Part 1

5 1 0
                                    

"Maaf mbak Raina, ini berkas-berkasnya harap segera ditandatangani." tukas Fani karyawanku.

"Iya sebentar. Letakkan dulu di meja!" Fani menurut lalu pergi dari ruangan kerjaku.

Dari tadi, aku sibuk menelepon Arya, tunanganku. Aku sudah kepalang rindu dengannya. Biasanya Arya menghubungiku terlebih dahulu, tapi kali ini tidak. Beberapa kali aku menghubunginya, tetap tidak ada respon darinya.

Kesal, akhirnya aku memutuskan untuk mematikan ponselku dan fokus bekerja kembali. Tidak peduli jikalau nanti Arya balik meneleponku. Aku sudah terlalu kesal dengannya.

Aku segera menandatangani berkas-berkas yang diberikan oleh Fani, agar aku bisa pergi ke cafe untuk makan. Karena ini waktunya makan siang.

Tokk! Tokk!

Suara ketukan pintu terdengar. Aku mempersilahkan orang itu masuk.

"Silahkan masuk!"

Aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Sampai aku tidak sadar siapa yang datang.

"Raina.."

Aku menoleh ke sumber suara "Loh, Arya? Kamu pulang hari ini?" pekikku kegirangan.

Ia tersenyum manis "Iya, sayang. Aku pulang hari ini. Aku ingin memberi kejutan untukmu." katanya.

Bibirku mengerucut "Kenapa tidak bilang-bilang dulu?"

"Kalau bilang, namanya bukan kejutan, Raina!" ujar Arya lalu ia memelukku. Aku membalas pelukannya dengan erat. Jujur saja, aku sangat merindukan lelaki ini.

Aku mendongkak "Arya?"

"Hm?"

"Kenapa kamu susah sekali untuk dihubungin, sih? Segitu sibuknya kamu sampai lupa sama aku? Iya?" tanyaku sambil memukul dadanya pelan.

Arya melepas pelukannya dan menatapku dalam. Sebenarnya aku gugup dilihat seperti itu. Aku hanya bisa membuang muka.

"Raina.." panggilnya, aku bergeming.

"Raina Alyssa.." panggilnya sekali lagi. Kali ini suaranya mulai meninggi. Biarkan saja, aku kan sedang marah.

"Oh, ayolah sayang lihat aku! Jangan membuatku gemas. Kamu tahu? Dengan kamu marah seperti itu, justru membuatku gemas dan ingin menciummu." katanya.

Aku dapat melihat Arya memperlihatkan senyum smirknya. Aku bergidik ngeri. Bagaimana kalau Arya menciumku disini? Bagaimana kalau ada orang yang masuk kesini?

Pikiranku berkecamuk. Akhirnya, dengan terpaksa aku menoleh kearah Arya.

"Jangan seperti itu, Raina. Apa kamu mau, aku cium kamu disini?"

Mataku membulat "Jangan gila Arya! Aku tidak mau!" kataku kembali membuang muka.

Tangannya menarik daguku. Mau tak mau, aku harus menatapnya.

"Maafkan aku. Aku hanya berniat untuk memberimu kejutan. Jika kamu tidak suka, aku akan kembali lagi ke prancis." ujarnya dengan nada lesu. Oh, ayolah Arya. Kenapa kau begitu menggemaskan?

Aku menggeleng tegas "Tidak, Arya. Aku senang kamu datang. Terimakasih sudah memberiku kejutan. Dan soal aku marah, aku tidak marah. Aku hanya kesal karena kamu susah sekali dihubungin."

Arya tersenyum. Perlahan, wajahnya mendekat kearahku. Sangat dekat, bahkan aku bisa merasakan deru nafasnya. Aku mulai memejamkan mataku. Dan tak lama kemudian aku merasakan sesuatu yang lembab menyentuh bibirku. Ya, Arya menciumku. Tapi, kenapa aku merasa ada yang aneh?

***

Semenjak kedatangan Arya ke kantorku hari ini, aku tak pernah lepas untuk selalu tersenyum. Yah, walaupun hanya sebentar, tapi cukup untuk meredakan riduku.

"Rain, kamu baik-baik saja kan?"

Pertanyaan Lita membuatku tersentak. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Ah, iya, aku baik-baik saja. Kenapa?" tanyaku bingung.

Lita tersenyum penuh arti "Aku bisa menebak. Arya pulang ke Indonesia, ya?"

Aku menaikkan kedua alisku. Sahabatku ini, memang serba tahu.

"Kamu tahu dari mana?"

"Tidak. Aku tadi hanya lihat Arya sedang berjalan ke ruangan kerja kamu. Bagaimana pertunangan kamu? Masih lancar?" tanyanya.

Aku menyedot minumanku sedikit "Lancar. Tapi aku merasa ada yang sedikit aneh dengannya. Aku tidak tahu." aku mengendikkan bahuku acuh.

"Mungkin perasaan kamu saja." ujarnya berusaha menenangkanku. Entah kenapa hatiku tidak tenang sama sekali. Apalagi, Arya datang menemuiku tidak kurang dari dua puluh menit. Apa wajar saja kalau aku curiga dengan tunanganku sendiri? Ah, sudahlah lupakan. Aku harus percaya dengan Arya.

Aku kembali menyedot minumanku. Aku menarik bangku ke belakang. Tiba-tiba aku merasa menabrak seseorang. Dan...

Dukk!

"Aw.."

Ponsel orang itu mendarat di kepalaku. Entah berapa beratnya. Yang jelas ini sakit sekali.

"Hei, apa kau punya mata?" ucap lelaki itu dengan suara beratnya.

Aku berdiri dari tempat dudukku "Apa kau bilang? Anda sengaja menjatuhkan ponsel ini di kepala saya? Ini sakit sekali."

"Seharusnya aku yang memarahimu!" ujarnya sambil menatapku tajam. Aku bertatap muka dengannya tak kalah tajam.

Aku meneguk ludahku dengan susah payah. Aku tersentak saat Lita menggebrak mejaku.

"Hmmm.. Sudah-sudah. Pak, maafkan sahabat saya. Dia memang seperti itu." tukas Lita sopan. "Dan ini ponsel Anda!" Lita menyerahkan ponsel itu kepada pemiliknya.

"Lain kali ingatkan sahabatmu!" katanya lalu pergi meninggalkan kami.

Aku menatap Lita dengan tatapan menyelidik "Kenapa kamu melakukan itu?"

"Duduk dulu!" aku mengangguk.

"Jadi, dia itu bos baru di kantor kita. Katanya sih, dia anak pemilik perusahaan ini. Karena Ayahnya sedang... Sekarat, dia ditugaskan untuk mengganti Ayahnya." jelas Lita panjang lebar.

Aku mengeryit "Siapa nama Ayahnya?"

"Pak Rafa Handoyo."

Aku ber-oh ria "Sangat asing di telingaku."

"Iya. Kamu kan CEO baru disini." aku terkekeh "Iya juga, ya."

Pikiranku kembali menerawang pada kejadian yang kualami barusan. Tidak ada yang aneh. Tapi kenapa saat aku menatap mata lelaki itu, jantungku seperti ingin meledak?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Because of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang