38 | Ricuh (5)

138 22 7
                                    

Suara detak jam dinding terdengar ke seluruh penjuru ruang tengah. Tidak ada suara lain, hanya detak jam yang menandakan bahwa masih ada kehidupan di sini. Aku dan si perempuan tidak waras masih tetap pada posisi, duduk sembari menatap satu sama lain. Tak pernah sedikitpun terbayangkan olehku, pagi hari di mana aku membangun semangat untuk mencetak prestasi-prestasi baru, justru berantakan karena seorang perempuan yang tak jelas identitas dan asal-usulnya. Cobaan apa ini?

"Baiklah." Aku mulai bersuara. "Aku cerita sedikit. Kau mau dengar?" tanyaku yang dibalas tatapan datar wajah cantiknya. Tak ada jawaban, hanya angin yang kudapat. Walau begitu, aku tetap melanjutkan. "Aku baru saja tiba di Indonesia. Saat bangun di pagi hari, aku berharap bisa menikmati secangkir teh hangat dan roti gandum sambil membaca berita tentang diriku yang sukses di dunia hiburan internasional. Namun, kenyataannya aku menemukanmu semalam dalam keadaan mabuk di bagasi mobilku. Aku mendapat kejutan di pagi hari dengan berita bertajuk 'Skandal Maheswara'. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini dan tidak akan melaporkanmu ke polisi. Jadi, aku minta kau jujur, kau ini siapa, dari mana asalmu, dan bagaimana kau bisa masuk ke bagasi mobilku?"

Aku berharap dengan perlahan seperti ini, dia mau bicara dan memberikan penjelasan siapa dia sebenarnya. Setelah menunggu agak lama, dia tidak menunjukkan adanya pergerakan. Sikapnya tetap sama. Ekspresi wajahnya datar, mulutnya terkatup rapat, dan kedua matanya terus menatapku lurus-lurus.

"Mengapa diam saja?" tanyaku habis kesabaran.

"Apakah aku sudah diizinkan bicara?" Dia berbalik bertanya.

"Iya, " jawabku menahan emosi yang mulai kembali muncul. .

"Termasuk bernafas?"

"Jawab saja pertanyaanku!"

"Aku tidak mengerti. Sebenarnya, apa yang sedang kau bicarakan?"

"Arrgh!" Aku menggeram. Sekuat tenaga aku menahan emosi, hasilnya tidak berubah sedikitpun. Ingin rasanya masalah 'Skandal Maheswara' cepat selesai dan perempuan tidak waras ini lekas pergi dari kehidupanku. Namun, rupanya aku harus mengalah dengan waktu yang memintaku untuk bersabar lebih lama. "Sebutkan saja namamu, tempat tinggalmu, dan bagaimana caramu masuk ke bagasi mobilku."

"Sebelumnya aku sudah memperkenalkan diriku. Mengapa kau bertanya lagi?" tanyanya sembari mengangkat dagu tinggi-tinggi.

Aku terperangah mendengar jawabannya yang begitu angkuh. Kedua tanganku yang terlipat di depan dada langsung kuturunkan. Dengan sedikit menggigit bibir bawahku, aku menahan emosi. Setelahnya, aku membuang napas kasar. Aku memandangnya sambil terus mengatur napas dan berusaha membuat diriku setenang mungkin. Aku tak bisa berpikir lagi bagaimana harus menghadapi perempuan 'ajaib' ini. Bisa-bisa aku terkena darah tinggi. Aku mengusap wajah, menunduk sejenak, lalu mengangkat kepalaku untuk memandangnya lagi. Namun, yang kulihat sama sekali tidak berubah—dagunya tetap terangkat tinggi.

"Maksudku adalah jelaskan lebih rinci siapa kau sebenarnya," lanjutku kembali bicara, lebih perlahan dari sebelumnya dan tanpa emosi. Jujur, aku lelah menghadapinya.

"Jika dari awal kau mengatakan dengan jelas dan perlahan, aku tidak akan kebingungan seperti ini," balasnya dengan memalingkan wajah ke arah lain dengan angkuh dan tetap mempertahankan dagu yang terangkat tinggi.

"Oke! Aku salah dan kau yang benar! Jangan mengatakan hal lain lagi dan mulai jelaskan saja." Aku mengalah dari pada masalah ini bertambah panjang.

Wajahnya berpaling kembali ke arahku, menatapku intens dengan tatapan tajam. Manik mata hitam batu obsidian dan bulu mata lentik melengkapi kecantikannya bak seorang dewi.

"Aku adalah Gusti Putri Kamala Wikrama Indurasmi. Aku tinggal bersama Ayahanda, Prabu Anggabaya, di istana dengan anggota kerajaan yang lain. Siang hari itu, aku sedang mengejar seekor rusa sampai ke tengah hutan bersama Yodha, kuda istanaku. Aku jatuh ke dalam sumur, tenggelam, dan tidak sadarkan diri. Sewaktu sadar, aku terkejut karena hutan dan semua pepohonan menghilang. Aku berusaha meminta bantuan, tetapi semua orang tidak percaya padaku. Sampai akhirnya, aku menemukan sebuah istana kerajaan yang sedang mengadakan pesta. Di sana, aku meminta bantuan pada seorang pelayan untuk mengantarku menemui Gusti Prabu kerajaan tersebut. Anehnya, pelayan itu tidak mengenal Gusti Prabunya sendiri. Pelayan itu memberikan minuman kepadaku dan mengatakan akan mengantarku menemui Gusti Prabu setelahnya. Kebetulan aku juga merasa haus karena menempuh perjalanan yang sangat melelahkan sehingga aku langsung meminumnya. Setelah minum, aku merasakan keanehan pada tubuhku. Kepalaku menjadi pusing dan aku sulit mengendalikan tubuhku sendiri. Ternyata, pelayan itu tidak mengantarku menemui Gusti Prabu sesuai dengan ucapannya semula. Ia bersama dengan seorang penjaga istana justru mengusirku. Mereka benar-benar lancang dan tidak sopan memperlakukanku seperti itu. Aku pergi dari istana kerajaan itu dan menemukan sebuah tempat tidur yang nyaman, yang kau sebut dengan 'mobil'. Aku sangat lelah dan ingin beristirahat. Karena tidak dapat menahan rasa kantuk lagi, aku memutuskan naik ke tempat tidur. Pagi harinya, aku menemukan diriku berada di rumahmu."

Keheningan menghinggap setelah perempuan tidak waras itu menyelesaikan kisahnya. Baik aku maupun dia tidak menunjukkan reaksi apapun. Kami berdua benar-benar diam, duduk di sofa masing-masing sambil menatap satu sama lain. Setelah beberapa detik berlalu, tawaku meledak.

"Hahaha!" Aku tak dapat menahan tawa usai mendengar penjelasannya. "Kau pintar sekali mengarang cerita! Sangat meyakinkan! Aku benar-benar takjub padamu! Hebat!"

Di sela-sela tawaku, aku melihatnya berdiri dengan gusar dari sofa. Tangannya terkepal kuat. Matanya melotot marah ke arahku yang masih terus tertawa.

"Aku tidak sedang mengarang cerita! Semua yang kujelaskan benar-benar terjadi padaku! Aku mengatakan hal yang sebenarnya!"

"Hahaha!" Aku tertawa lebih keras sampai perutku sakit.

"Benar-benar tidak sopan tertawa seperti itu di hadapanku! Tunjukkan rasa hormatmu padaku!"

"Apakah kau orang zaman dahulu? Apakah kau datang dengan mesin waktu?" tanyaku dengan tawa yang berangsur reda sembari mengusap air mata di sudut mataku akibat tertawa terlalu kencang.

"Zaman dahulu? Mesin waktu? Apa yang sebenarnya kau bicarakan?"

"Cara bicaramu aneh! Lucu! Aku seperti bicara dengan nenek-nenek! Hahaha!" Aku kembali tertawa.

"Lancang sekali kau bicara! Usiaku masih 19 tahun! Aku bukan nenek-nenek!" teriaknya kencang-kencang.

"Oh, ya? Benarkah?" tanyaku jahil. "Lalu, kau lahir tahun berapa?"

"900," jawabnya singkat.

"Hmmph! Hahaha!" Aku benar-benar tidak bisa menahan diriku untuk tidak terus tertawa mendengar setiap pengakuannya yang tidak masuk akal. Dia benar-benar lucu. Baru pertama kali aku bertemu dengan perempuan sepertinya, cantik tapi sayangnya tidak waras.

"Aku beritahu, ya. Seharusnya usiamu bukan 19 tahun, tetapi 1000 tahun bahkan lebih."

"Apa?" pekiknya menggema ke seluruh penjuru ruang tengah. "Kau pasti sedang mempermainkanku! Semua hal yang kau ucapkan hanyalah pengelabuan semata! Aku tidak akan pernah tertipu olehmu!"

"Sekarang tahun 2020, Nona. Sebaiknya, hentikan permainan drama kolosalmu. Itu sama sekali tidak berpengaruh padaku."

"Pembohong! Aku tidak percaya padamu! Bahkan pada semua ucapan yang keluar dari mulutmu itu!"

"Terserah saja. Yang penting, aku sudah mengatakan hal yang sebenarnya," ucapku tersenyum sinis.

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang