Hari Ketiga MOS
"Lo kenapa sih? Dari hari pertama mos, ngelamun mulu." Tanya Andira.
"Gue paham kok. Lo itu type orang yang cuek, serius, tapi..."
"Tapi lo bukan type orang yang lemah lesu begini kan?"
Balas Mauren yang langsung disambung kembali oleh Andira.
Mauren dan Andira adalah sahabat Kayla dari SMP, yang sampai sekarang mereka kembali berada dalam satu sekolah yang sama. Jadi mereka paham betul, akan sifat dan karakter masing-masing dari ketiganya. Lamunan Kayla terpecah saat mendengar senior osisnya bertanya,
"Ada yang kenal atau satu alumni sama Reynand Demitrio nggak? Dia nggak masuk dari hari pertama tanpa keterangan."
Bagas. Cowok yang satu kelompok mos dengan Kayla. Yang duduknya bersebelahan dengannya, berdiri. Melangkahkan kaki berjalan maju menuju osis yang bertanya.
"Nih kak, tadi pagi mamanya baru nitipin surat ke saya."
Wakil ketua osis, kak Jihan. Dia langsung mengambil amplop surat tersebut dan Bagas kembali lagi pada posisi duduknya, yaitu disebelah Kayla.
Sudah cukup lama setelah Kayla memutuskan untuk tidak berinteraksi lagi pada pria. Cukup lama saat ia menanamkan kebencian serta prinsip di dalam hatinya, seolah-olah ia takkan pernah mau mengenal pria. Pria manapun juga. Tapi kali ini canggung. Hatinya berdebat seolah ingin bicara satu dua patah kata untuk bertanya keadaan Reynand kepada Bagas. Apa yang terjadi pada Rey setelah insiden itu? Apa tanggapan orang tua nya akan hal ini? Apakah kedua orang tuanya berusaha mencari sebab akibat dari kejadian fatal ini?
Sungguh banyak pertanyaan yang ingin Kayla lontarkan. Terutama tentang kabar Reynand setelah peristiwa kemarin yang ingin ia ketahui. Tapi sungguh berat hatinya, juga mulutnya yang sulit angkat bicara kali ini. Hingga Kayla hanya bisa melirik-lirik kecil ke arah Bagas.
"Eh, kenapa?"
Akhirnya Bagas bertanya setelah dari tadi heran akan mata Kayla yang mencuri pandangannya.
"Gu..gu..gue?"
Kayla menujuk dirinya sendiri seraya meyakinkan apakah Bagas bertanya untuknya.
"Iya, elo." Perjelasnya.
"Em, itu.."
"Apa? Kenapa?"
"E..lo.. kenal Reynand? Reynand Demitrio?"
"Iya. Dia sahabat gue dari SMP. Emang nya kenapa? Lo juga kenal sama dia?"
"Eng..engga. gue cuman pengen nanya, kenapa dia bisa nggak masuk dan nggak ngikutin mos?"
"Oh, itu. Kemarin di hari pertama mos dia masuk kok. Dia udah jalan berangkat dari rumahnya. Tapi yaa..."
"Tapi apa?"
"Tapi dia..."
"Dia kecelakaan kan?"
"Kok lo bisa tau?!"
Bagas tersentak kaget. Begitu pun Kayla. Kenapa sangat ceroboh sehingga meyakinkan dengan jawaban yang tepat.
Oh god, why am i so stupid?
"Ya elah, gue cuman nebak kali. Emangnya bener, dia kecelakaan? Terus-terus? Gimana dong keadaan setelahnya?"
Kayla menghiraukan perkataannya, mengambil jalan aman untuk pura-pura tidak tahu akan semuanya. Walau sebenarnya ia sangat gugup saat ini.
"Ya, pokoknya kasihan lah. Gue turut prihatin sama kondisi nya sekarang. Kaki kanannya masih belum berfungsi, di gips. Padahal 1 minggu lagi tim futsal gue sama dia, ngelaksanain tournament antar SSB (sekolah sepak bola)."
Bagas dan Kayla masih terus berdialog. Dan setiap kata yang Bagas lontarkan, itu hanya membuat perasaan bersalah Kayla semakin menjadi-jadi. Sampai akhirnya, para osis melanjutkan acara. Menyuruh semua siswa masa orientasi untuk turun ke lapangan mengumpulkan sampah, serta tanda-tangan seluruh rekan osis.
Untung saja, Andira dan Mauren yang duduk beda 2 baris di belakang Kayla, tidak mendengar semua percakapan tadi, tidak melihat apa yang baru saja Kayla lakukan. Karena semuanya akan terasa aneh jika mereka berdua melihatnya.
Jujur saja. Inilah kali pertama Kayla memulai untuk berinteraksi kembali dengan seorang pria. Biasanya, Kayla hanya memandang benci ke arah pria manapun dan langsung mengambil alih semua sikap apatisnya. Hingga ia juga benar-benar tidak tahu, sampai kapan ia harus mengakhirinya.
*****
Mos hari ketiga selesai, jarum jam menunjukan waktunya pulang kerumah masing-masing. Kayla, Mauren, serta Andira berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu supir pribadi mereka datang menjemput. Ketika itupula, Bagas yang tadinya melajukan motor dari arah kiri sekolah, berhenti dan mematikan mesin motor tepat di depan mereka bertiga.
"O iya Kay, tadi gue lupa bilang." Bagas yang langsung bicara santai dengan Kayla, membuat kedua temannya heran menerka.
"Bilang apa?"
"Sebenernya gue cuman mau ngasih tau, kalau nanti malam gue pengen jenguk Rey dirumah sakit."
"Terus?"
"Terus lo mau ikut nggak?"
Andira dan Mauren masih belum berpaling, bingung. Kembali membulatkan mata ke arah Kayla dan Bagas yang sedang bicara. Begitupun dengan Kayla yang tidak kalah bingung nya. Ia bingung harus ikut atau engga. Ia bingung harus jawab apa saat ini juga.
Kalo gue nggak ikut, ya gampang. Gue masih bisa ketemu sewaktu dia masuk sekolah nanti.
Tapi gue mau ikut. Gue mau ngejenguk dia. Gue mau lihat kondisinya. Gue mau kenal dia lebih dalam lagi untuk nyelesain semua ini.
Kayla masih terus berkutat memikirkan batinnya yang terus berbicara.
"Yauda. Gue ikut."
Kedua teman Kayla, dengan cepat serentak melihat ke arahnya.
"Nah, yauda. Jawab gitu aja kok lama banget." Bagas meledek, senyum tipis.
Bagas memberikan ponselnya, "Nih, save nomor lo di ponsel gue."
Kayla melakukannya. "Sampai ketemu nanti malam." Bagas memakai helm yang dari tadi belum ia pakai, menyalakan mesin, dan kembali melajukan motornya.
"Kay?"
"Kay..."
Mauren dan Andira menyapa nya. Masih tercengang, aneh, mereka butuh penjelasan dari Kayla.
"Kenapa?" Kayla angkat bicara
"Lo nggak kenapa-kenapa kan?" Mauren memastikan, menaruh punggung tangannya di dahi Kayla.
"Ah apaan sih lo!" Sifat kasarnya keluar. Kayla menangkis tangan Mauren.
"Ya lagian lo aneh Kay. Gue tau sih lo emang satu kelompok sama dia, tapi setau gue lo cuek."
"Kenapa lo bisa jadi akrab gitu? kenapa lo berdua ngebahas tentang Rey Rey.."
"Reynand Demitrio bukan sih? yang dari kemaren nggak masuk."
"O iya bener, cowok tadi kan yang maju buat ngasih surat ngewakilin Reynand Demitrio."
Andira dan Mauren terus saja bicara seolah tidak sedang lagi bertanya. Tapi malah mengobrol berdua, asik bergumam akan pola pikirnya masing-masing. Kayla hanya bungkam, hingga akhirnya pak Rudi datang menjemput.
"Gue duluan." Kayla berjalan maju, memasuki mobil.
Ia membuka kaca mobilnya. Melambaikan tangan, seperti meledek.
"Woi tapi lo belom jawab pertanyaan kita!" Andira teriak bersuhut kesal. Mauren juga memasang wajah geram.
Tapi Kayla malah tertawa mengabaikan, untuk kemudian pak Rudi pun melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah.
***
YOU ARE READING
Seperti Musim yang Sementara [Completed]
JugendliteraturTepat ditengah malam mataku memejam Tapi tak ada yang kutemukan Debar juga binar saat irismu lenyap Entah karena kisah diantara kita yang telah lewat Atau esensiku bagimu yang tak lagi sama Aku menyelam diantara kalut pikiran Mencari jejak- je...