NO BOY NO CRY
Pagi itu, entah subuh jam berapa, tangisan pilu memenuhi kamar kosku. Padahal, ayam jantannya Pak Joko aja belum berkokok, dan seisi kos juga masih tidur, tapi cuma aku aja yang udah terbangun gara-gara kamar yang terang benderang disusul tangisan pilu yang ngalahin tangisan kuntilanak. Asal muasal tangisan itu, kukira awalnya yang nangis itu anjing tetangga ibu kos, eh rupanya teman sekamarku, Alinda.
Dengan mata yang terkantuk-kantuk aku mencoba memfokuskan pikiranku yang masih ngadat, kulirik jam weker di sebelah tempat tidurku dan mengerang diam-diam saat melihat jarum pendek baru saja menyentil angka 2 dan tangis Alinda masih berlanjut.
“Denger, deh, Nan, masa dia bilang mau putusin aku? Padahal aku udah melakukan semuanya demi dia! Tapi apa yang aku dapat? Dia malah mau putus tanpa ngasih aku alasan yang jelas!!” tangis Alinda, yang nggak bisa dibilang merdu.
“Hem… terus kamu maunya gimana?” gumamku sambil memeluk bantal panda raksasa di depan tubuhku, kutumpukan dagu di sana sembari menatap Alinda dengan mata yang merem melek.
“Ya, aku nggak mau donk, diputusin gitu aja!! Dylan pasti punya alasan buat minta putus! Pasti karena aku buat salah sama dia, Nan… tapi aku nggak tau apa salahku karena dia nggak mau bilang apa-apa sama aku!!”
“Tapi dia nggak ada bilang salahnya ada di kamu kan?” sahutku lalu menguap lebar. Ups…
“Itu diaaa, Nandaaa! Aku mesti gimana donk? Aku cinta banget sama dia! Aku nggak mau diputusin dia…!” rengek Alinda sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Membuatku maju mundur dan pusing.
“Udahlah… besok aja kita omongin yah? Mataku udah sepet banget nih,” sahutku sambil menguap lagi.
“Yaahh, Nanda~ kok gitu sih??” seru Alinda.
“Ssstts, jangan berisik! Nanti kamu diusir sama ibu kos lho!” sahutku sambil menggelosor kembali ke tempat tidurku. Kutarik selimut hingga menutupi wajah dan memejamkan mataku. Bukannya aku tega atau nggak setia kawan ya, cuma besok itu aku harus bangun pagi!
“Nan! Nanda! Yaahh… bangun donk, Nanda!!”
***
Selesai mandi dan berpakaian rapi, aku kelua kamar dan pergi ke ruang makan untuk sarapan. Aku sudah membayangkan roti bakar special buatan ibu kos yang enaknya melegenda di kos-kosanku ini. Dan benar saja, saat sampai di ruang makan, di meja sudah terhidang setangkup roti bakar kesukaanku, lengkap dengan susu. Aku segera mengambil tempat duduk sekaligus menyapa Melda, salah satu penghuni kos yang sudah nongkrong di ruang makan. Sementara di dapur terlihat ibu kos yang lagi sibuk membuat sarapan untuk para penghuni kos lainnya.
Tempat kosku ini adalah kos-kosan khusus perempuan, yang sekarang dihuni oleh sepuluh orang, aku adalah salah satunya. Tiap pagi, biasanya kami yang punya jam sekolah pagi akan berkumpul untuk sarapan. Dan karena ibu kosnya baik dan ramah, beliau sendiri yang langsung membuatkan sarapan untuk kami selayaknya ibu kandung kami sendiri. Itulah alasanku memilih kos di sini, selain biaya yang juga mencukupi banget.
“Pagi Nanda, kalau kurang bilang aja ya,” sapa ibu kos padaku.
“Iya, Buk, makasih,” sahutku sembari siap-siap mengganyang makanan di hadapanku yang masih hangat.
“Eh, Nan, tadi pagi ada gempa atau gimana tuh? Berisik banget deh,” kata Melda sambil berpaling padaku.
Aku menggigit roti bakarku. “Hem… itu... si Alin. Katanya sih dia mau diputus pacarnya,” sahutku di sela-sela kunyahanku.
“Gila! Suaranya keras amat! Kirain ada gempa atau apa,” sahut Melda sambil geleng-geleng kepala.
“Baru tau? Dia itu jagonya berisik!” sahutku.
