9

170 19 2
                                    

"Mel, stop!"

Melody mengerem ketika Selena mendadak muncul di depan motornya, hampir di atas ban, malah. Agus sampai membentur punggungnya.

"Mbak Mel, ki piye to?" gerutunya.

"Ada bokap lo di rumah." Selena memandang arah rumah. "Mendingan lo tinggalin Suga di sini dulu, terus lo urus bokap lo." Wajahnya agak panik. "Itu, anu ...." Papa Melody tidak sendiri, melainkan datang bersama seorang laki-laki berpakaian hitam. Sorot matanya tajam dan menakutkan ketika menatap Selena. Dia bisa melihat Selena.

"Suga, lo turun dulu. Nanti gue jemput, ya! Jangan ke mana-mana sampai gue balik. Tunggu di sana, oke?" Kebetulan di dekat situ ada taman dengan beberapa pohon rindang. "Ini, ini bawa." Melody membekali Agus dengan snack kentang dan sebotol air mineral. "Makan di situ, jangan ke mana-mana! Ayo, Sel!"

Selena maju mundur dan bibirnya membuka tutup, ingin mengucapkan sesuatu, tapi ada yang mengganjal. "Itu, anu, itu ... kayaknya bokap lo bawa dukun, deh. Matanya serem, auranya nggak enak. Gue sama Suga di sini aja, deh. Fighting, ya, Melody," kata Selena sambil mengangkat kepalan tangan.

"Dukun?"

Selena mengangguk cepat. Pada saat orang yang sepertinya dukun itu menatapnya tadi, tubuhnya langsung tidak enak, makanya dia buru-buru kabur. Agus belum sempat meminta penjelasan saat derum motor Melody sudah menjauh. Dia menengok ke kanan-kiri, sepertinya hantu teman Melody itu ada di situ. Agus bergidik dan mengusap tengkuknya yang meremang, lalu berjalan cepat masuk ke taman.

**

"Baru pulang, Mel?"

Melody belum melepaskan helm saat papa berdiri dari duduknya di kursi teras. "Katanya nganterin teman check up, siapa? Kiara?"

Bukannya menatap papanya, Melody malah memperhati-kan temannya itu. Pakaiannya hitam khas dukun, memakai blangkon, kalung dan gelang yang besar-besar. Semenjak tidak ada mama, papanya jadi punya teman yang aneh-aneh.

"Bukan. Tumben dateng, Pa?" Melody berjalan melewati papa untuk meletakkan belanjaan di depan pintu dan memutar kunci. Dia tak mempersilakan tamu itu masuk setelah pintunya terbuka.

"Mari kita masuk, Pak Wisnu! Maaf, anak saya emang begitu kalau lagi ngambek." Papa mempersilakan temannya untuk masuk. "Silakan, silakan. Mel, bikinin minum!"

Melody mendengus kesal. Dia berjalan ke dapur dengan kaki dientak-entakkan, mengaduk sirup juga dengan suara berdenting. Tamu tidak diundang, kok, minta minum.

"Yang sopan, Mel." Papa menyusul ke dapur. "Sampai kapan kamu mau memusuhi Papa begini?" Papa mengambil alih nampan dari tangan Melody, lalu membawanya ke depan.

Melody masuk ke kamar dan mengganti bajunya dengan kaus yang nyaman, lalu melempar punggungnya ke atas kasur. Dipandanginya langit-langit yang berubah menjadi layar bioskop —yang memutar film lama dan dibintanginya sendiri. Kisah bahagianya, papa, dan mama sebelum negara api menyerang.

Jika dia menanggapi omongan papa, maka ujung-ujungnya adalah berdebat. Dia sudah lelah melakukannya selama bertahun-tahun. Dia sadar bahwa memusuhi orang tua itu dosa, durhaka, tapi papa juga bukan tipe orang yang mudah mengalah. Papa itu keras, A ya A, tidak B apalagi Z, titik, tidak bisa diganggu gugat.

Melody berbalik tengkurap ketika sayup-sayup terdengar obrolan papanya di depan. Dia menatap foto mamanya, Ranti, yang tersenyum manis. Matanya hilang saat tersenyum. Senyumnya pun bisa membuat orang ingin tersenyum juga. Senyuman beliau sangat hangat seperti matahari pagi. Senyumnya itu dikloning dari sana. Catat, hanya sampai bagian mata dan hilang.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang