Cuaca sedang mendung. Langit terlihat suram. Tampaknya gerimis akan turun seharian. Aku merapatkan jaket yang kukenakan. Setengah berlari menuju ke sebuah halte yang tidak terlalu jauh dari kantor tempatku bekerja.
Untung saja bis segera datang. Aku bisa bernafas lega karena masih ada beberapa tempat kosong di sana.
Aku duduk di salah satu kursi sambil mengusap rambutku yang sedikit basah. Kusandarkan punggungku, mengamati jalanan di luar sana.
Hidup ini keras. Penuh perjuangan. Dan aku tidak memungkiri semua itu karena aku merasakannya. Aku turun dengan sekali lompatan kecil dari bus. Dan berjalan kira-kira dua ratus meter hingga sampai ke sebuah rumah besar yang sudah enam bulan ini menjadi tempat tinggal ku.
"Sudah pulang, Nyonya?" satpam setengah baya itu membuka pintu pagar dan membiarkan aku masuk dengan tubuhnya yang sedikit membungkuk hormat.
"Terimakasih, Pak Karman. Apakah Tuan sudah pulang?"
"Sudah, Nyonya."
Aku mengangguk kecil dan buru-buru masuk ke dalam rumah megah itu.
"Kau kehujanan," suara itu membuatku menoleh malas.
"Tidak apa-apa. Sudah biasa," sahutku memandangnya sekilas, lalu menerima handuk yang diulurkannya.
"Kenapa kau keras kepala? Aku menggaji Pak Win untuk mengantarmu kemana saja," katanya menghela nafas panjang.
"Kau tidak perlu melakukannya untukku. Bantuanmu selama ini sudah sangat banyak. Aku tidak mau berhutang terlalu banyak padamu," tolakku yang lagi-lagi membuatnya menarik nafas panjang.
"Kau istriku. Tidak perlu sungkan."
"Tapi Rom, ini berlebihan. Aku tidak bisa menerima kebaikanmu terus menerus. Akan sangat tidak adil bagimu," aku memandangnya sejenak.
"Tidak berlebihan. Itu hak-mu sebagai istriku," ujarnya membujukku untuk menerima semua fasilitas yang ia berikan.
"Romeo, pernikahan kita hanya sementara, sampai ia kembali. Jadi jangan memberatkan dirimu sendiri dengan tanggung jawab sebagai suami," sungguh, aku tidak pantas menerima semua kebaikannya. Disaat semua orang mencampakkanku karena kehamilanku di luar nikah, ia menerimaku apa adanya. Ia juga yang berada di sisiku ketika aku mengalami keguguran karena kandunganku begitu lemah. Ia menyelamatkan nama baik keluargaku dengan mengambilku sebagai istrinya. la juga menyanggupi permintaanku bahwa kami akan berpisah setelah Divo, kekasihku, kembali dari study nya di Amerika.
"Baiklah jika kau tidak mau menerima fasilitas dariku. Tapi lakukan ini untukku, please. Apa kata orang jika mereka tau istriku berangkat dan pulang bekerja dengan menggunakan angkutan umum?"
Aku menatap wajahnya, berpikir keras bahwa ada kebenaran dalam kata-katanya. Selama ini aku begitu keras kepala menolak semua fasilitas yang diberikannya, hanya karena aku tidak ingin berhutang budi terlalu banyak padanya. Dan aku sama sekali tidak memikirkan reputasinya di luar sana.
Aku menghela nafas.
"Baiklah, mulai besok aku akan diantar jemput oleh Pak Win," ujarku akhirnya.
la tersenyum. Ada kelegaan dalam sorot matanya.
"Terimakasih, ucapnya membuatku tersentuh. Seharusnya aku yang berterima kasih, bukannya dia.
----- £-----
Aku sedang bermalas-malasan di kamarku ketika kudengar Romeo memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku.
"Ada apa?" tanyaku begitu melihat wajahnya dari celah pintu kamar yang kubuka separuhnya.
"Sedang sibuk?
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVING YOU
Short StoryWARNING!!! ONLY FOR ADULT!! KHUSUS DEWASA! JANGAN MELANGGAR, ATAU TANGGUNG SENDIRI AKIBATNYA!