Aku duduk termenung dekat jendela pada sebuah kamar sederhana milik Ibu. Dari jendela, tampak beberapa tanaman bunga tumbuh di pekarangan belakang rumah. Salah satu bunga yang disenangi ibu adalah mawar. Bunga harum itu memiliki puluhan warna memesona. Sayang, pada batang bunganya diselimuti duri-duri kecil yang bisa mencederai pemiliknya jika tak hati-hati merawatnya.
Aku teringat satu kejadian yang membuat kalbuku gusar sebab bunga mawar. Ketika berangkat sekolah di pagi hari aku berpamitan kepada ibu. Saat itu dia tengah merawat dan menata bunga kesayangannya, "Ibu, aku berangkat, ya?"
"Tidakkah kamu melupakan sesuatu, Allena?" tanya ibu tanpa memperhatikanku yang tengah terburu-buru berangkat sekolah. Ibu lebih tertarik dengan bunga-bunga menyebalkan itu.
Aku berpikir ulang untuk memahami sesuatu yang terlewatkan. Buku-buku pelajaran sudah kumasukkan dalam tas; pekerjaan rumah sudah kukerjakan; dan uang jajan pun sudah kuselipkan di saku seragam putih-biru, tak ada yang tertinggal. Namun, tiba-tiba kepalaku yang encer mengingat sesuatu, aku belum mencium punggung telapak tangan ibu. Masalah sepele itu saja mesti mengingatkanku sedemikian rupa.
Dengan malas kuraih tangan ibu yang kotor sebab masih memegang setangkai bunga mawar. Tanpa disengaja hidung bangirku menekan punggung lengannya terlalu merunduk. Maka, beberapa duri-duri yang menempel pada batang mawar menggores hidungku.
Sontak aku menjerit keras sebab luka gores di hidung. Butiran merah pun mencuat dari kulit hidungku yang halus. Rasa pedihnya sangat menyakitkan. Sekejap amarahku memuncak, lalu beriak menyorot tajam ke wajah ibu yang tampak panik.
"Mengapa Ibu melukai mukaku dengan bunga mawar?" tuduhku penuh amarah.
"Maaf, Ibu tak sengaja," pinta ibu penuh rasa penyesalan.
"Apa tidak sengaja?!" cibirku geram, "Ibu sengaja mendekatkan duri bunga itu ke muka, ya!"
"Allena, maafkan Ibu ..." ujarnya penuh permohonan.
Aku tak terima diperlakukan demikian. Aku berontak kala ibu hendak memeluk sebab rasa sesalnya. Hatiku bertambah kesal ketika ibu mencoba mengobati lukaku. Aku justru berlari kepada ayah yang muncul dari balik pintu. Dia hendak berangkat kerja. Aku mengadukan kejadian itu kepadanya. Ayah pun memarahi ibu habis-habisan.
Sejak kejadian itu, aku berpisah dengan ibu. Dia pergi meningalkanku dalam kesedihan. Beberapa kali aku dan ayah mencoba menemui ibu di rumah nenek untuk meminta maaf, tetapi dia selalu menghindar. Ibu tak ingin menemuiku. Aku pun pulang dalam kesedihan sebab tak berhasil menjumpai ibu.
Kali ini aku bertekad menunggu ibu di kamarnya yang saat ini masih ditempati nenek. Ayah tak lagi menemaniku mencari ibu. Dia terlalu sibuk bekerja. Tekadku bulat, tak akan pulang ke rumah sebelum bertemu ibu dan sudi memaafkanku. Ruangan kecil ini merupakan kamar ibu saat belia. Sejak dulu ibu suka menanam bunga mawar di belakang rumah. Dan kini aku menyaksikan pesona puluhan bunga mawar yang indah karya ibu.
Saat aku tengah berkhayal turut membantu ibu merawat aneka bunga di pekarangan, telingaku mendengar gerak langkah teramat pelan menuju kamar. Aku duduk di sisi jendela sambil menyaksikan aneka bunga mawar yang dulu kubenci. Namun kini, aku berubah pikiran. Bunga mawar adalah bunga terindah dalam hidupku, aku sangat menyukainya.
Seseorang terkejut saat melihatku berada di kamar, "Allana ...?!"
Aku lama memandanginya. Wajah ayu datar dengan ekspresi kesedihan besar selalu bermain-main dalam pikiranku selama ini. Aku begitu merindukannya, kasih-sayangnya, peluk-ciumnya, dan cintanya yang tulus kepadaku. Sebab kejadian itu aku merasa bersalah kepada ibu. Aku menuduhnya yang tidak-tidak, merasa tak pernah diperhatikan dan dicintainya sehingga ibu begitu terpukul hatinya.
"Ibu, maafkan Allena ...."
Aku bangkit dan berlari menghampirinya, memeluknya mesra, serta menumpahkan segala kesedihan dalam hati yang terkurung perasaan bersalah.
"Anakku ..." Kedua tangan direntangkan untuk menyambut pelukanku yang bergetar sebab kerinduan besar.
"Maafin, Allena ya, Bu. Sebab Allena selalu berbuat kasar sama Ibu. Dan Allena juga suka menyakiti hati Ibu."
"Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Ibulah yang salah kepadamu, sebab Ibu telah mencelakaimu," tangkisnya jujur.
"Tidak, Ibu. Allena yang bersalah. Sebab telah menuduh Ibu macam-macam sehingga..."
"Bukan salahmu, anakku...."
Ibu tak meneruskan kalimatnya hanya tangis haru ditumpahkan untuk menyampaikan segala kesalahannya seraya memaafkan tabiat jelek anaknya.
"Allena telah membenci bunga mawar milik Ibu."
"Tidak, anakku. Semuanya bukan salahmu." Ibu menjelaskannya sambil membelai rambutku yang hitam tergerai panjang, "Ibu pergi bukan sebabmu, bukan pula sebab bunga mawar."
"Tapi, mengapa Ibu pergi dari rumah?"
"Tanya ayahmu," katanya sambil melirik keluar kamar, "Ayah tak ikut bersamamu?" tanya datar sebab dia memang tak berharap besar terhadapnya. Kedua bola mata ibu tampak berair sebab kecewa.
Aku menggeleng kecewa. Sejak kepergian ibu, ayah sering telat pulang ke rumah, bahkan mulai jarang pulang. Kata para tetangga, ayah telah memiliki bunga yang lain yang lebih cantik dari ibu. Kini aku mengerti, ibu pergi bukan sebab mawar kesayangannya, tetapi ibu pergi sebab bunga lain yang merusak cintanya.
"Ibu, tentang ayah ..."
"Ibu sudah tahu, Nak," ujarnya pasrah serat memelukku lebih erat.
"Ibu..." aku membalas dekapan tubuh ibu yang mulai bergetar menahan kepedihan hatinya sebab perbuatan ayah yang selama ini menyakiti perasaannya.
"Terkena duri bunga mawar, tak seberapa sakitnya daripada duri cinta yang ayahmu lakukan terhadap Ibu. Semoga Ayah mengakui kesalahannya, dan tak lagi menanam duri-duri kepedihan di hati Ibu."
"Ibu, maafkan Allena."
Kami pun berpelukan erat sambil melangkah ke pekarangan untuk menikmati indahnya aneka bunga mawar yang harum semerbak, seperti aroma wangi cintaku terhadap ibu. Namun dalam hati aku masih kesal dengan polah ayah yang menyakiti hati ibu dengan berpacaran dengan wanita lain.
Aku dan ibu telah saling memaafkan, tetapi ibu tak mau kuajak pulang kembali ke rumah sebab perbuatan ayah. Aku pun pulang dengan tangan hampa seraya berdoa semoga ayah menyadari kesalahannya. Dan aku ingin kedua orangtuaku kembali bersatu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebab Mawar
Historia CortaAllena sebelumnya tak menyukai bunga mawar sebab durinya telah melukai sebagian tubuhnya. Bunga mawar meski berduri tetapi indah disaksikan dan harum mewangi. Jika hati terluka sebab duri-duri cinta, tentu membuat jiwa dan raga menderita.