Waktu seakan tidak pernah mau berhenti saat jam-jam sibuk di pagi hari; para pegawai yang berangkat ke kantor, para siswa—apalagi saat itu pertengahan Agustus, hari pertama di tahun ajaran baru—yang memenuhi halte dan angkutan umum, para petugas lalu lintas yang mengatur jalanan Ibu Kota, dan para pejalan kaki yang berjalan serbacepat sambil terus berdoa agar tidak terlambat tiba di lokasi tujuan mereka.
Katharina Gunardi salah satunya. Di tengah kesibukan pagi itu, Tharin tampak melangkah tergesa sambil mendekatkan ponsel ke telinga. Seseorang baru saja menghubunginya, menyampaikan sebuah kabar buruk.
"Tharin, Pak Manajer sudah tiba. Dia suruh kamu ke ruangannya, minta laporan penjualan produk seminggu terakhir. Aku nggak tahu harus bilang apa. Kubilang saja kamu sedang beli sarapan."
Itu Nina. Salah satu anggota divisi pejualan di kantornya.
Sial! Sial! Sial! Tharin terus mengumpat sepanjang jalan. Dia belum punya kendaraan pribadi—lagi pula menurutnya akan merepotkan kalau menyetir sendiri, tidak ada taksi kosong yang melintas, dan dirinya menyerah jika harus bergabung dengan tumpukan manusia yang sedang mengantre menaiki bus TransJakarta. Sambil memperkirakan waktu yang akan dihabiskannya dalam bus dari Pondok Bambu ke Kuningan, Tharin melirik antrean—atau lebih tepat disebut desakan manusia—itu sekali lagi. Tanpa sadar, kepalanya menggeleng cepat. Jika ikut berdesakan bersama mereka, Tharin tidak akan bisa tiba di kantor secepat yang diharapkannya.
Oke, salahkan dirinya yang tidur terlalu larut sehingga bangun kesiangan tadi pagi. Bahkan, tanpa menyapukan make-up ke wajahnya pun dia masih tidak bisa tiba tepat waktu. Dia tidak perlu diingatkan lagi untuk tidur sebelum pukul dua belas malam mulai hari ini. Jelas baginya bahwa datang ke kantor tanpa riasan adalah hukuman cukup telak bagi dirinya sendiri. Jadi, setelah mengira- ngira dalam hati dan memutuskan bahwa TransJakarta tidak akan menjadi kendaraannya pagi itu, Tharin berjalan terburu ke trotoar sambil menunggu keajaiban—dan terus mengumpati kesialannya dalam hati.
Keajaiban? Akankah hal serupa itu benar-benar ada?
ADA! Tharin baru saja menemukannya ketika melihat sebuah taksi bergerak mendekat ke arahnya. Lampu di atas atap taksi menyala, pertanda bahwa taksi kosong. Nyaris menjerit senang, Tharin bergegas menyusul taksi tersebut. Sedikit lagi, dia bisa meraih gagang pintu kanan mobil—Tharin bahkan sudah mengulurkan tangan, tetapi seorang pria paruh baya mengenakan jas abu-abu agak kusam lebih dulu meraih gagang pintu di sebelah kiri, menerobos masuk, dan menutup pintu. Taksi kembali bergerak. Tidak siap dengan gerakan mendadak dari mobil tersebut, Tharin yang setengah membungkuk untuk berdebat dengan pria yang menyerobotnya lantas hilang keseimbangan, sebelum akhirnya terhuyung dan terjerembab ke trotoar.
"Aduh!" jeritnya sambil mengusap tempurung lututnya yang berdenyut nyeri.
Bertepatan dengan Tharin yang terduduk di aspal, sebuah Honda Tiger berwarna hitam-milenium merapat ke arahnya, lalu berhenti.
"Kamu oke?" Tiba-tiba sebuah suara bernada bariton bertanya. Mau tidak mau, Tharin mendongak dan mendapati sepasang
mata dengan pandangan tajam tengah menyipit ke arahnya dari
balik kaca helm.
"Ah, ya," jawab Tharin ala kadar sambil mencoba bangkit, tetapi hak sepatunya yang lumayan tinggi membuatnya kesulitan berdiri. "Aku oke." Cepat-cepat Tharin menambahkan, lalu mencoba bangkit lagi.
"Kamu pucat," komentar lelaki itu seraya mengulurkan tangan, berniat membantu Tharin. Tharin terperangah sejenak, sebelum menerima uluran tangan itu. "Muka kamu kayak mayat hidup," sambung lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUT OF LOVE - ADELIA AZFAR
RomanceLian : Setelah resmi bercerai, kecil kecil kemungkinan Brilian Gunawan akan jatuh cinta lagi. Tapi Tharin membuatnya mungkin- meskipun cinta mereka masih harus dirahasiakan. Bagaimanapun hubungan antara atasan dan karyawan hanya akan jadi bahan omon...