OMO!!

127 20 5
                                    

Alera dan Joan berada di ruangan itu seharian dengan ditemani tumpukan kertas dan dua cangkir kopi.
“Kapan bibi menjemput kita? Semua orang bahkan sudah pulang.” Gerutu Joannes. Alera hanya diam saja sambil memainkan ponsel barunya sedikit untuk belajar.
“Huh,,jelek sekali.” Gerutu Alera membuat Joannes kaget.
“Kenapa?” Tanya Joannes penasaran.
“Aku tidak bisa mengambil foto yang bagus, wajahku sepertinya semakin jelek karena tinggal disini dan semakin beng..kak?.” Jawab Alera dengan nada ngambek sambil memegangi pipi halusnya.

Gemas, Joannes lalu merebut ponsel milik Alera dan mengajaknya berfoto bersama, jaraknya dekat, dekat sekali bahkan sekarang sudah tidak ada jarak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gemas, Joannes lalu merebut ponsel milik Alera dan mengajaknya berfoto bersama, jaraknya dekat, dekat sekali bahkan sekarang sudah tidak ada jarak. Itu membuat Alera gugup, entah seperti apa juga mukanya sekarang, yang pasti ia merasakan darah mengalir sangat cepat disekujur tubuhnya.
“Kau harus memeganginya dengan benar, setelah memencet, jangan langsung alihkan ponsel mu, tapi tahan dulu selama 2 detik dan tetap tahan juga expressi wajahmu. Dan hasilnya bagus seperti ini.” Jelas Joannes sambil menunjukan hasil selfie mereka.
“Wah..gomawo.” (terima kasih) ucap Alera dengan senyum lebar.
“Senyum yang manis.” Gumam Joannes pelan sekali hingga Alera bahkan tak mendengar kecapan bibir Joan.
.
.
.
.
Tepat pukul 7 malam, bibi menjemput mereka pulang.
“Apa yang Bibi lakukan? Lama sekali.” Gerutu Alera.
“Dan apa yang kalian lakukan disini sepanjang hari tanpa keluar sedikitpun.” Bukannya menjawab, bibi malah balik bertanya. Mendengar itu Alera hanya bisa diam. Dan Joannes hanya bisa tersenyum bangga.

Sesampainya dirumah, seperti biasa mereka makan malam bersama. Seperti sudah menjadi tradisi saja. Setelah beberapa saat, Bibi memberikan sebuah KTP, dan dokumen-dokumen lain.
“Apa ini aku lahir tahun 1998? 18 tahun? Usiaku sudah 23 tahun bi.” Jelas Joannes.
“Aku juga disini, aku baru 18 tahun, padahal usiaku 21 tahun.” Sahut Alera yang juga nampak bingung.
“Tadi ada laki-laki yang mengajakmu bicara kan Alera?” tanya bibi,
“Iya Bi.” Jawab Alera singkat.
“Dari awal ia di perusahaanku, aku curiga pada orang itu, dia memiliki aura ungu pekat. Seram, juga baunya tidak sedap. Aku takut hal-hal buruk akan terjadi, maka dari itu, aku membuat usia kalian lebih muda dan akan mengirimkan kalian untuk sekolah. Bukankah di Lukover kalian juga bersekolah?” Jelas Bibi Estrada.
Ne.” (Iya)  Jawab Alera dan Joannes kompak.
“Tapi yang bersekolah dengan kalian bukan dari kalangan bangsawan, jadi bersikaplah seolah kalian juga orang biasa.” Jelas Bibi.
“Oh ya, karena kalian masih akan sekolah ke tingkat 3 maka kalian tidak boleh menikah dulu.” Lanjut Bibi yang membuat 2 pemuda itu diam seketika.
“Apa sih bi.” Gumam Joannes meracau.
.
.
.
.
Bibi mengajak Alera dan Joannes pergi ke salon untuk menata rambutnya.
“Yuhu..Kawanku, sudah lama tidak bertemu.” Sapa wanita paruh baya kepada Bibi Estrada.
“Woah, siapa laki-laki tampan dan perempuan cantik ini?” Tanyanya pada bibi genit.
“Mereka keponakanku.” Jawab Bibi Estrada.
“Oh ya, mereka akan bersekolah jadi buat rambut mereka tampak pantas untuk anak sekolahan.” Pinta Bibi kepada wanita itu dan diacungi jempol.

Pertama, wanita itu memotong rambut Alera yang sangat panjang tanpa merubah warnanya, dan tetap Coklat gelap seperti orang sewajarnya. Setelah itu, merapikan rambut Joannes yang warnanya kuning keemasan dan mengubah warnanya menjadi merah menyala yang terlihat sangat kontras dengan kulit putihnya. Bibi kaget melihat rambut Joannes.
“Apa kau yakin mewarnainya dengan ini?” Tanya bibi ragu pada ibu pemilik salon.
“Yaaa...aku yakin sekali, bukankah anak-anak ini sudah SMA?” Tanya wanita tadi. Bibi hanya menganggukan kepala
“Lalu tidak masalah kan rambutnya merah, bahkan ia sangat tampan.” Kata wanita itu dan mencubit pelan pipi Joan membuat Joan begedik geli.
.
.
.
.
Di rumah, bibi juga telah menyiapkan seragam untuk mereka berdua dan baju-baju baru untuk dipakai sehari-hari. Setelah itu, ia meninggalkan Alera dan Joan di rumah karena sedang ada urusan dengan temannya. Suasana malam sangat sepi juga seperti biasanya, canggung. Ya canggung.
“Alera?” tanya Joannes pelan.
“Hemm..” Jawab Alera malas mungkin sedikit mengantuk.
“Bagaimana keadaan di Lukover ya? Apa semua lenyap? Dan siapa yang menyerang saat itu?” Mendengar pertanyaan itu, Alera pun menunduk bersedih mengingat kedua orang tuanya meninggal. Tak ada jawaban apapun dari bibir mungilnya.
“Aku rindu pada ayah, ibu, ayahmu, ibumu, pengawalku, kudaku, kamarku, dan semuanya. Apa disana ayah dan ibu baik-baik saja?” Tanya Joannes menerawang. Alera terisak, ia menangis mengingat takdir kejam itu.
“Maafkan aku Alera, aku tidak bermaksud membuatmu menangis.” Kata Joannes sambil mendekap tubuh mungil Alera.
“Siapa yang berani membuat kekacauan seperti itu? Ayah dan Ibuku meninggal seketika” jawab Alera sambil menangis sejadi-jadinya.
Mendengar itu Joannes merasa semakin bersalah karena menanyakan hal itu. Ia pun mendekap Alera lembut, sambil sesekali menghapus air mata gadis cantik didepannya. 1 jam kiranya mereka saling berpelukan mengeluarkan gundah dan tangis memikirkan negerinya.
“Aku tidak mau pulang.” Kata Alera lirih sambil mendongakkan wajahnya keatas melihat pangeran tampan yang saat ini memeluknya.
Nado.” (Aku juga) Jawab Joannes sambil merapatkan pelukannya.
Tanpa mereka sadari, mereka tertidur dalam keadaan yang bisa dibilang romantis. Saling berpelukan diatas sofa panjang dengan genangan air mata yang membuat cekungan hitam dibawah mata keduanya. Melihat hal itu, bibi merasa iba dan dendam pada kelompok yang berani menjatuhkan bom di wilayah kerajaan Lukover.
“Apa mereka dari masa depan?” Pikir Bibi Estrada.
“Ah.. anyeo..tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa membuka gerbang pembatas antara masa lalu dan masa depan. Tapi bagaimana mungkin ada bom di masa lalu?” (Tidak) Pikir bibi sambil memegang kepalanya yang berdenyut memikirkan hal keji itu.

To Be Continued...

From Lukover to SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang