tiga

16 2 2
                                    

Gerald's PoV

"Ada apa kesini?" Tanya Letty saat tanganku sedang sibuk dengan dua bungkus nasi goreng itu.

Aku menatap kedua matanya, terlihat jelas bahwa dia kurang suka dengan sikapku yang memang berubah seratus delapan puluh derajat, "karena gue tau lo belum makan. Gue inisiatif sih. Jadi gue bawain makan buat lo."

"Bukan." Jawabnya cepat, dia tidak puas dengan jawabanku, "kenapa? Sikapmu."

"Emangnya kenapa? Salah gue perhatian sama lo?"

"Kamu.." Dia berhenti sejenak, seperti sedang menemukan kata-kata yang pas untuk di ucap, "seperti mengambil alih posisi Sean, Rald."

"Gue sayang sama lo, Let. Salah kalo gue ambil posisi itu?" Pikiranku sudah terpusat sepenuhnya pada Lettisha, tidak lagi pada dua bungkus nasi goreng itu.

Dia terdiam. Mengalihkan pandangannya, mencoba mencerna kata-kataku tadi. Okay. Ini memang terlalu cepat. Kematian Sean baru saja tujuh hari yang lalu. Tapi tiba-tiba aku sudah berkata seperti itu.

Tidak, ini tidak terlalu cepat, aku sudah memendam ini semenjak mereka baru saja berpacaran. Jadi, ini tidak terlalu cepat.

Lettisha kembali menatapku, menatap mataku teduh, lalu bertanya, "kenapa?"

Letty ini memang orang yang irit bicara setelah kepergian Sean, ia hanya melontarkan satu dua kata, paling untung kalau satu paragraf. Tapi, dia ini sangatlah baku dalam berbicara. Dia jadi pembicara baku semenjak SMP. Mulai mengikuti lomba bahasa Indonesia dimana-mana. Sampai satu sekolah tahu, bahwa Letty memang memiliki bakat khusus dalam pelajaran bahasa. Letty si pembicara baku, sebutannya dari anak-anak angkatannya, dan aku.

Dan perkataannya ini terbilang sangat sulit untuk orang-orang seperti aku yang malas berpikir tentang bahasa-berbahasa. Karena terlalu baku, hanya orang-orang tertentu yang mengerti. Tapi, untuk yang satu ini, aku mengerti. Karena ia hanya mengucap satu kata. Bukan satu kalimat.

"Tadi udah gue bilang, Lett. Gue sayang sama lo."

"Saya tahu, yang saya tanya, kenapa kamu sayang sama saya?" Tuh 'kan. Salah tangkep.

"Karena," aku terdiam. Entah memikirkan alasannya, atau memikirkan, bagaimana aku bisa menyayanginya, "sayang ga butuh alesan, Lett."

"Sejak kapan?"

"Sejak lo sama Sean pacaran."

Aku tahu sekali, dia sedang berpikir. Dia diam. Memalingkan pandangannya lagi, mencoba mencerna, lagi. "Berarti, kamu.."

"Iya. Gue pendem ini selama tiga tahun, Lett."

Dia masih memejamkan matanya, masih diam, dan berpikir.

"Bisa pergi sekarang dari sini?"

Dia, ngusir? Aku masih menatap matanya yang terpejam dengan tidak percaya. Ada apa? Kenapa aku diusir? Okay. Mungkin ini memang terlalu cepat. Lettisha masih terlalu shock untuk mendengar semua ini.

Aku bangkit berdiri, Lettisha masih diam, tidak menatapku, "gue pergi dulu. Dimakan nasinya. Kalau ada apa-apa, calling gue aja." Ia hanya mengangguk. Pelan sekali, sampai-sampai aku tidak menyadarinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang