Lumina POV
Perjalanan kami memakan waktu sekitar satu setengah jam. Syukurlah pesawat yang kami tumpangi berhasil landing dengan baik. Setelah keluar dari Bandara Soekarno-Hatta kami memesan taksi dan langsung menuju gedung kencana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat dimana Bude Henny dirawat. Aku menggandeng tangan mungil Ava sambil menyeret koper.
Sampai akhirnya tibalah kami di kamar rawat inap. Bude Heny berbaring lemah di atas ranjang. Selang infus dan alat bantu napas menempel erat di tubunya. Ibu menggenggam tangan bude Henny yang mulai keriput lalu mengecupnya pelan. Disaat seperti ini bude Henny masih saja bisa tersenyum. Mba Sita membantu beliau untuk duduk.
"Gimana perjalanannya? Pasti Ava senang sekali ya." Tanya beliau tersenyum bahagia melihat kami semua.
"Iya Eyang, Ava bisa lihat pulau awan." Celoteh Ava. Bude Heny terkekeh kecil mendengarnya.
"Gimana keadaannya sekarang, bude?" Tanyaku.
"Yah, begini deh kayak yang kamu lihat. Maklum bude kan udah tua, wajar kalau sakit-sakitan."
"Tapi tetep harus cepet sembuh. Kan sakit itu gak enak eyang." Kata Ava dengan begitu polosnya.
Tangan bude terulur membelai rambut putriku. "Ava kok pinter banget sih. Di sekolah belajar apa memangnya?"
"Banyaaaaaakkk sekali, eyang. Ava suka sekolah."
"Iya, TK mah belum ada apa-apanya. Coba kalau dia tau rasanya kuliah, pasti dia gak akan ngomong begitu. Uh, aku jadi pengen balik ke TK. " Ujar Eva mengeluh dengan tatapan sedih namun semua orang yang berada di ruangan ini malah tertawa diatas penderitaannya.
Tok-Tok.
Suara itu datang dari arah pintu masuk kamar. Seorang perawat laki-laki membawa alat tensi darah, dan obat antibiotik suntik.
"Batas waktu kunjungan pasien hanya sampai pukul lima sore ya, bu. Jadi mohon perhatiannya karena waktu besuk sudah habis."
Sontak kami semua melirik jam yang tergantung di dinding kamar rawat inap. Tepat pukul lima sore hari. Rasa rindu yang belum bisa tersampaikan semua harus kami tunda dengan berat hati.
Ah, aku masih ingin disini.
"Sudah tunggu di rumah, ya? Kalau ada keluarga pasti lebih cepat sembuh." Bude Heny tersenyum dengan hangatnya seperti biasa namun terlihat agak berbeda.
Ia nampak lebih bercahaya. Matanya terlihat sayu tapi memancarkan kebahagiaan. Enggan rasanya harus meninggalkan beliau yang terbaring lemah di atas ranjang. Aku hanya bisa berdoa mengharapkan yang terbaik untuk kesembuhan beliau. Ia orang yang kuat.
"Aku lelah. Aku tidur, ya?" Kata bude Henny sembari mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya.
"Ya, istirahatlah mba." Ibu menyelimutinya hingga dada.
Kami membiarkan beliau beristirahat. Sejenak tidak beranjak dari tempat, yang kami lakukan hanya menatapnya iba. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah.
****
Kuletakkan Ava yang sedari tadi tertidur pulas diatas pangkuanku. Selimut kesayangannya kubalutkan dengan hangat seraya berdoa kalau tidurnya nyeyak malam ini. Tak lupa kukecup dahinya lalu kutatap dengan kasih sayang. Hal yang tak bosan kulakukan setiap harinya.
"Kak, handphone kakak bunyi nih dari tadi. Berisik banget, coba ditengok dulu barangkali penting." Ujar Eva muncul dan menaruh handphoneku diatas nakas lalu menghilang tanpa permisi dari balik pintu kamar.
Tertera dilayar
7 unread message from Sandy
10 missed call from SandyWah, aku sudah duga reaksi yang berlebihan kemarin sewaktu kami berpisah di bandara akan seperti ini dampaknya, tanpa sadar menyunggingkan segaris senyuman kecil di wajahku. Ternyata benar, dia sungguh menyukaiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate To Loving You
RomanceAku berjalan sendirian, menelusuri hitam putihnya kehidupan. Terkadang, apa yang di rencanakan tak sesuai dengan angan - angan. Aku masih ingat bagaimana relief wajah tampan lelaki itu. Lelaki yang hanya bisa berjanji tapi nyatanya ingkar. Pergi tan...