28 | Kejutan (4)

145 26 11
                                    

Walaupun mulutnya terus mengeluarkan gertakan demi gertakan, tetapi aku yakin perempuan ini sedang ketakutan. Beberapa kali suaranya terdengar gemetar juga matanya yang tak jarang menghindari tatapanku. Padahal aku hanya menggodanya. Tak kusangka, dia menanggapi serius sampai menghajarku berkali-kali. Tendangannya lumayan sakit menghantam tulang kering kaki kiriku dan pukulannya cukup kuat mengenai wajahku. Aku sangat berharap tidak ada memar di sana. Kalau benar-benar ada, aku akan sangat malu pergi ke tempat perawatan dan ketahuan pernah dihajar oleh seorang perempuan.

Penyerangannya yang membabi buta berakhir sudah. Kini, ia tunduk di bawah kuasaku, terbaring lemah seakan tidak ada lagi energi yang sanggup dikeluarkannya. Posisi seperti ini sangat menguntungkan bagiku untuk terus melancarkan permainan. Awalnya aku tidak berpikir untuk bermain sejauh ini, tetapi perempuan ini yang mengambil tindakan lebih dahulu. Aku hanya mengikuti pergerakannya dan ingin tahu sampai mana dia bisa bertahan.

Aku tersenyum memandang wajah cantiknya yang nampak bersemu merah. Entah karena malu, marah, atau keduanya. Aku tidak tahu. Tapi, yang pasti permainan ini semakin menarik sewaktu dia menyuruhku pergi dari hadapannya. Tentu saja aku tidak mengikuti ucapannya itu. Aku justru gencar menggodanya lebih lama. Kudekatkan wajahku ke wajahnya perlahan. Tidak seperti sebelumnya yang tertuju pada bibir, kini aku memiringkan kepalaku lalu mendekatkan wajahku ke leher jenjangnya. Hal yang kulakukan itu sontak membuatnya panik. Karena kedua tangannya terkunci olehku, dia memberontak dengan menghentak-hentakan kaki, berusaha untuk melepaskan diri. Jauh di dalam hati, aku tertawa keras membayangkan ekspresinya yang sudah tidak keruan dan pikirannya pasti membayangkan yang tidak-tidak. Ketika sebentar lagi hidungku menyentuh lehernya, aku terlonjak oleh suara seseorang berteriak bersama pintu yang dibanting.

"Mas Judo!"

Kepalaku yang hampir tenggelam dalam ceruk leher perempuan ini, langsung terangkat dan dengan cepat menoleh ke sumber suara. Panca dan Ayu mematung di ambang pintu yang sudah terbuka lebar, melihat ke arahku dan perempuan ini. Ekspresi mereka seolah menunjukkan baru saja menangkap basah sepasang muda yang tengah bercinta.

"Maafkan kami!" Panca dan Ayu membungkukkan tubuh bersamaan kemudian langsung berputar memunggungi kamar tamu.

Posisiku ini pasti membuat Panca dan Ayu berpikir yang tidak-tidak. Maka dengan kasar, aku melepas cengkeramanku lalu berdiri dari tempat tidur. Begitu pula dengannya yang langsung beringsut menjauh dariku seakan aku adalah makhluk menjijikan. Wajahnya nampak sebal. Matanya memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Mengapa kau melihatku seperti itu?" tanyaku ketus.

"Memangnya tidak boleh?" Dia membalikkan kalimatku yang beberapa waktu lalu kutujukan padanya. "Aku seorang bangsawan. Aku berhak melakukan apa saja, tidak seperti rakyat biasa sepertimu," lanjutnya dengan dagu terangkat tinggi.

Aku bosan mendengar ucapannya yang terus mengaku-ngaku sebagai seorang agung yang patut dihormati. Jadi, kuabaikan dia dan memilih untuk menghampiri Panca dan Ayu.

"Kalian sudah datang?" Aku bertanya dengan sikap wajar.

"Iya, Mas Judo. Kami sudah datang dari tadi. Benar 'kan, Ayu?" jawab Panca gugup sembari menyenggol lengan Ayu di sampingnya.

"Benar, Mas. Kami menunggu agak lama di ruang tengah supaya Mas Judo tidak buru-buru bersiap-siap. Semua hal yang dikerjakan dengan tergesa-gesa itu tidak baik," tanggap Ayu yang sama gugupnya dengan Panca.

"Jangan salah paham. Yang kalian lihat tadi tidak seperti apa yang kalian pikirkan," tuturku meyakinkan.

"Kami tidak berpikir yang aneh-aneh, Mas. Kami hanya menjaga privasi Mas Judo," sahut Panca.

"Itu sama saja." Aku bergumam lalu menghela napas. "Satu hal yang ingin kutanyakan ... ," jedaku sejenak. "Aku sedang bicara. Mengapa kalian malah berdiri membelakangiku?"

Panca dan Ayu berpandangan satu sama lain dengan wajah bingung kemudian memutar tubuh bersama-sama menghadapku.

"Maafkan kami, Mas. Kami bukan bermaksud tidak sopan," pinta Ayu.

"Lalu, mengapa tadi membanting pintu? Kalau pintunya rusak, bagaimana?"

"Maaf, Mas," pinta Panca. "Karena terlalu panik, aku jadi kelepasan membanting pintu. Aku pikir Mas Judo dalam bahaya, tapi ternyata Mas Judo baik-baik saja! Hahaha!"

"Seharusnya kau berpikir. Bisa-bisanya kau tertawa setelah melakukan kesalahan."

Tawa Panca berhenti seketika lalu mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

"Tadi kalian kelihatan panik. Ada apa?"

"Oh! Itu karena ... wow!" Kalimat Panca tidak berlanjut. Matanya yang sedari tadi fokus padaku langsung berpaling ke arah lain.

"Wow? Apa maksudnya?" Aku terheran-heran. Kuikuti arah pandangan Panca dan mendapati perhatiannya tertuju pada perempuan tidak waras itu.

"Ayu, lihat!" bisik Panca sedikit mencondongkan tubuhnya pada Ayu.

"Cantik sekali, Mas. Dia jauh lebih cantik dari kemarin," balas Ayu ikut berbisik.

"Benar. Kemarin dia berantakan sekali karena mabuk. Ternyata, dia secantik bidadari saat terjaga."

"Apa Mas Panca tetap berpikir kalau perempuan secantik itu adalah orang jahat?"

"Eh! Mengapa aku malah terpesona begini?" Panca menyadari kecurigaannya mulai memudar. "Dia memang cantik, tapi aku tidak akan lengah. Identitasnya saja belum jelas, mana bisa aku percaya begitu saja."

"Ehem!" dehamku keras menghentikan pembicaraan pribadi antara Panca dan Ayu yang langsung membuat mereka gelagapan. "Bisa kalian lanjutkan?"

"Oh, iya! Gawat, mas! Gawat!" Panca berteriak panik.

"Apa yang gawat?" tanyaku santai.

"Wartawan! Di depan rumah ada banyak wartawan! Mereka sudah mengepung rumah Mas Judo!"

"Apa?" Dahiku mengerut tidak percaya memandang Panca. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuruni tangga menuju pintu utama untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi beserta Panca dan Ayu yang mengekor di belakangku.

Sesampainya aku di balik pintu utama, mataku membulat sempurna. Monitor interkom tepat di hadapanku menunjukkan apa yang baru saja Panca katakan. Banyak sekali wartawan mengerumun di sana, bahkan sempat salah satu dari mereka berdiri tepat di depan kamera interkom sehingga beberapa saat menghalangi pandanganku. Wajahnya memenuhi monitor interkom penuh rasa penasaran.

"Ada apa sebenarnya? Mengapa pagi-pagi begini mereka semua berkumpul di depan rumahku?" Aku bertanya tanpa berpaling sedikitpun dari monitor interkom. "Apakah aku ada janji dengan mereka semua?"

"Itu karena ... Ayu, mana ponselmu?" Begitu Panca menoleh, ternyata Ayu tidak ada di sampingnya. "Astaga! Anak itu!" pekik Panca yang membuatku seketika mengikuti arah pandangan Panca. Ayu masih berlari menuruni tangga, tertinggal oleh kami yang sudah sampai di pintu utama beberapa detik yang lalu.

"Akhirnya, sampai juga!" seru Ayu berhenti di sisi Panca. "Sebentar, Mas. Aku atur napas dulu." Setelah menenangkan diri, Ayu merogoh saku celana kemudian menyodorkan ponselnya ke arahku. "Itu semua karena ini, Mas Judo."

Aku menyambar ponsel Ayu dengan layar yang tengah menampilkan sebuah portal berita. Mataku menyisir kata per kata yang tertera jelas di sana. Berita itu memang membahas soal diriku. Namun, bukan berita tentang kesuksesanku seperti biasanya, melainkan berita lain yang jauh dari perkiraan.

"Skandal Maheswara? Apa maksudnya?" Aku mengangkat kepala menatap Panca dan Ayu secara bergantian, menuntut penjelasan dari mereka berdua. "Mengapa mereka menulis berita seperti ini?"

"Kecurigaan Mas Judo benar. Semalam ada orang yang mengintai kita dari pepohonan seberang rumah Mas Judo. Dia mengambil gambar dan merekam video sewaktu kita membawa perempuan itu masuk ke dalam rumah." Ayu menjelaskan, lalu jari telunjuknya menekan layar ponsel yang langsung memperlihatkan deretan foto dan video peristiwa semalam. Aku memilih salah satu video dan memutarnya. Adegan akting kami terekam jelas di situ meski dalam keadaan gelap. "Foto-foto dan video itu sudah tersebar luas dan menduduki urutan pertama pada topik pembicaraan di media sosial, bahkan sudah masuk berita di televisi," sambung Ayu. "Rencana kita mengelabui orang itu ternyata gagal."

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang