31 | Kejutan (4)

150 24 16
                                    

Hari beranjak siang. Bukannya membubarkan diri karena tidak dihiraukan, para wartawan tetap bersikukuh menunggu. Jumlah mereka bahkan terus bertambah dalam hitungan menit. Aku yang memperhatikan melalui monitor interkom di balik pintu bersama Panca dan Ayu masih terheran-heran dengan fenomena yang sedang terjadi di hadapanku sekarang. Sebenarnya aku sama sekali tidak asing dengan keadaan seperti ini. Awak media yang kutemui biasanya jauh lebih banyak dari mereka. Namun, situasi ini sangatlah berbeda dan tentunya mampu membuatku merinding sekaligus kebingungan setengah mati.

"Mereka terus berdatangan." Panca bergidik ketakutan.

"Bagaimana mereka bisa menulis berita seperti ini? Memangnya dengan foto-foto dan video seperti itu, mereka bisa menyebutnya sebagai skandal?" tanyaku tak habis pikir. "Ayu, cepat cari siapa yang telah menggunggah foto-foto dan video itu. Jangan lupa penulis beritanya juga. Aku harus membuat perhitungan dengannya."

"Itu sulit, Mas."

"Sulit bagaimana? Bukannya selama ini kau selalu bisa menangani urusan seperti ini?" Jawaban Ayu sontak mengalihkan perhatianku dari monitor interkom kemudian menatap Ayu bingung.

"Masalahnya tidak sesederhana itu, Mas. 'Skandal Maheswara' langsung menduduki peringkat pertama trending topic hanya dalam waktu semalam. Untuk mencari siapa pelaku penyebaran berita ini pastinya akan memakan waktu lama."

"Sial!" Aku menggeram. "Semua ini gara-gara perempuan itu! Aku tidak akan memaafkannya!"

"Mas Judo," tegur Panca perlahan.

"Apa?" tanyaku seraya membentak.

"Anu, Mas. Hari ini Mas Judo ada wawancara dengan Majalah Donahue di gedung Panembrama. Bagaimana caranya Mas Judo keluar rumah kalau wartawan-wartawan itu masih di sana?" jelas Panca perlahan.

"Sudah telepon Mas Panji? Atau ada telepon dari Mas Panji? Mas Panji pasti sudah tahu berita ini."

"Tidak ada telepon dari Mas Panji, Mas. Aku juga sudah telepon Mas Panji, tapi nomornya sibuk."

Aku menggaruk pelipisku. Sebenarnya tidak gatal sama sekali. Situasi inilah yang membuatku gatal untuk terus berpikir—memutar otak menghadapi masalah yang menghantam tanpa ampun. Perempuan asing yang kutemui semalam di bagasi mobilku, yang kini berada di rumahku, benar-benar membawa malapetaka. Kalau sudah begini, bukan hanya kehidupanku yang menjadi tidak tenang. Bisa-bisa karirku pun akan hancur. Bagaimana caranya aku menjelaskan tentang perempuan itu kepada awak media?

"Aku ada ide," kataku menatap Panca dan Ayu bergantian.

"Bagaimana, Mas?" tanya Panca penasaran membalas tatapanku.

"Alihkan perhatian mereka."

"Maksudnya kita berakting lagi?" tanya Ayu dengan polosnya.

"Akting kita kemarin saja gagal. Kalau kita melakukannya lagi, kemungkinan besar pasti ketahuan," timpal Panca sangsi dengan ideku.

"Dengarkan dulu. Aku belum selesai bicara," lanjutku jengkel.

"Maaf, Mas Judo. Jadi, maksudnya mengalihkan perhatian bagaimana?"

"Sekarang kalian temui mereka dan bilang kalau aku tidak ada di rumah. Terserah kalian mau pakai alasan apa yang penting mereka semua pergi dari rumahku."

"Hanya itu? Aku pikir mengalihkan perhatian seperti apa," celetuk Ayu yang lengannya langsung disenggol Panca.

"Ma-maaf, Mas Judo," pinta Ayu terbata-bata sewaktu menyadari aku memandang tajam padanya.

"Setelah bicara pada mereka, kalian pergi ke Panembrama. Beritahu Mas Panji kalau aku tidak bisa keluar karena rumahku dikepung wartawan."

"Baik, Mas. Aku mengerti," sahut Panca menyanggupi. "Ayu, ayo kita keluar. Kita hadapi mereka semua."

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang