Chapter 7.

654 94 41
                                    

Aurora Castleine pov . . .

Prince melangkahkan kakinya memasuki kamarku dan mendaratkan tubuhnya tepat di bagian bibir kasur, “Kau ingin bercerita bukan?” tanyaku sembari menatap mata birunya. Aku seperti melihat apa tujuan Prince masuk ke dalam kamarku.

Prince menghela nafas panjang dan menggangguk sembari menampakkan senyum tipisnya. Kurasa ia sedikit ragu, “Baiklah, kau bisa bercerita sekarang,” jawabku sembari mengangkat ke-dua kakiku ke atas kasur dan merebahkan tubuhku di atas pulau lelap itu.

Flashback on

Princess Genovia pov . . .

“Kau tak perlu ikut campur dengan semua urusanku!” teriakan itu tiba-tiba saja membuatku terbelalak saat aku masih berada di atas kasur. Aku menoleh ke arah pintu kamarku dan berjalan mendekatinya sembari mengucek ke-dua mataku.

Aku yakin benar, itu suara mama dan papa, “Bagaimana bisa aku tak ikut campur dalam semua urusanmu? Aku ini istrimu! Aku harus tau semua hal yang kau lakukan!” teriakan itu lagi, membuat langkahku berhenti sejenak.

Aku melangkahkan kakiku perlahan mendekati kamar mama dan papa layaknya seseorang yang sedang mengendap-endap untuk mencuri sesuatu. Tapi lain dengan tujuanku. Sebenarnya aku cukup takut untuk mendekat ke arah mereka. Tapi aku tak bisa diam saja di dalam kamar bukan? Walaupun ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi.

PLAK! Kau tau? Aku baru saja berdiri di ambang pintu dan ke-dua mataku langsung menyaksikan kejadian itu. Sungguh, aku ingin menjerit saat itu juga. Hanya saja mulutku benar-benar kaku, lidahku terasa begitu kelu, tubuhku seakan membeku dan tak bisa bergerak sedikitpun. Aku tau, ini bukan pertama kalinya terjadi, tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat langsung. Aku merintih dalam hati. Tubuhku bersender pada bibir pintu. Mataku terus mengarah pada wajah mama dan papa walau sebenarnya aku tak ingin menatap mereka.

Mataku membulat saat aku menyadari papa menatap tajam mataku. Tidak, aku tidak menunduk tetapi aku justru terus menatapnya, entah mengapa aku tak mengerti. Padahal aku sendiri sangat takut menatapnya, “Kau anak kecil lebih baik kau keluar sekarang juga! Sebelum aku yang akan menyeretmu!” bentakan itu benar-benar membuatku ingin berteriak. Andai saja aku bisa.

Aku bersembunyi di balik pintu namun mataku tetap mengarah menatap mereka. Aku melihat sepasang kaki yang berjalan cepat menuju arah pintu, “Kau tak bisa pergi begitu saja Jas! Katakan padaku tentang wanita itu!” suara yang tak kalah kerasnya itu menghentikan langkah kaki papa.  

BRUUKK! Seketika mataku mulai memanas melihat semua itu, “Papa jangan dorong mama! Papa itu jahat! Kejam!” teriakku seketika membuat emosi papa semakin meningkat. Aku tau itu, aku melihat tangannya mengepal saat aku berteriak. Aku memeluk erat tubuh mama yang sudah terjatuh di atas lantai, “Kau ini tau apa?! kau masih terlalu kecil! Sudahlah, peluk saja mamamu itu sampai kau puas! Aku terlalu sibuk untuk berlama-lama disini!” seketika langkah kakinya tak terlihat hanya dalam beberapa detik.

Aku benar-benar merasa sangat kecil di sini. Bahkan aku tak bisa melindungi mama. Bahkan aku tak bisa mengejar papa, “Mama kenapa mengangis? Mama jangan menangis,” ucapku membuat mama tersenyum tipis. Tak ada sepatah katapun yang mama ucapkan padaku, “Mama. Jawab Princess, ma...” lanjutku saat kulihat pipi mama yang mulai memerah. Aku tau benar, tak lain pasti itu karena tamparan papa.

Tanpa berfikir panjang aku langsung berlari menuju lantai dua, “Kakak, mama menangis lagi!” teriakku saat seluruh tubuhku sudah berada tepat di ambang pintu. Aku memang terlalu kecil. Tak ada yang bisa kulakukan, bahkan untuk menenangkan mama saja aku harus memanggil seseorang.

Flashback off

Aurora Castleine pov . . .

Aku terdiam menatap Prince yang sedang bercerita panjang tentang kejadian pagi tadi. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku sangat mengerti perasaannya, karena itu pertama kalinya Ia melihat langsung. Berbeda denganku, entah sudah berapa kali aku melihat kejadian seperti itu. Aku memeluk erat Princess yang sedang sesenggukan menahan tangisnya, “sshhh sudahlah Prince. Kakak janji, kau tak akan melihat kejadian seperti itu lagi. Tak akan.” balasku mencoba menenangkan pikirannya.

“Kau mau membuatku semakin marah?!” teriakan itu tiba-tiba saja membuat dahiku mengernyit. Aku meoleh ke arah Prince yang juga sedang menoleh ke arahku.

Aku menghela nafas panjang sebelum kulangkahkan kakiku menuju anak tangga. Prince mengikuti langkahku di belakang, “Prince, lebih baik kau masuk ke dalam kamar,” ucapku membuatnya menggangguk dan langsung memalingkan tubuhnya.

Aku berlari cepat menuju ruang tengah. Hanya ada Zayn dan papa yang tampak oleh mataku. Apakah ke-dua teman Zayn sudah pulang?

“Lebih baik kau usir semua teman-teman bodohmu itu!” bentak papa sembari mengepalkan tangan kanannya ke arah Zayn. Tiba-tiba saja dadaku terasa sangat sesak menyaksikan semua ini. Langkah kaki Zayn melesat cepat ke arah kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Begitu juga papa yang langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Tapi tunggu, itu tandanya teman-teman Zayn masih berada di rumah ini dan Zayn membiarkan mereka begitu saja? Konyol sekali manusia itu. 

Aku berjalan cepat menuju teras rumah. Kau tau? Ke-dua teman Zayn itu masih berdiri bersender pada dinding rumah. Aku mendekat ke arah mereka, “Lebih baik kalian pulang sekarang,” ucapku membuat mereka menoleh.

Mereka terdiam menatapku, “Aku menunggu Zayn,” ucap lelaki bermata coklat membuatku merasa sangat kesal. Aku menarik nafas dalam, “Percuma saja kau menunggunya, Zayn tak akan keluar dari kamarnya. Pulanglah!” sebenarnya aku ingin berteriak keras tepat di depan wajah mereka, mengusir mereka agar cepat pergi dari sini. Tapi kurasa itu terlalu berlebihan.

“Wow, baiklah nona, kami akan pulang,” balas lelaki bermata coklat itu lagi. Aku menghela nafas lega. Sebenarnya aku cukup merasa bersalah karena sudah mengusir mereka. Jika kau bertanya mengapa selalu lelaki yang bermata coklat itu yang menjawabku, aku sendiri pun tak tau. Sejak awal mereka datang ke rumah, memang selalu pemilik mata coklat yang angkat suara. Aku sendiri heran, belum pernah sekalipun aku mendengar suara dari pemilik mata hijau biru itu, apakah Ia tuli? Apakah Ia bisu? Oh entahlah.

-------------------------------------------------------------

A/N : so sorry for the weird story. kalian bisa anggep aurora itu kalian. papa mama Aurora di mulmed ya. Harry bakal ada di next part. yang bingung 'kenapa papanya zayn suka marah' 'kenapa zayn galak' bakal di jelasin seiring berjalannya cerita. leave ur comments after reading and please leave ur votes if my story deserved it. thanks for reading<3

Little Black Dress {pending}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang