10 | Sang Bintang (2)

235 46 11
                                    

Rindu adalah ekspresi keinginan dan pengharapan, juga perasaan tulus terhadap seseorang. Tak ada yang memaksa. Tak ada yang mengharuskannya muncul. Rindu datang dengan sendirinya. Rindu ada bukan hanya karena jarak, bukan hanya karena waktu, tetapi juga karena kenangan. Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, hal-hal yang pernah dilalui, berputar kembali membuat siapa saja tersenyum saat mengingatnya. Ada kalanya rindu juga bisa membuat air mata menetes.

Rindu itu indah. Rindu itu ajaib. Rindu mengajak hati merenung seperti kala melihat rintikan air hujan, matahari terbenam, laut biru luas terbentang, indahnya warna-warni pelangi, juga langit malam bertabur bintang. Begitu tulusnya perasaan rindu, hingga hati mampu tegar menerima meski ternyata waktu dan keadaan tak mengizinkan. Seperti kalimat yang sering kudengar, "Tak apa bila tak bisa bertemu. Aku akan merindukanmu seperti ini saja."

**********

"Jagoan Bunda sedang apa?" Suara Bunda terdengar lembut--menghampiriku yang tengah sibuk menggambar di ruang keluarga, lalu duduk berlesehan di sampingku.

"Aku sedang menggambar, Bunda," jawabku tanpa menoleh.

"Menggambar apa? Bunda boleh lihat?"

"Sebentar, Bunda. Ini belum selesai." Aku berusaha menutupi gambar dengan tubuhku agar tidak terlihat oleh Bunda dengan tangan yang terus menggoreskan crayon hijau untuk pepohonan. "Sekarang, sudah selesai!" seruku riang sambil mengangkat tangan setelah goresan crayon terakhir.

"Jadi, Bunda sudah boleh lihat?"

"Boleh." Kusodorkan hasil karyaku pada Bunda.

"Wah, bagusnya! Judo pintar sekali menggambar," puji Bunda mengusap puncak kepalaku.

"Gambarnya benar bagus, Bunda?"

"Iya, bagus sekali."

"Ini Ayah, ini Bunda, dan ini aku." Aku menunjuk satu per satu gambar dengan Ayah pakai baju biru, Bunda pakai baju ungu, dan aku pakai baju merah. "Aku, Ayah, dan Bunda sedang pergi liburan ke air terjun. Pemandangan di sana bagus. Udaranya dingin dan sejuk. Banyak pohonnya juga."

"Jadi, ini air terjun ya?" tanya Bunda menunjuk pada garis-garis vertikal berwarna biru muda yang muncul dari rimbunnya pepohonan di atas bukit menuju sebuah ceruk besar di bawahnya, kemudian berlanjut pada aliran sungai.

"Iya, Bunda. Air terjunnya besar sekali!" jawabku antusias dengan merentangkan tangan lebar-lebar menunjukkan betapa besarnya air terjun di gambarku itu.

"Lalu, ini apa?" Jari telunjuk Bunda berpindah pada objek lain yang berkaki empat dan berwarna coklat gelap.

"Itu rusa, Bunda."

"Rusa?"

"Kita memelihara rusa dan mengajaknya pergi liburan bersama. Apakah Bunda ingat sewaktu kita liburan ke Ranca Upas tahun baru kemarin?"

"Sudah pasti Bunda masih ingat. Waktu itu Judo menangis karena tidak mau berpisah dengan rusa-rusa di sana dan memaksa ingin membawa rusa pulang ke rumah."

"Paman petugas di sana pelit. Padahal aku sudah berjanji akan memberi makan rusa setiap hari, tapi tetap saja aku tidak boleh memeliharanya." Aku meluapkan rasa kesalku pada Bunda. Bunda tidak membalas dan hanya tersenyum lembut padaku. "Karena tidak bisa memelihara rusa, jadi aku gambar saja."

"Oh, begitu. Hmm ... apakah ini terlalu besar untuk ukuran tubuh rusa? Lihat, tinggi rusanya hampir sama dengan tinggi Ayah," pikir Bunda kebingungan.

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang