Oleh: Ayatullah M.T. Mishbâh Yazdî
Beberapa kelompok manusia yang imannya setengah-setengah menganggap tauhid [monoteisme]-prinsip Islam-sebagai kesatuan masyarakat. Mereka beranggapan, prinsip yang pertama adalah bahwa masyarakat pada walanya pastilah tidak berkelas, atau bahwa semua kelas di masyarakat heruslah merupakan satu kelas saja. Mereka mengira bahwa tauhid adalah kesatuan masyarakat, artinya tidak berkaitan dengan Allah Swt., ia adalah prinsip yang menuntut penyatuan masyarakat.
Sebagian kelompok yang lain menganggap tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Mereka menyuguhkannya ke dalam filsafat Islam seraya mengatakan, dari sudut pandang Islam, segala sesuatu bergerak menuju kesatuan, dan kontradiksi-kontradiksi haruslah disatukan. Inilah yang mereka kira tentang tauhid.
Demikian halnya, mereka memberikan pada prinsip-prinsip lain mana-makna lain sedemikian rupa, yang "membuat seorang ibu yang kehilangan anaknya tertawa", sebagaimana kata pepatah, "Memang benar, jika tidak mendasarkan pembicaraan dan tulisan pada sebuah criteria yang pasti, dan gegabah memainkan segala sesuatu hanya demi memamerkan gagasan-gagasan dan angan-angannya, orang boleh mengatakan apa saja yang disukainya," "Kebohongan tidak memiliki tulang, hingga tidak bisa tertahan di tenggorokan."
Ketika orang memutuskan untuk menulis dan mengatakan serta bermain-main dengan apa pun yang disukainya-dengan kata-kata, lireatur, ilmu pengetahuan, filsafat, al-Qur'an, dan segala sesuatu, sebuah pertanyaan akan muncul: Apa arti tauhid, sebuah prinsip pertama dari pandangan Dunia Islam? Apakah ia bertujuan untuk menyatukan masyarakat dan menciptakan komunitas yang tunggal, prinsip yang cenderung menyatukan segala sesuatu, ataukah ia dimaksudkan untuk mengakui Keesaan Allah Swt.?
Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, kita akan, di dalam al-Qur'an, kata tauhid dan derivat-derivatnya, seperti "mempersatukan, penyatuan, dan tersatukan", sekalipun tidak pernah disebut-salah satu keanehan Kitab Suci ini. Namun, prinsip asalnya yang disebut oleh al-Qur'an sebagai prinsip yang saling fundamental, dinyatakan dalam bentuk-bentuk, seperti Katakanlah: Dialah Allah Swt., Yang Maha Esa. [QS. Al-Ikhlâsh [112]: 1]
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa ...,[QS. Al-Baqarah [2]: 163] ... Sembahlah Allah Swt., sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya ...,[QS. Al-A'râf [7]: 85] ... tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah Swt., [QS. Al-Baqarah [2]: 163] tidak ada Tuhan (yang Hak) selain Allah Swt. ...,[QS. Muhammad [47]: 19] dan banyak ayat lainnya dalam al-Qur'an yang menyatakan prinsip pertama ini, yaitu kita harus menyadari bahwa hanya ada Satu Tuhan, dan kita tidak boleh menyembah satu pun sembahan selain Dia, Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah Swt., (saja) dan jauhilah tagut ..." [QS. Al-Nahl [16]: 36] Seruan utama semua nabi adalah: "Sembahlah Allah Swt., dan jauhi setan." Oleh karena itu, prinsip tauhid, sebagai prinsip ideologis, tidak mungkin memiliki arti selain pengesaan Allah Swt. Dimanapun kata tauhdi muncul, dalam Nahj al-Balâghah dan tradisi-tradisi Islam lainnya, ia mempunyai arti sebagaimana yang kita kemukakan di atas. Konsekuensinya, tindakan menafsirkan prinsip Islam ini dengan penafsiran yang berbeda akan merupakan penyimpangan, kebodohan, ataupun prasangka saja.
Hal-hal lain, baik yang benar maupun yang keliru, tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan prinsip ini. Artinya, misalkan sebuat masyarakat yang tanpa kelas didukung oleh Islam, tetaplah hal ini tidak ada kaitannya dengan prinsip ideologis Islam. Bahkan, sekalipun dibuktikan bahwa opini Islam adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas, hal itu tidak dapat dikaitkan dengan tauhid.
TAHAP-TAHAP DAN BATAS-BATAS TAUHID
Meyakini Keesaan Allah Swt. mempunyai banyak tahap:
1. Tauhid dalam Wujud yang Mesti. Artinya tidak ada satu wujud pun yang maujud oleh dirinya sendiri, kecuali Allah Swt. Dalam peristilahan filsafat, tauhid ini adalah keyakinan terhapa sebuah wujud yang keberadaannya bersifat mesti. Wujud yang dimikian itu hanyalah Allah Swt., Yang Mahatinggi, yang keberadaannya secara intrinsik merupakan keharusan, dan yang dari-Nya wujud-wujud yang lain maujud.