● mid-day conversation ●

239 19 45
                                    

Howdy! Hi, guys, hi retardataire Looking for this? I hope you're so🌹 Thanks for making this lovely one-shot challenge—I have written a story (this story) for the challenge and am really excited about this

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Howdy! Hi, guys, hi retardataire Looking for this? I hope you're so🌹 Thanks for making this lovely one-shot challenge—I have written a story (this story) for the challenge and am really excited about this. I'm hoping you would like and enjoy it.

So here you go...

     MENJADI nomor dua yang rawan akan risiko tersingkir adalah masalah besar bagi Arai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     MENJADI nomor dua yang rawan akan risiko tersingkir adalah masalah besar bagi Arai. Baginya, itu bukan diri seorang Arai yang selama ini ada dan hidup. Arai sebelum ini terbiasa menjadi yang paling utama—selalu menang dalam situasi apa pun dan mendapatkan semua yang dia mau (kecuali keutuhan keluarga aslinya). Bahkan semenjak kecil, cowok ini bisa dibilang selalu menjadi Si Nomor Satu; baik di area keluarga, lingkungan sekolah, atau lingkungan-lingkungan lain yang seiring berjalannya waktu, semakin bertambah karena cowok ini sebenarnya tipe-tipe orang yang suka bergaul dengan banyak orang. Arai terbiasa dengan angka satu... sampai akhirnya hari ini pun datang.

     Arai masih ingat benar apa yang Adiska ucapkan beberapa bulan lalu—ketika cewek itu menjelaskan bahwa dia tidak akan memilih salah satu dari antara Recza atau dirinya untuk dijadikan pacar. Arai juga masih ingat, seminggu setelah cewek itu mengatakan hal tadi, hubungan antara mereka menjadi renggang sementara Recza terlihat semakin gencar mendekati si cewek. Dua momen itu tersimpan baik-baik di pikiran cowok yang namanya memiliki arti 'Singa', yang kini sedang duduk di bangku panjang beratapkan pohon mangga rindang yang membuatnya tidak terlalu kepanasan. Arai mungkin tidak akan melupakannya barang setetes—apalagi setelah kejadian pagi tadi yang sukses membuat mood-nya anjlok.

     Ini sudah nyaris memasuki jam pelajaran ke-6, tetapi cowok itu masih belum menunjukkan tanda-tanda ingin beranjak dari tempat kumuh nan sepi itu.

     "Gila, kenapa lo harus boongin gue sih, Adis. Kenapa lo bisa-bisanya ingkarin omongan sendiri. Sumpah, lo tuh bikin gue pusing dan harusnya lo nggak usah pacaran sama tuh cowok." Arai meraup wajahnya dengan kasar. Sesaat ia hanya diam dengan pejaman mata yang kuat, tetapi dua detik setelahnya...

     BRAKK!!! BRAKK!!!

     "Bangsat!"

     Arai menendang bangku tak terpakai yang lumayan dekat dengan posisinya saat ini dengan barbar, sebuah bentuk pelampiasan emosi buruk yang seketika muncul karena sekelebat bayangan mengenai kejadian tadi pagi terputar di otaknya baru saja. Shit, umpat Arai yang kini sudah duduk di kursi panjang dengan satu kaki yang dinaikkan ke kaki satunya. Sekarang bayangan wajah Adiska yang imut namun di sisi lain menyimbolkan sebuah kemandirian terputar di pikiran Arai. Segalanya semakin terasa tidak baik-baik saja. Segalanya, meski yang paling utama adalah perasaan Arai sendiri.

Dua Keping Hati Yang RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang