ONE

20 0 5
                                    

ALICE

Apa salahku Tuhan? Apa dosaku terlalu banyak kepadaMu?

Sekitar satu bulan yang lalu, aku divonis oleh Dokter Ryan mengidap penyakit leukimia kronis. Saat itu aku melihat Mama meneteskan air matanya dan Papa berusaha terlihat tegar.

Namaku Alice Dyandra. Mahasiswi tingkat akhir jurusan MIPA di Universitas Gadjah Mada. Kata Mama, aku anak yang baik dan penurut. Sejak bayi aku jarang rewel dan sakit. Dan menurut Papa, aku adalah gadis kecil yang cantik dan cerdas. Banyak prestasi yang kuraih hingga tingkat akhir di bangku kuliah ini.

Sebulan terakhir ini, aku berpikir.. apa yang salah dengan hidupku? Apakah pola makanku? Atau hubunganku dengan Tuhan? Aku rasa semuanya baik-baik saja dan tidak berada di jalur yang salah. Tetapi, mengapa penyakit ini menyerangku? Kenapa tidak orang lain saja?

                                ---

"Hai." Aku terlonjak kaget. Refleks, aku menutup buku yang sedang kubaca. Aku mendapati seorang pria paruh baya. Dia berdiri ala coboy. Dua kakinya terbuka lebar dan kedua tangan terkait di saku belakang celana jeans-nya.
"Sori kalau aku mengagetkan mu. Kursi di sebelahmu kosong kan?" Aku tidak menjawab pertanyaannya, segera ku edarkan pandangan di sekeliling bandara. Semua kursi terlihat penuh. Aku hanya menghela napas, ku turunkan ransel biru yang ada disebelahku. "Terima kasih" pria itu mengucapkan dengan nada senang. Entah kenapa aku makin bertambah kesal dengannya. Ketika dia duduk, aku pun membuka buku dan melanjutkan bacaan ku tadi.

Tiba-tiba lengan kiri ku disenggol pelan. Aku menatap langsung ke mata pria itu dengan pandangan bertanya. Pria itu tersenyum lebar. Meskipun terlihat sangat menawan, tapi aku tak berpengaruh.

"Hei, lagi. Aku hanya ingin berkenalan denganmu." Keningku berkerut. "Jangan sinis gitu dong. Kita satu rombongan tour lho." Pandanganku terarah ke koper yang berada di kaki nya. Aduh, benar juga. Warna dan bentuk koper kami sama. Sialan! Nama logo dan perusahaan yang tercetak di koper itu menunjukkan bahwa dia memang satu rombongan tour denganku. Aku mendesah pelan.
"Karena selama seminggu ke depan kita akan selalu bersama, wajar dong kalau aku mengajakmu berkenalan?" Pria itu mengulurkan tangannya ke arahku. Oke, hanya karena kami satu rombongan, tak ada salahnya jika menyambut perkenalan itu.

"Ferdinand Alatav. Bisa dipanggil Ferdi."
"Alice Dyandra. Panggil saja Alice/Al."

Aku melepaskan genggaman hangat tangan Ferdi. Hmm, tunggu dulu. Hangat? Mungkin hanya perasaanku saja. Aku memejamkan mata sebentar. Tak lama kemudian, lagi-lagi lenganku disenggol pelan. Aku membuka mata, kali ini menatap Ferdi dengan pandangan sengit. Aduuhh..ada apa lagi sih?
"Kamu pergi dengan siapa? Aku lihat kamu duduk sendirian."
"Memang aku sendirian," tandasku. "Boleh aku minta sedikit privasi?!" "Oh kamu ngantuk ya? Aku juga nih."

Aku mencermati pria super pede ini. Wajah Ferdi bersih, tidak ada jerawat sekali pun. Tidak berkumis dan tidak berjenggot. Hidungnya mancung. Sebenarnya, dia masuk kriteria pria idamanku. Dia memakai kacamata tipis tanpa frame. Setelah mencermati pria di sebelahku ini, aku memarahi diriku sendiri. Bisa-bisanya aku kelebihan melihat Ferdi!

Aku menjulurkan leher sambil mengedarkan pandangan, mencari tour leader yang akan menemani perjalanan selama di Inggris. Dan hasilnya nihil. Belum terlihat sosoknya. Aku melirik jam tanganku. Dua jam lagi perjalanan dimulai.

---
Akhirnya setelah sekian lama menunggu, Tour leader memanggil semua peserta untuk berkumpul. Dua puluh orang peserta tur berdiri mengelilingi Rio, tour leader kami. Ferdi menempatkan diri di seberangku. Matanya menatapku lekat sambil menyengir lebar. Aku berusaha memusatkan perhatian kepada Rio. Tetapi sulit rasanya jika pada saat yang sama, mataku melihat dua wajah sekaligus. Wajah Ferdi dan Rio. Rio membagikan paspor kami. Lalu memberi pengarahan kepada kami mengenai proses bagasi, check in pesawat, prosedur imigrasi dan informasi penting lainnya.

Setelah itu, Rio menatap kami satu per satu dengan wajah serius dan berkata, "Bapak, Ibu dan Saudara sekalian. Karena kita dalam penerbangan internasional, penting sekali untuk diingat agar kita tidak bercanda atau main-main dengan kata bom dan teroris." Aku mengangguk, begitu juga dengan yang lain. "Baiklah, jika tidak ada pertanyaan lagi, sekarang kita bersiap-siap untuk berangkat."

Setelah itu, kesibukan terlihat di grup tur kami. Koper-koper yang tidak bisa di bawa ke kabin pesawat diberi label nama lalu disatukan di troli barang. Suasana semakin menghangat ketika anak-anak yang ikut mengantar mulai merengek dan menangis. Keluarga kerabat saling berpelukan, berciuman, dan memberi salam perpisahan. Beberapa jam lalu, aku bersikeras tak ingin diantar oleh orang tuaku ke bandara. Akhirnya, Papa dan Mama mengalah dan hanya mengantarku sampai di depan pintu taksi. Aku mengambil ponsel dari saku jaket untuk menelepon Mama dan Papa untuk mengabarkan keberangkatanku. Setelah mendengar nasihat dan pesan panjang kali lebar dari Mama, lalu ganti Papa yang memintaku agar bersenang-senang selama mengikuti tur ini, adrenalinku mulai berpacu. Perjalananku ke Inggris dimulai.

Aku mengikuti Rio dan enam troli barang yang mengangkut koper-koper grup kami melewati pemeriksaan bandara. Lalu kami menuju konter maskapai Garuda Indonesia yang khusus dibuka untuk grup tur kami untuk mendapatkan nomer kursi pesawat. Selama prosedur berlangsung, aku merasa Ferdi seakan-akan mengekorku. Bukannya aku kegeeran. Tetapi setiap kali aku menoleh, melirik, selalu ada dia! Sungguh menjengkelkan. Mendadak aku was-was. Semoga aku tidak duduk bersebelahan dengan pria itu.

Di pesawat Garuda Indonesia...
Nomer kursi ku 14F. Posisi duduk di dalam pesawat ini dibagi menjadi tiga bagian. Dua kursi di sisi kiri dan kanan jendela, dan empat kursi di bagian tengah. Kursiku memang kurang strategis karena tidak bersebelahan dengan lorong. Hal ini menyulitkan aku kalau ingin ke toilet. Tapi bagaimana pun ini masih lebih menguntungkan karena aku tidak duduk dengan Ferdi. Ferdi di 13H. Aku menyengir lebar. Angka sial untuknya! Dia duduk satu baris di depanku. Aku memosisikan tubuh dengan nyaman setelah memakai sabuk pengaman, lalu berdoa meminta perlindungan Tuhan.

Dua puluh jam sembilan belas menit, perjalanan panjang untuk sampai ke bandara Heathrow di London. Ternyata ada baiknya juga jadwal keberangkatan tengah malam sehingga bisa membunuh waktu dengan tidur.

Rhythm of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang