu.
Besok, semua itu akan menjadi kenangan...........

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sea-shell For ShelsyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang