Trevie. Dia tak pernah mengerti atau bahkan mencoba untuk mengerti apa yang disebut cinta. Dia tidak pernah mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh. Tetapi, ia bertemu dengan sosok perempuan yang membuatnya mencoba sendiri untuk mempelajari tentang cinta.
Trevie
Ini baru part pertama. Rasanya tak enak jika aku langsung meperkenalkan diriku. Maksudku, kita, ya, aku dan kamu yang membaca. Bukankah kita hanyalah dua orang asing yang tidak tau satu sama lain? Itu akan aneh jika aku langsung memperkenalkan diri. My mother told me to not give informations about myself to strangers. Alasan lainnya, aku bukan tipe orang yang sok kenal dan sok akrab.
"Trev, are you listening to me?" kata Oliver. Kalian juga akan tau siapa dia tidak lama lagi.
"Hmm.." kataku tidak peduli dengan apa yang Oliver ceritakan dari tadi.
"Then tell me what?" katanya dan mengambil handphoneku dari genggaman dan pandanganku, "what did i tell you about?"
Aku hanya menggelengkan kepala masih tidak peduli.
"Gosh! Ga ada gunanya ngomong sama lu," ucap Oliver.
"Sorry, boi. Mau lu ngomong apapun, kalo itu berhubungan dengan cinta-cintaan gajelas itu, gua ga bakal ngerespon atau bahkan dengerin. Sorry." Aku menyahut kembali handphoneku.
"Awas aja lu kemakan omongan sendiri!"
"Gua pasti bakal kemakan omongan sendiri, for sure. Tapi gua yakin hari itu masih jauh dari hari ini. Karena ga mungkin gua meninggal sendirian tanpa pasangan. Or... maybe."
"Whatever. It's 5 p.m. Ga kerasa, daritadi gua cerita-cerita, udah 3 jam kita lewati." kata Oliver.
"You're funny, dude. Mungkin lo harus ngerasain ada di posisi gua. Gua dua empat per tujuh bosen denger cerita lu. 3 jam itu SANGAT-SANGAT terasa."
Di perjalanan kita menuju ke lobby kecil di bagian selatan gedung sekolah ini, aku sedikit teralihkan oleh Miracle. Dia daritadi berada di void sambil memegang novel. Seketika hembusan angin datang dan Miracle memanjangkan kembali sweater yang lengannya dia gulung. Sweater maroon yang sangat sering aku lihat. Entah kenapa, aku sangat perhatian sehingga tanpa disengaja, aku bisa menjadi familiar dengan baju-baju yang dia pakai.
"Aneh, temen-temennya mana?" kataku.
"Who?" ucap Oliver dongo.
"Miracle."
"Oh lu juga ngeliatin dia."
"What? Lu baru aja jadian."
"Gua ga tau lu sadar atau enggak, tapi lu sekarang ngerti tentang "jadian-jadian" yang biasanya lu ga pernah peduli karena itu termasuk "cinta-cintaan gajelas itu"."
"Bagus dong berarti gua makin ahli di berbagai bidang."
Aku kembali menoleh ke void lantai 2 yang mengitari lapangan di tengah-tengah sekolah. Miracle sudah tidak ada di situ. Apa jangan-jangan.. yang tadi aku lihat hanyalah makhluk.. ah sudahlah.
Biasanya Miracle selalu bersama teman-temannya yang lebih terlihat seperti para minionnya. Aneh jika melihat dirinya seperti barusan. Ahh aku jadi takut.
-
You see me as a cold person? Haha. Then you're definitely wrong, buddy. Silahkan simak cerita tentang hidupku di bagian-bagian berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Book Ends : Re-cycle
Teen Fiction[BAHASA] Buku Miracle tidak berakhir happily efer after, karena sebenarnya happy ending yang selalu ada pada dongeng itu tidak ada di kehidupan nyata. Lalu bagaimana dengan kehidupannya sekarang? Tidak mungkin kehidupan seseorang hanya menggantung s...