18 | Asing (3)

178 33 9
                                    

Aku berjalan dan terus berjalan mencari tempat para prajurit kerajaan yang dimaksud oleh Sapta. Sepertinya aku sudah berjalan sangat jauh, tapi mengapa tempat itu belum ketemu juga?

"Bodohnya aku! Mengapa aku menanyakan letaknya saja? Seharusnya, aku menanyakan detilnya seperti apa atau paling sedikit hal-hal umum sebagai patokan. Sekarang aku jadi kebingungan begini."

Karena sudah terlanjur dan tidak mungkin kembali ke tempat Sapta karena aku sendiri tidak tahu di mana aku berada, alhasil aku mengeluarkan jurus terakhir, yaitu bertanya pada orang lewat.

"Apakah kalian tahu di mana tempat para prajurit kerajaan?" tanyaku pada dua orang perempuan muda. Bukannya menjawab, mereka malah saling pandang, lalu memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Maksudnya?" Mereka berbalik bertanya.

"Aku tersesat. Orang-orang di sana memberitahu bahwa aku bisa meminta bantuan para prajurit kerajaan. Aku sudah berjalan jauh sekali, tapi tidak kunjung menemukan tempatnya. Apakah kalian tahu di mana tempat para prajurit kerajaan itu?"

"Ayo cepat kita pergi. Aku takut." Salah satu dari perempuan muda itu berbisik ke temannya. Aku bisa mendengar suaranya dengan jelas. Dia takut padaku? Apa maksudnya?

"Ma-maaf. Kami tidak tahu."

Kedua perempuan itu berlari meninggalkanku. Aku terheran-heran dengan pandangan mengikuti ke mana mereka pergi.

"Hei! Kalian belum menjawab pertanyaanku!" teriakku. Namun, yang kulihat mereka justru mempercepat lari dan menghilang di antara orang banyak. "Ada apa dengan mereka? Aneh sekali."

Kehilangan satu narasumber, tak langsung membuatku patah semangat. Aku melanjutkan bertanya ke setiap orang yang kutemui. Ekspektasi dan realita memang benar bertolak belakang. Orang-orang yang kutanya selalu menunjukkan sikap aneh. Ada yang ketakutan seperti dua orang perempuan muda sebelumnya. Adapula yang tidak menghiraukanku dan berjalan melewatiku begitu saja. Yang lebih membuatku pusing tujuh keliling adalah tidak sedikit dari orang-orang di sana berkerumun dan menghimpitku di tengah-tengah. Mereka berdiam diri beberapa saat, melihat ke satu orang yang berdiri agak jauh di depan dengan mengacungkan benda tipis berwarna hitam di tangannya, lalu berseru heboh. Aku terperanjat saat benda tipis itu memancarkan cahaya kilat secara tiba-tiba. Aku ketakutan, tapi orang-orang di sekelilingku justru tertawa dan merasa senang. Mereka mengucapkan terima kasih kepadaku dan membubarkan diri. Belum hilang rasa takjubku, lebih tepatnya keheranan dengan semua yang kualami, aku mendapati beberapa orang tertawa saat melihatku.

"Mengapa mereka menertawakanku? Aku terlihat sempurna dengan pakaian terbaikku. Mereka benar-benar tidak mengerti keindahan," cibirku bergegas pergi.

Negeri ini benar-benar aneh. Tempatnya, situasinya, dan penduduknya dengan sikap yang sangat tidak hormat padaku, membuatku merasa seperti berada di dunia lain, dunia yang mungkin hanya ada di dalam mimpi. Kalau semua ini mimpi, aku ingin cepat-cepat bangun dari mimpi buruk ini. Tak sudi aku bermimpi seperti ini lagi.

"Mengapa tidak satupun dari mereka yang bisa dimintai tolong menunjukkan jalan? Kapan aku bisa pulang kalau seperti ini terus?" keluhku sambil terus melangkah. "Dan bukankah seharusnya pada malam hari pun para prajurit tetap berjaga? Mengapa sejak tadi tidak ada yang terlihat?"

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Para prajurit tak nampak batang hidungnya. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Mataku membulat sempurna ketika pikiranku tertuju pada satu hal.

"Apakah Sapta menipuku?" Itulah yang kupikirkan dari sekian banyak kemungkinan. Semua semakin jelas ditambah hal-hal yang kualami setelah aku pergi meninggalkannya di sumur itu. "Keterlaluan! Tidak bisa dimaafkan! Jika bertemu lagi, aku akan membuat perhitungan dengannya!"

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang