CHAPTER #4

20 5 1
                                    

     "Pikiranku... Pikiranku... Pikiranku... Mulai kacau. Diracuni oleh dugaan akan 'niat Ishikura untuk membunuh' Pikiranku berteriak kesakitan, apapun yang terjadi... Pikiranku melihatnya sebagai niatan Ishikura untuk membunuh... Pikiranku yang sakit dan gila... Pikiran ini mengembara... mengembang... dan pada akhirnya, tidak bisa memastikan apa-apa... Hanya melelahkan diri sendiri...". Kata Asai dalam hati ia, sedang duduk diatas tempat tidurnya sambil diselimuti selimut yang tebal. Sejenak ia melihat Ishikura yang sedang tertidur pulas. Asai tidak bisa tidur, ia sangat gelisah, matanya bengkak, keringat dingin, seperti orang yang sedang diteror.

     "Aku mungkin... Bakal gila!!". Lanjut Asai.

     Tiba-tiba Ishikura terbangun, ia berdiri dengan sangat kesusahan sambil mengambil tongkat selancarnya untuk dijadikan pengganti kakinya yang sakit. Asai meliriknya. Ishikura masuk ke toilet yang ada dibelakang Asai.

     "Mungkin... Pisau dan kapaknya ada disana!!" Kata Asai dalam hati sambil melihat ketempat tidur Ishikura yang sepenuhnya ditutupi selimut. Lalu ia mendekatinya, lalu ia mengangkat selimut itu...

     "Tak ada...". Katanya panik.

     Ia pergi kearah lemari, lalu mengobrak-abrik isi lemari itu...

     "Tak ada...". Katanya panik.

     Lalu ia melihat ranselnya Ishikura, membongkar isinya...

     "Tak ada..." Katanya panik.

     "Ada apa?". Kata Ishikura yang baru keluar dari toilet.

     "M... maafkan aku! A... aku mencari obat... Rasanya, aku kena flu atau apalah...". Jawab Asai gemeteran.

     "Maaf aku tidak punya!" Ucap Ishikura singkat.

     "Yah... tak apa-apa kok." Kata Asai sambil mengangguk pelan, lalu ia kembali ketempat tidurnya. Ia sangat gelisah sampai ngos-ngosan, Ishikura yang melihatnya hanya mengangkat alisnya sebelah.

     Lalu tiba-tiba Asai berdiri...

     "Aku akan pergi mengambil ranselku...". Kata Asai sanbil memakai jaketnya.

     "Apa kau harus pergi?". Tanya Ishikura.

     "Ya..."

     Badai salju semakin deras, membuat siapapun yang melewatinya akan membeku.

     "Ponselku ada di dalam ransel. Aku akan menelepon pangkalan dan mencari tahu... apa yang Ishikura maksud dengan 'hanya aku sendiri'. Aku akan jernihkan ini semua. Pokoknya harus kujernihkan." Kata Asai sambil berjalan di tengah badai salju yang semakin deras. Ia sangat gelisah, ia berkeringat dingin padahal diluar sangat dingin.

     "Lebih buruk dari sebelumnya, omong-omong, kenapa aku merasa sakit kepala...?" Katanya sambil ngos-ngosan.

     "Dan kenapa aku tak bisa bernapas dengan lancar...?" Lanjut Asai, tiba-tiba ia terjatuh lalu ia tertidur.

     Setelah beberapa menit Asai terbangun dari tidurnya lalu ia melirik kesana kemari. Tapi, semua tidak terlihat karena badau salju yang sangat dahsyat.

     "Gawat... aku tak bisa melihat tiangnya. Sebaiknya kembali." Kata Asai, lalu ia membalikkan badannya. Tiba-tiba ia terkejut. Rumah persinggahannya tak terlihat, semuanya gelap.

     "Oh, sial... aku akan tersesat." Kata Asai, lalu ia melihat kesana-kemari dan ia melihat cahaya jendela dari kejauhan.

     "Itu dia...! Sekarang aku bisa kembali. Benar-benar nggak bisa...hosh...hosh... ngambil ransel...hosh...hosh..." Kata Asai sambil ngos-ngosan lalu ia berjalan kearah rumah persinggahan. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya.

     "Tunggu dulu. Saat aku tak ada bersamanya... mungkin saja dia sedang melakukan hal yang tak ingin diperlihatkan padaku. Ishikura tak akan menyangka aku kembali sekarang. Hanya ini satu-satunya jalan aku berkesempatan melakukannya." Kata Asai sambil berjalan mengendap-endap. Lalu ia mengintip lewat jendela yang ada di samping pintu. Ia bingung saat melihat isi rumah kosong, tak ada siapa-siapa. Tiba-tiba ia mendengar suara jendela yang diketuk sangat keras 'dok...dok...dok...'. Asai terkejut lalu ia melihat ke sumber suara. Ternyata itu Ishikura. Rupanya dari tadi ia sedang memperhatikan Asai dari jendela dekat dapur. Asai sangat terkejut.

     "Dia melihat kecurigaanku...!? Dia telah melihat aksi tercelaku." Gumam Asai sambil gemeteran. Ishikura memejamkan matanya sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah pintu masuk sambil mengayunkan jari telunjuknya.

     "Dia... dia sedang menungguku...? Dia khawatir apakah aku bisa kembali atau tidak dalam badai seperti ini... sehingga dia mengawasiku sejak aku pergi meninggalkan rumah persinggahan... dia mungkin telag menyadari bahwa aku bertingkah paranoid." Kata Asai dalah hati. Air matanya mulai mengalir.

     "Ishikura..."

     "Maafkan aku!!"

     Didalam rumah, ishikura pergi dari dapur, lalu ia bersandar didinding dekat pintu masuk sambil menggenggam pisau dapur yang sangat besar.

     "Masih harus menunggu, ya..." Katanya.

     "Dia tidak mungkin mendapatkan ranselnya secepat ini... sepertinya, dia menyerah di tengah jalan dan kembali..." Lanjut Ishikura sambil melirik kearah pintu masuk. Wajahnya sangat menyeramkan.

     "Aku masih bisa menunggu! Badai ini masih akan berlangsung. Aku bisa membunuhnya sebentar lagi, aku bakal bisa membersihkan..."

     "Semua kesalahanku!!"

____________________________

Lama ya...

He... he... sorry ya...

Waktu itu aku lagi ujian...

Tapi vote terus ya... jangan cuma di read  doank...

Okay...

See you next chapter guys...

Bye...



Dwi Hatmanto

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CONFESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang