Aku merekamnya, Hyungwon-ah. Merekam dengan mataku bagaimana kamu menjadi pendamping hidup ku, di hari pertama pernikahan kita. Aku menyaksikan punggungmu dari bingkai pintu, saat kamu sedang asyik membuatkan nasi goreng di dapur untukku. Kamu menoleh, aku sembunyi. Kamu mengerutkan dahi, seperti ada yang ngintip? Begitulah mungkin kamu berfikir. Memang, batinku... hehe. Aku menutupi tawa renyah dengan gumpalan tangan.
.
Aku merekamnya, Hyungwon-ah. Merekam dengan retinaku bagaimana kamu mengusap peluh di pelipismu. Kamu sepertinya capek sekali. Pagi-pagi sudah membereskan rumah, menyiapkan sarapan, dan juga merapikan baju-baju. Maafkan jika hari itu aku pura-pura tidur, tak membantumu. Aku hanya ingin merekam semua kebaikanmu. Agar saat aku marah dan kesal padamu, rekaman itu dapat diputar kembali.
.
Kamu, yang dengan rela meninggalkan orangtuamu demi menemani dan melayani aku. Meninggalkan kemanjaan bersama Appa mu. Meninggalkan kehangatan bersama Eomma mu. Itu semua demi aku? Lelaki yang baru dikenalmu ini? Oh sungguh, Hyungwon-ah. Aku akan memurkai diriku sendiri jika seandainya aku menyakiti dirimu. Tidak. Aku tak akan menyakitimu. Aku akan berusaha untuk itu, Hyungwon-ah.
.
Kamu, seorang yang dengan ikhlas melepaskan harapan, cita-cita, dan impianmu hanya untuk merelakan sisa hidupmu untuk lelaki seperti diriku. Melayaniku di sepenuh hari. Menenemaniku di sepanjang umur. Oh, Hyungwon. Bagaimana mungkin mata ini melototimu sedang aku melihat semuanya. Melihat pengorbananmu untukku. Tidak. Aku mungkin akan marah di sesekali waktu, namun sekeras-kerasnya marahku adalah setukil senyuman. Tidak akan kubiarkan tangan, lisan, atau bahkan hatiku menyakiti dirimu, Hyungwon-ah.
.
"Wonho-ya , sarapan dulu," titahmu di mulut pintu. Aku masih membungkus tubuhku dengan selimut. Tak berani menoleh. Aku takut kamu tahu kalau mataku sedikit basah. Maaf, aku memang selalu cengeng untukmu, Hyungwon-ah. Terimakasih, barangkali itulah pesan yang ingin disampaikan derai ini.
"Won, masih tidur? Capek ya?" katamu lagi. Kini kamu sudah duduk di tepi kasur. Mengusap bahuku. "Ya sudah, aku panasin saja ya nasi gorengnya."
"Eh gak usah, sayang ." ujarku sambil menyingkap selimut, "Udah bangun kok."
Kamu menatapku. Menyipitkan mata, lalu menyentuhkan ujung jempol di sudut mataku, "kamu kok kayak orang nangis?" Tanyamu.
"Siapa yang nangis," kilahku, "Kalau bangun tidur, biasa berair seperti ini aku mah."
Aku nyengir.
Kamu ikutan nyengir. "Kebiasaan yang aneh," katamu menggeleng.
Maafkan aku, Hyungwon-ah. Ini kebohongan pertamaku kepadamu.
"Ini nasi goreng spesial buat Kamu," katamu di meja makan, "Cobain deh."
Kamu tahu, Hyungwon. Andai ini keasinan, maafkan sebab aku akan berbohong lagi, mengatakan bahwa ini makanan terlezat di muka bumi. Aku mengacungkan dua jempol, "Enak," pujiku dengan makanan yang masih tertahan di mulut. Aku tak perlu berbohong, ini memang enak.