Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Sudah lima tahun lamanya kisah cinta mereka terukir dengan indah. Mereka bukanlah hanya sekedar sepasang kekasih, namun mereka juga adalah sahabat, keluarga, dan terkadang musuh. Jungkook dan Yein. Kedua anak Adam itu telah bersama selama satu lustrum lamanya atau setengah dasawarsa. Segala masalah, susah senang, telah mereka hadapi sampai sekarang.
Di perayaan kali ini mereka memutuskan untuk berlibur di pesisir Busan. Mencoba suasana yang berbeda, katanya.
Sang gadis bergerak gelisah. Kini Yein telah sampai duluan di Busan, karena Jungkook masih sibuk dengan urusannya. Di sinilah ia sekarang, duduk di tepi pantai. Sendirian.
"Huft..." hela nafas resah berkali-kali ia keluarkan. "Kapan kau datang?"
Matanya bergantian menatap ponsel dan jam yang melingkar di tangannya. Sudah terhitung tiga jam lebih Jungkook terlambat.
"Jeon Jungkook, kapan kau datang sih?" Yein bermonolog.
Sampai akhirnya suara dering ponsel mengalihkan aksi bermonolognya. Wajahnya berubah masam setelah melihat siapa yang menghubunginya.
"Iya, Hoseok Oppa? Ada apa?" tanya Yein to-the-point saat sambungan telepon telah terhubung.
"Kau ada di mana sekarang?" tanya Hoseok.
"Aku sedang di Busan. Oppa tahukan hari ini hari jadiku dengan Jungkook?" Yein balas bertanya.
Hoseok tersentak kaget, wajahnya berubah makin khawatir ketika mendengar ucapan dari sang adik barusan. "Yein-ah, berhentilah bersikap seperti ini. Kau harus menerima semuanya, Yein," ujar Hoseok mencoba memberi pengertian.
Yein yang tak paham maksud kakaknya itu pun hanya mengernyit bingung. "Maksud Oppa apa sih?"
"Jungkook sudah meninggal, bukan?"
Satu kalimat Hoseok barusan sukses membuat perasaan Yein makin tak karuan. "Berhentilah bercanda, Oppa. Bagaimana bisa Jungkook meninggal?"
"Yein dengarkan Oppa, Jungkook sudah meninggal sejak satu tahun yang lalu. Berhentilah bersikap begini, Yein. Jungkook telah pergi. Sampai kapan kau akan terus terpuruk? Relakanlah dia."
"TIDAK!" teriak Yein. "Oppa berbohong, Jungkook tak mungkin meninggal. Beberapa jam lalu kami baru saja saling menelepon, beberapa hari lalu juga kami bertemu."
Di ujung telepon sana Hoseok sudah menangis dalam diamnya. Sungguh, ia tak tega melihat Yein yang seperti ini. "Sekarang, coba cek riwayat panggilanmu. Apakah Jungkook benar-benar menghubungimu?"
Yein buru-buru mematikan panggilannya dengan Hoseok. Matanya pun sudah meneteskan buliran bening. Jari-jarinya bergetar menyentuh layar ponselnya.
Tangisnya makin pecah ketika apa yang dikatakan Hoseok memang benar adanya. Tak ada satu pun panggilan dari Jungkook. Sekelebat ingatan masa lalu kini berputar di pikirannya, tentang kematian Jungkook yang diakibatkan karena kanker otak yang ia derita.
"AGHH!" jerit Yein. "Ini tak mungkin. Kenapa kau meninggalkan aku Oppa? Kenapa?"
Yein tak henti-hentinya menangis dan menjerit. Hatinya hancur mengingat semua kenangan menyakitkan itu. Jungkook memang sudah meninggal. Bersama itu pula hatinya telah mati.
"Yein-ah, kenapa kau menangis?" tanya sebuah suara.
Yein diam saat suara itu muncul lagi, "Kenapa menangis, hmm?"
Suara itu tak pernah ia lupakan. Suara yang paling ia rindukan selama satu tahun terakhir. Dan kini suara itu tiba-tiba muncul dari ponselnya. Layar tipis itu menampilkan sebuah rekaman pesan suara.
"Oppa?" panggil Yein.
"Huft... apa kau mendengarku?" tanya Jungkook dan dibalas dengan anggukan oleh Yein.
"Jika kau mendengar rekaman ini, berarti aku sudah pergi jauh sekali. Selamat hari jadi kita yang kelima tahun, Sayang. Maaf aku tak menyiapkan kado, karena kau tahukan aku kini sedang terbaring di rumah sakit? Maaf karena aku tak bisa menepati janjiku, seharusnya hari ini aku datang untuk melamarmu. Kau ingatkan dulu kau selalu ingin dilamar di tepi pantai? Maafkan aku. Kau pasti kecewa, bukan?"
Rekaman itu terus berputar, sesekali Yein pun tersenyum di tengah tangisannya.
"Haruskah aku melamarmu sekarang? Hahaha... kelihatannya itu tak bisa. Yein-ah, maafkan aku yang tak bisa menjadi kekasih yang baik untukmu. Bahkan aku pergi begitu saja tanpa pamit. Tapi jujur, aku sangat mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Jika memang ada kehidupan kedua, aku akan meminta kepada Tuhan untuk sekali lagi membahagiakanmu. Karena, aku yang saat ini tak pernah bisa membahagiakanmu," Jungkook berujar dengan diiringi isakan tangis.
"Kau tak bersalah, Oppa," ujar Yein menyahut. "Aku pun juga mencintaimu."
"Yein, jangan terus bersedih kumohon. Lanjutkanlah kehidupanmu dan carilah orang yang benar-benar bisa membahagiakanmu. Bukan seperti aku yang penyakitan ini."
"Berhenti, Oppa."
"Aku tahu ini sulit, Sayang. Tapi percayalah, aku akan selalu ada di sampingmu walau kita tak ada di dunia yang sama lagi. Kumohon, lanjutkan hidupmu. Berjanjilah, atau aku akan sedih di sini."
Yein hanya mengangguk sebagai balasan. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan sesuatu.
"Terakhir, aku mencintaimu. Jeon Jungkook sangat mencintai Jeong Yein. Sekarang hapus air matamu dan berhentilah menangis. Mengerti?"
Rekaman suara Jungkook pun berakhir. Yein pun menghapus air matanya, sesuai yang diinginkan Jungkook. Ia tak pernah menyangka jika Jungkook membuat rekaman seperti ini di saat-saat kritisnya.
"Oppa terima kasih, aku juga sangat-sangat mencintaimu. Hmm... aku akan berusaha menjalani hidupku lebih baik mulai sekarang. Tapi, aku tak bisa berjanji untuk mencari laki-laki lain. Kau sudah membawa seluruh hatiku bersamamu, Oppa. Jadi, biarkanlah aku hidup bersama kenangan indah bersamamu," ujar Yein seperti memberikan jawaban untuk Jungkook. "Aku mencintaimu, Oppa."
The end.
170326
Yey ada cerita baru dari tifa"^"
Ini series ya cast nya bisa ganti-ganti jadi tunggu aja ya'^'//Sedih gak part yg ini?;(( tifa mewek bikinnya:3
Jangan lupa add tifa yaw, masukin ini reading list kalian, vote + comment juga makasih :*
Bye bye
Tertanda
Tifa💞
![](https://img.wattpad.com/cover/103898458-288-k288347.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anniversary [JJK-JYI]
FanfictionKami bertemu hari itu di sana dan berjanji akan selalu bersama selamanya. Teruntuk kau yang telah damai di sana, aku teramat mencintai dan merindukanmu. Sapphiretifa © 2017