6 | Gusti Putri (1)

292 62 24
                                    

Derap langkah kuda menggema memecah keheningan di pagi buta. Aku memacu Yodha secepat mungkin membelah jalanan perkampungan yang masih lengang. Pagi ini aku ingin pergi melihat matahari terbit di bukit timur. Itu kegiatan rutinku setiap satu hari dalam seminggu. Aku tidak merasa mengantuk sama sekali meskipun waktu tidurku berkurang. Begitu juga Yodha. Dia setia menemaniku melakukan salah satu kegemaranku ini. Sebetulnya, Yodha sulit dibangunkan. Membangunkan Yodha merupakan perjuangan yang amat berat. Mungkin ini yang dirasakan Ayahanda, mendiang Ibunda, dan para dayang menghadapi kebiasaan burukku sulit dibangunkan di pagi hari. Tapi, itu dahulu. Sekarang kebiasaan itu sudah menjadi masa lalu. Biarlah masa lalu yang memalukan itu menghilang ditelan waktu. Karena sekarang, aku adalah Kamala Wikrama Indurasmi–seorang Gusti Putri yang cantik jelita, tangguh, dan siap menghadapi segala rintangan di depan mata. Kapanpun dan di manapun.

Langkah kaki Yodha terus bergerak tanpa henti sesuai instruksiku. Dinginnya udara pagi tidak menyurutkan kami untuk berhenti dan menghangatkan diri. Justru itu merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati. Menembus gelapnya hutan, derasnya air sungai, hingga lebatnya padang rumput membuat kami semakin bersemangat. Akhirnya, lokasi yang biasa aku kunjungi bersama Yodha untuk menikmati matahari terbit terlihat dari kejauhan.

"Hampir sampai, Yodha. Ayo cepat!" seruku. Yodha meringkik menyanggupi lalu menambah kecepatan. Aku khawatir akan terlambat. Namun, rasa khawatirku tidak terbukti. Aku dan Yodha sampai di lokasi tepat pada waktunya. Langsung saja aku bergegas turun dari punggung Yodha dan bersiap menyambut terbitnya matahari yang sebentar lagi muncul di depan mataku.

"Sedikit lagi! Sebentar lagi!" teriakku kegirangan. Beberapa detik kemudian, yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Mentari terbit dengan sinarnya yang terang dan menghangatkan. Bagai pertunjukkan alam yang luar biasa, sinar keemasannya menyisir setiap sudut kehidupan–mengusir kegelapan yang menyelimuti sepanjang malam. Burung-burung mulai berkicauan. Suara-suara binatang lain pun terdengar memulai aktivitasnya di pagi hari.

"Apakah Ibunda juga melihatnya? Apakah Ibunda juga merasakannya?" tanyaku sambil tersenyum. Seketika semilir angin lembut berhembus. Aku menutup mataku–menikmati angin pagi menerpa wajah dan tubuhku. Sejenak aku terdiam. Kutajamkan pendengaranku untuk mendengarkan simfoni pagi yang begitu indah. Tak pernah kulewatkan hal seperti ini. Itu menimbulkan ketenangan tersendiri bagiku.

Aku merasa Ibunda ada di sini–berdiri di sampingku menikmati keindahan pagi bersama-sama. Bukan hanya kali ini. Setiap hembusan angin lembut datang, aku merasa Ibunda ada bersamanya.

"Aku tahu, Ibunda. Ini sangat indah. Aku juga merasakannya," lanjutku sembari membuka mata kemudian memalingkan pandanganku ke sekeliling yang sudah terang benderang.

"Apakah kita akan beristirahat sejenak atau langsung pulang ke istana?" tanyaku pada Yodha.

Entah apa yang terjadi pada Yodha. Yodha langsung menekuk lututnya kemudian duduk di sampingku. Kelelahan atau masih mengantuk? Aku tidak tahu.

"Ada apa?" tanyaku lagi. Bukannya menanggapi pertanyaanku, Yodha malah memposisikan dirinya tidur di atas rumput. Aku tertawa melihat sikapnya.

"Baiklah. Kali ini kau menang. Kita akan beristirahat di sini sejenak." Aku mengalah kemudian ikut duduk di sampingnya.

"Apakah kau pernah merindukan seseorang, Yodha? Maksudku merindukan Ibundamu atau Ayahandamu. Apa yang kau lakukan saat rasa rindu itu datang mendera?" Aku memulai pembicaraan.

Yodha meringkik pelan lalu berguling.

"Berguling?" Dahiku berkerut heran dengan jawaban Yodha. "Ah, aku tahu. Itu bukan jawaban. Mana mungkin jawabannya adalah 'berguling'. Aku benar, bukan?"

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang