Hari minggu datang lagi. Mungkin minggu ini adalah minggu terakhir Zahra mengetik untuk Julian. Dan mungkin di hari minggu ini adalah hari terakhir Zahra dan Julian bertemu di aula kampus lantai tiga gedung F.
Dua jam telah berlalu. Akhirnya Zahra menyelesaikan ketikannya. Zahra merasa sangat lega karena terbebas dari tanggungan berat yang harus dipikulnya selama beberapa minggu ini. Zahra pun segera mengemasi barang-barangnya dan bergegas keluar dari aula. Sementara itu, Julian mengikutinya dari belakang.
"Kenapa dia bersikap sedingin ini? Tidak biasanya dia bersikap seacuh ini," pikir Julian yang melihat perubahan sikap Zahra.
Ketika berada di dekat tangga dan lift, Julian pun menghampiri Zahra yang hendak menuruni tangga.
"Zahra! Naik lift aja!" suruh Julian.
"Tidak. Terima kasih," tolak Zahra.
"Kak, gue sama sekali nggak bermaksud bersikap sedingin ini. Tapi keadaanlah yang memaksa. Aku harus menekan perasaan aneh ini terhadapmu. Aku tidak ingin melukai sahabatku, Vera," gumam Zahra dalam hati kecilnya.
Mendapati sikap Zahra yang semakin mengacuhkannya, Julian pun menjadi geram. Tiba-tiba saja tangannya meraih tangan Zahra dan memaksa Zahra untuk masuk ke dalam lift bersamanya. Zahra melawan. Tapi Zahra tak beradaya. Tangan Julian begitu erat memegangnya dan pada akhirnya Zahra mau tidak mau harus mengikuti keinginan Julian.
Setelah mereka memasuki lift, pintu lift pun tertutup secara otomatis. Suasana mulai tak bersahabat dengan Zahra. Canggung dan penuh rasa aneh yang melekat di hati Zahra layaknya kabut di pegunungan. Zahra hanya bisa mematung tanpa kata dan suara. Lagi-lagi Zahra terjebak dalam keheningan yang mencekik. Hingga akhirnya keheningan itu sirna ketika Julian mencoba mencairkan suasana.
"Zahra, kenapa lo...." Julian terhenti.
Zahra menoleh ke arah Julian. Tapi ia masih sama. Berdiri mematung di samping Julian di dalam lift yang bergerak turun.
"Kenapa lo jauhin gue?" lanjut Julian.
Zahra menunduk. "Masa sih?" kilahnya.
Sebelum Julian melanjutkan petanyaannya, tiba-tiba lift terguncang hebat sehingga membuat Zahra kehilangan keseimbangan di antara kedua kakinya. Akhirnya Zahra pun terjatuh ke pelukan Julian. Mata mereka saling bertatap. Degupan jantung di antara keduanya lagi-lagi bertabu kencang. Zahra pun tersadar. Secepatnya ia mengucap istighfar lalu melepaskan diri dari pelukan Julian.
"Kenapa liftnya berhenti?" tanya Zahra.
"Entahlah." Julian mengangkat pundak.
"Apa liftnya rusak?" sambung Zahra yang mulai cemas.
"Lo jangan panik! Gue akan telpon seseorang."
Julian pun meraba saku celananya untuk mengambil ponselnya. Namun, ia tidak menemukan apa pun di saku celananya. Lalu ia mencari ponselnya di dalam tas ranselnya. Namun, ia juga tidak menemukan ponsel yang ia cari.
Mata Julian membulat. "Ponsel gue pasti ketinggalan di mobil!" tebaknya.
"Arrghh! Aku akan menelpon sendiri!" kata Zahra yang bertambah cemas dan panik.
Setelah itu, Zahra pun mengeluarkan ponsel dari saku celana olahraganya. Lalu ia pun mencoba menelpon Vera. Akan tetapi, sia-sia saja usahanya itu. Hanya ada suara seseorang yang menyatakan bahwa pulsanya tidak mencukupi untuk bisa melakukan panggilan.
"Kenapa? Nggak diangkat?" tanya Julian.
Zahra tersenyum malu. "Nggak ada pulsa, Kak," ia meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderful Heart Zahra
SpiritualBerawal saat Zahra tidak sengaja tertabrak dengan seorang cowok bernama Julian Prasega yang merupakan idola kampus. Tabrakan itu membuat Flash disk penting milik Julian rusak sehingga Julian menuntut Zahra untuk bertanggung jawab atas file-file y...