5

11 2 2
                                    

"Kasi informasi yang lu tau tentang Dicky ke gue. Dan lu bisa melanjutkan aktivitas lo." dengan nada yang sangat berat orang itu berbicara.

"Tapi..."

"KASI ATO LO BAKALAN MATI!" Bentak orang tersebut sambil menodongkan pistolnya.

Karena ketakutan, Anin masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh orang tak dikenal tersebut dibelakangnya.

Anin kemudian mencari-cari kartu nama Dicky di tas sekolahnya dan memberikannya langsung ke orang itu.

Orang asing tersebut tersenyum licik sambil melihat isi kartu namanya, kemudian ia berjalan seenaknya menuju pintu.

"Lo gak perlu bilang Dicky kalo gue ke rumah lo sekarang." ucap orang tersebut sambil pergi menjauhi Anin yang masih ketakutan di dalam asramanya sendiri.

'Dicky lo ngapain...' -batin Anin.

Dengan inisiatif nya Anin langsung mengambil hpnya dan melepon Dicky.

Nomer telepon Dicky terblokir dari kontaknya.

Setelah Anin putus asa karena dia tidak bisa menelepon Dicky, Anin melihat sebuah pesan masuk yang isinya:

Udah gue bilang lu ga perlu kasi tau Dicky. Emang gue se bodo itu apa biarin kontak lu masih bisa terhubung.
-X

Anin frustasi karena semua hal ini, mungkin memang saja, dia baru saja selamat dari bahaya yang menimpanya, namun masalahnya bahaya tersebut justru sekarang berada di tangan Dicky. Anin merasa sangat bersalah dengan apa yang baru saja dia lakukan.

Anin tidak bisa tidur malam itu, memikirkan tentang apa yang sedang dilakukan Dicky saat ini.

'Apakah dia masih selamat?' -batin Anin yang harap-harap cemas.

Anin terus berdoa malam itu tanpa henti, hingga pada tengah malam seseorang kembali mengetuk pintu asramanya.

Anin kembali merasa takut. Namun dengan beraninya kemudian Anin mengambil sebuah sapu dan berancang-ancang untuk menelepon polisi.

Anin berjalan dengan gugup dan membuka pintunya sambil menutup matanya.

"GUE GA TAU APA YANG LO MAU MALEM-MALEM GI-"

"Sshhh-" ucap suara yang sangat familiar bagi Anin. Suara Dicky. Anin secara perlahan membuka matanya dan menemukan Dicky berdiri di depan pintunya dengan menggendong sebuah tas ransel cukup besar.

"Oh maaf." Ucap Anin yang menurunkan sapu dari tangannya.

"Iya gapapa," Dicky tersenyum lebar ke Anin yang membuat hati Anin meleleh.

'Gak Anin, lu gak boleh suka lagi sama orang satu ini!' -dalam hati Anin berkata.

"Eh ngapain lu disini?" tanya Anin dengan nada sinis.

"Lu ikut gue ke Saint Petersburg pagi ini juga. Sekarang siapin barang-barang lo dan kita harus berangkat." Dicky menyuruh Anin yang masih diam mematung di depan pintu.

"Eh? Gue aja belom sempat masuk kuliah masa udah bolos," protes Anin.
"Gue ceritain semuanya di jalan. Sekarang bawa barang-barang lo untuk ke Saint Petersburg. Cepetan."

Only Heaven KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang