"Hei, Lou! Mengapa kau harus mengajakku ke istana?" protes Alfred begitu dia diseret paksa oleh Louise untuk menemaninya menemui sang Raja.
Louise semakin erat memegangi lengan baju Alfred yang berusaha keras membebaskan diri. Apa pun yang terjadi, dia tak bisa melepaskan sahabatnya begitu saja. Bagaimanapun juga, Alfred harus ada di sampingnya saat Louise berhadapan dengan penguasa kerajaan Lofein. Dia tak mau sesuatu hal terjadi padanya tanpa sepengetahuan orang yang dikenalnya. Sesuatu yang mungkin saja buruk.
Tidak. Louise harus memastikan ada seseorang yang tahu bagaimana nasibnya di istana. Bisa saja ini adalah saat-saat terakhirnya untuk hidup. Ya, itu pun jika apa yang mengusik benaknya sejak tadi benar-benar terjadi. Namun, sebagai tindakan antisipasi, Louise pun mengajak serta Alfred.
"Paling tidak, jika aku dituduh bersalah dan dihukum—entah dipenjara atau paling buruk dihukum mati—, kau menyaksikannya. Dengan begitu, kau bisa menguburkanku dengan layak dan mengurusi semua yang kutinggalkan. Meski sebenarnya, aku sendiri tak yakin dengan kesalahanku. Apa benar aku tanpa sengaja menolak utusan raja, ya?"
"Hei! Berhentilah berandai-andai! Lagi pula, aku yakin kau tak akan dihukum mati! Memangnya masuk akal kau dihukum mati gara-gara sepatu? Sudahlah! Jangan berpikiran buruk seperti itu!"
Louise tak menanggapi kejengkelan sahabatnya dan malah mendecih lalu menyikut Alfred, tepat ketika mereka berada di luar ruang singgasana. Pemuda itu langsung membungkuk kecil pada dua orang yang berdiri di sana. Diserahkannya surat yang diterimanya pada salah seorang dari mereka yang menjaga pintu penghubung lorong dengan tempat Raja menyambut tamu. Sosok berwajah keras tanpa senyum itu mencermati isi surat yang dibawa Louise dan langsung menyuruh penjaga di sisi lain membuka pintu.
"Silakan masuk. Raja sudah menunggu kalian. Tolong, jaga sikap kalian di hadapan Yang Mulia."
Begitu dia selesai menyampaikan pesannya, pintu terbuka. Louise dan Alfred mengangguk, mengucapkan terima kasih, lalu masuk ke ruangan singgasana.
Ruangan itu sangatlah besar dengan arsitektur bangunan yang sangat luar biasa. Tata ruangnya begitu rapi, dengan ornamen dan hiasan begitu indah di setiap sudut. Lantai marmer berkilauan diterpa cahaya lampu menggantung di langit-langit. Kaca besar membentuk lukisan di atas singgasana sang Raja juga tampak memesona. Singgasana Raja Lefoin ini sungguh luar biasa menawan.
Raja Lofein—Alexander Edward Wellington—tampak duduk di kursi kebesarannya di tengah ruangan. Kursi ek mengilat dengan bantalan berisi bulu angkasa dibalut lapisan beledu merah marun tampak menguarkan aura dari lelaki paruh baya itu. Sang Raja yang telah memimpin kerajaan Lofein lebih dari dua puluh tahun itu terlihat begitu berwibawa, sekalipun dari jauh. Auranya benar-benar kuat. Sungguh sosok yang mengesankan, bahkan bisa membuat orang terintimidasi.
Meski Raja Alexander tidak terlalu tinggi, dia memiliki tubuh tegap dan besar, tanpa otot berlebih. Mukanya tak menunjukkan usia sesungguhnya yang telah menginjak usia lima puluh tahun. Dia masih tampak muda, seperti masih di usia kepala tiga. Dagunya licin dengan muka cerah. Sorot matanya tegas sekaligus lembut di saat bersamaan. Senyum tak pernah menghilang dari raja yang dikenal arif dan bijaksana itu.
Louise dan Alfred pun bersikap sepantasnya untuk menghadap sang Raja. Mereka membungkuk lalu berlutut, terpisahkan beberapa meter dari tempat Raja Alexander duduk. Setelah mengucapkan salam penghormatan pada raja Lefoin, mereka memilih diam. Menunggu sampai Sang Raja mengatakan maksudnya.
Raja Alexander memandangi kedua pemuda di depannya selama beberapa saat. Setelah beberapa menit mengamati dua sosok jangkung yang terus menunduk, dia pun bersuara, "Jadi, siapa di antara kalian berdua yang bernama Louise Silverthorne?" Suara laki-laki paruh baya itu terdengar lembut dan enak didengar. Semua yang mendengarnya bisa merasakan kehangatan dan keramahan Raja Alexander.

KAMU SEDANG MEMBACA
Red Shoes [END]
FantasyIni bukanlah cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Sosok gadis penuh derita karena ibu dan saudari tiri yang menyiksanya. Bukan. Ini juga bukan si gadis yang pergi ke pesta untuk bisa berdansa dengan pangeran impiannya. Gadis beruntung y...