Chapter 6.

685 109 37
                                    

Aurora Castleine pov . . .

Aku mengambil kunci mobilku dari tangan Niall dan langsung menyuruh Prince untuk masuk ke dalam rumah, “Terimakasih kau sudah menemaniku dan Prince tadi. Terimakasih untuk hari ini,” ucapku sembari menutup pagar rumah.

“Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Ohya, itu mobil siapa?” balasnya yang langsung membuat mataku mengikuti arah tangannya. Aku baru sadar bahwa sedari tadi mobil sport berwarna silver berada tepat di depan rumahku. Aku mengamati mobil itu dengan teliti. Aku seperti pernah melihatnya. Tapi mobil siapa?

Aku kembali menatap Niall dan mengernyitkan dahiku, “Aku tak tau. Mungkin hanya parkir sebentar. Lebih baik kau cepat pulang,” bukan, aku bukan bermaksud mengusirnya. Hanya saja aku tak ingin Niall berlama-lama di sini. Apalagi kalau sampai Ia meminta untuk masuk ke dalam rumah. Aku tau benar, Niall selalu memohon untuk bisa masuk ke dalam rumahku setiap kali Ia datang. Entahlah, aku tak tau apa tujuan utamanya yang pasti aku selalu melarangnya. Terlebih lagi jika sedang ada masalah di rumahku. Aku hanya tak ingin Ia tau tentang... ah sudahlah.

Niall menatapku tajam, “Kau selalau saja mengusirku,” ucapnya lirih.

Aku menarik nafas panjang, “Aku tidak mengusirmu,” jawabku sedikit kesal. Aku memutar tubuhnya dan mendorongnya hingga tepat di depan mobil sport miliknya.

Ia menahan tubuhnya sendiri dari doronganku dan menoleh, “Baiklah, Aku hanya ingin bertemu dengan kakakmu. Dari dulu aku belum pernah sekalipun melihatnya padahal kau tau sendiri aku sering kali datang ke rumahmu. Dengar-dengar kakakmu itu tampan, aku hanya ingin melihat seberapa tampan dia. Aku tak rela jika Ia lebih tampan dariku,” jujur, ucapannya membuatku terkekeh. Polos sekali dia berkata seperti itu. Kakakku memang tampan, tapi kurasa ketampanannya tertutupi oleh sifat buruknya.

Aku tersenyum tipis ke arahnya, “Kakakku lebih tampan darimu. Sudahlah aku mohon kau cepat pulang. Aku sangat lelah hari ini,” dengusku menampakan wajah memohon.

“Baiklah, aku akan pulang sekarang asalkan kau mau berangkat sekolah denganku besok,” balasnya membuat mataku membulat. Bahkan aku saja tak begitu yakin jika besok aku akan masuk sekolah.

Aku mendengus kesal. Menyebalkan sekali anak ini, “Terserah kau saja, cepatlah pulang,” balasku tanpa berfikir panjang. Niall tersenyum tipis dan mengacak-acak rambutku.

Itu sudah biasa, “Bye Aurora,” lanjutnya sembari masuk ke dalam mobilnya. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan kananku ke arahnya.

-

Aku berjalan masuk ke dalam rumah saat mobil Niall sudah tak terlihat. Aku membuka knop pintu rumah perlahan. Mataku membulat seketika saat seluruh tubuhku sudah berada di dalam rumah. Sudah kesekian kalinya Zayn melakukan ini. Berpesta pora bersama teman-temannya yang menurutku juga sama buruknya dengan Zayn. Pantas saja dari depan pintu sudah terdengar suara lagu yang begitu kerasnya. Dan mobil silver yang berada di depan rumah, aku yakin itu mobil dari salah satu teman brutal Zayn.

“Apa sih funginya kau bermain seperti ini? Bukankah mama juga pernah menegurmu untuk tidak melakukan hal konyol tak berfungsi seperti ini lagi? Siapa yang akan membereskan semuanya Zayn? Lebih baik kau usir semua teman-teman burukmu itu!” teriakku kesal tepat di depan wajah Zayn membuat matanya benar-benar bulat menatapku. Lagi pula, apa mama tidak melarang Zayn?

Zayn bangun dari duduk santainya di atas sofa. Ibu jari tangan kanannya mengarah pada dahiku. Tatapannya benar-benar tajam, “Hey kau ini siapa berani menyuruhku seenaknya? Lagi pula mama tak ada di rumah, jadi saat ini akulah yang harus kau turuti karena aku yang lebih tua!” bentaknya sesuai dugaanku. Aku terdiam sejenak mengamati sekeliling rumah. Sepi sekali? Memang mama pergi kemana?

“Hei Zayn! Jangan terlalu kasar kau dengan adikmu sendiri!” ucap seseorang bermata coklat yang sedang duduk tak jauh dari tempatku berdiri. Siapa lagi kalau bukan teman sebangsa Zayn? Jika kau bertanya siapa namanya, bahkan aku saja tak peduli dan tak mau tau. Orang itu benar-benar menambah rasa kesalku. Aku tak tau tujuan utamanya berkata seperti itu. Tapi aku tak yakin jika dia adalah laki-laki yang baik.

Zayn menoleh ke arahnya, matanya membulat menatap tajam mata laki-laki itu. Kurasa Zayn marah karena laki-laki itu tak membelanya tetapi justru membelaku, “Zayn! Jangan salahkan temanmu! Lagipula temanmu itu ada benarnya, aku ini adikmu bukan?” ucapku cepat sebelum Zayn melontarkan emosinya, “Dan kau? Entahlah siapa namamu. Yang pasti jangan pernah membelaku lagi, cukup ini saja yang pertama dan terakhir kalinya!” lanjutku sebelum kulangkahkan kakiku menuju kamar mama.

-

Aku menatap setiap sudut di kamar mama. Dan ternyata Zayn benar, mama memang tak ada di rumah. Kufikir dia hanya bercanda. Pantas saja Zayn berani membawa teman-temannya itu ke dalam rumah. Apa dia tak takut jika papa pulang dan akan memarahinya habis-habisan? Huuhhh untuk apa aku memikirkannya?

Aku merogoh saku jeansku. Mengambil handphoneku dan langsung menghubungi mama. Kuharap mama baik-baik saja.

To : Mom

Bukankah mama sedang sakit? Dimana mama sekarang?

From : Mom

Maafkan mama Aurora, mama tak bilang padamu jika mama akan pergi. Pasien mama sangat banyak hari ini. Kau tau? Bahkan untuk minumpun mama tak sempat. Kau tenang saja, mama sudah sehat. Jika kau lapar, kau bisa ajak adikmu untuk makan di luar. Mama akan pulang terlambat hari ini.

To : Mom

Its okay i love you mom

Aku menghela nafas lega dan langsung melangkahkan kakiku keluar. Menuju tempat paling nyaman. Tempatku meluapkan apapun yang aku rasakan. Apalagi kalau bukan kamarku sendiri?

-

Toktoktok~ seseorang mengetuk pintu kamarku saat aku sibuk membereskan kasurku yang memang cukup berantakan karena aku belum sempat merapikannya. Aku menoleh ke arah suara dan mendapati Princess yang sedang berdiri tepat di ambang pintu dengan wajah yang... cukup sulit untuk dijelaskan, “Hey Prince? Masuklah,” ucapku sedikit melirikan mataku ke arah kasur.

Prince melangkahkan kakinya memasuki kamarku dan mendaratkan tubuhnya tepat di bagian bibir kasur, “Kau ingin bercerita tentang papa dan mama bukan?” tanyaku sembari menatap mata birunya. Aku seperti melihat apa tujuan Prince masuk ke dalam kamarku.

Prince menghela nafas panjang dan menggangguk sembari menampakkan senyum tipisnya. Kurasa ia sedikit ragu, “Baiklah, kau bisa bercerita sekarang,” jawabku sembari mengangkat ke-dua kakiku ke atas kasur dan merebahkan tubuhku di atas pulau lelap itu.

-------------------------------------------------------------

A/N : so sorry for the weird story. awalnya mau post sekalian sama ceritanya Princess tapi nanti kepanjangan wkwk. lilo yg seutuhnya bakal ada bareng ceritanya Prince. leave ur comments after reading and please leave ur votes if my story deserved it. thanks for reading mwah xx

Little Black Dress {pending}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang