01

37 4 5
                                    

Sudah berabad-abad bumi ada. Tapi abad 22 adalah abad terburuk bagi bumi. Global warming tidak dapat dicegah lagi. Hanya delapan belas persen manusia yang peduli pada alam. Sedangkan sisanya–sebagian besarnya hanya memikirkan bagaimana caranya menguasai bumi ini. Berlomba-lomba membangun gedung-gedung pencakar langit. Membuang alam untuk segepok uang.

"Menurutmu apa yang harus kita lakukan? Dari buku yang aku baca, bumi yang hijau dan biru sudah terganti menjadi bumi yang putih dan coklat."

"Kita hanya peri daun. Tak ada yang bisa kita lakukan."

Daun mengernyit tidak setuju. "Justru sebagai peri daun, kita harusnya bisa membuat bumi yang putih kembali menjadi bumi yang hijau."

Klorofil mengernyit. "Apa itu bumi putih?"

"Bumi putih itu sebutan untuk gedung-gedung pencakar langit yang ada di bumi."

"Lalu, maksud dari bumi putih dan coklat?"

"Itu maksudnya, pohon di bumi sudah tergantikan oleh gedung-gedung pencakar langit dan air biru bumi sudah berubah menjadi coklat."

"Ah, aku mengerti."

Daun tersenyum senang. "Jadi, apa kau punya usul?"

Klorofil memiringkan kepalanya. Gadis itu terlihat sedang berpikir keras. "Kurasa karena kita masih kecil, yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha untuk melidungi pohon dan tanaman lainnya di sekitar kita."

"Ya, kau benar." Daun menoleh ke jendela kamarnya. Saat itulah ia melihat pemandangan yang membuat hati menangis. Hanya rumahnya yang dipenuhi oleh tanaman.

"Klorofil," panggil Daun dengan berbisik. Klorofil langsung menoleh.

"Apa?"

"Menurutmu yang bisa kita lakukan hanya berusaha melindungi pohon dan tanaman di sekitar kita?"

"Ya," ragu-ragu Klorofil menjawab.

Daun menoleh dan tersenyum. "Kurasa tidak."

"Huh?"

"Selain melindungi, kita juga bisa menanam pohon dan tanaman lainnya."

"Itu merepotkan."

Daun langsung cemberut.

***

Tangan itu memasangkan bandu pada kepalanya yang dihiasi oleh rambut hitam legam sepinggang.

Daun tersenyum memandang pantulan dirinya di cermin.

Perfect!

Bandu hijau, anting berbentuk daun kecil, dan juga baju seragam favoritnya. Baju seragam batik berwarna hijau.

"Daun! Cepat turun. Jangan lupa tanaman di kamarmu!" teriak ibunya dari lantai bawah.

"Iya, bu."

Daun langsung mengikuti perintah ibunya. Ia berjalan ke balkon kamarnya yang dipenuhi oleh berbagai macam tanaman. Lalu, tangannya menyentuh daun tanaman itu satu per satu. Menyebarkan partikel-partikel kecil berwarna hijau yang diselubungi oleh air–membuat tanaman itu segar.

Setelah itu, ia turun ke lantai bawah. Tepatnya ke dapur, dimana ayah dan ibunya berada.

"Daun, kamu pergi sendiri ya, ayah mendapatkan tugas penting yang mendadak."

Daun hanya menggangguk sambil tersenyum kecil mendengar ucapan ayahnya.

Ayah ikut tersenyum, ia mengusap-usap kepala Daun dengan sayang. Lalu, ia menghampiri ibu untuk berpamitan.

DaunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang