Dia adalah dia. Tak terlihat, namun samar dapat kau rasakan. Dia berbaur, menciptakan dia yang lain dari dia dan dia yang lain.
"Tentang rasa." Freya memandang lawan bicaranya. Teman masa kecilnya. Tampan, bertubuh tinggi yang selalu menjadi dambaannya itu.
"Freya.. tentang rasa itu mungkin seharusnya seperti sebelumnya. Seharusnya dia tak menciptakan rasa yang lain." Nando menatap Freya lekat-lekat. Dinding ruang keluarga Nando terasa seperti sedang menertawakan Freya.
"I know. I know that." Freya menarik nafas panjang.
"Nando.. Aku pergi." Freya berpaling. Meninggalkan Nando bersama dinginnya udara malam yang menerobos memenuhi ruangan itu. Entah kenapa teman masa kecilnya itu begitu menyakitkan.
Kau harus kuat, Freya. Kau bukan putri kerajaan yang memiliki cinta yang sempurna. Kau hanya gadis biasa yang mulai terbiasa melukai dirimu dengan cinta pada pangeran yang mencari seorang putri kerajaan. The fact, is not you, Freya!
Freya menutup buku harian berwarna ungu miliknya. Menatap sebuah foto dirinya dan Nando. "Do i call you mine?" Freya membiarkan cairan hangat dari matanya menetes. Bukan pertama kalinya.
"Just a little bit of your heart, Nando. Tak bisakah?" Freya bergumam. Seperti yang selalu ia lakukan. Bukan kebiasaan yang melukainya, hanya saja ia terbiasa melukai hatinya. Freya menyeret tubuhnya menuju jendela kamarnya. Menatap gelapnya malam dirumah Nando. Rumah mereka bersebrangan. Mereka cukup dekat untuk saling merindukan. Tentu saja, kalimat saling merindukanlah yang menyeret mereka semakin jauh.
Pintu kamar Freya yang berbentuk seperti pintu kerajaan itu terbuka. Rupanya Freya sengaja tak mengunci pintu kamarnya. Seorang gadis seusianya masuk melalui pintu megah itu.
"Maaf kelamaan. Kau tahu, aku masih menemani mama." Gadis itu menarik nafas panjang. Lalu melangkah mendekati Freya."Kamu baik-baik saja?" Gadis itu meletakan tas dan handphonenya pada meja belajar putih milik Freya.
"Maybe.." Freya memeluk gadis berparas cantik itu.
"Kamu cantik." Freya tersenyum. Gadis itu berdiri di depan cermin dan tersenyum penuh kemenangan.
"Mungkin sekarang your Mirror on the wall akan mengakui aku, Lensy Diane lebih cantik dari seorang Freya yang cengeng." Lensy tertawa.
"No.. mirrorku selalu akan melihat aku yang tercantik." Freya mengedipkan mata kirinya.
"Tapi kamu benar-benar cantik, Lensy." Freya memperhatikan sahabatnya itu.
"Of course, my lady. Don't You forget about the beautiful mermaid." Lensy berbicara seperti seorang putri kerajaan
Bukan hal yang aneh bukan jika kami masih menyukai sesuatu tentang princess? Semua gadis pasti mengharapkan menjadi seorang putri. Kau akan terlihat luar biasa saat kau menjadi seorang putri.
"Apa aku benar-benar terlihat cantik malam ini?" Lensy memperhatikan tampilan dirinya di cermin.
Lensy mengenakan dress biasa berenda putih tanpa lengan dengan corak emas di bagian dada dan bawahan dress. Rambutnya digerai dengan makeup yang normal. Bukan Lensy yang biasanya memang. Mungkin itulah yang membuat Lensy terlihat sangat cantik.
"Ya. Pertahankan penampilanmu, mungkin pangeranmu akan segera datang." Freya tertawa lepas.
"Ya.. Tentang pangeran... can you just tell me something without i ask you to?" Lensy mendekati tempat tidur, tempat Freya sejak tadi berbaring.
"Ya.. Nando benar-benar tak mencintaiku lagi. So, am i crazy? Karena aku benar-benar ingin memeluknya sekarang." Freya menghembuskan nafas panjang. Pasrah pada keadaan.
"Um.. you can hug me, you know that." Lensy tak tahu harus berucap apa.
"Ya.. thanks" Lensy benar-benar seperti tak berguna.
"Um.. why you said he don't love you?"
"Sorry.. i just really wanna know." Lensy semakin bersalah.
"Freya.. tentang rasa itu mungkin seharusnya seperti sebelumnya. Seharusnya dia tak menciptakan rasa yang lain." Freya memberatkan suaranya. Menirukan gaya bicara Nando.
"Just like that?" Lensy berteriak.
"Just like that!" Freya mengulang perkataan Lensy dengan nada yang berbeda.
"So, can you figure it out for me?" Freya menutup pintu kamarnya. Mencoba meredam suara Lensy yang terkesan sedang mengajaknya bertengkar itu.
"Sebenarnya itu tentang rasa yang mana yang lebih dahulu hadir. You know, like.." Lensy mencoba memutar otaknya. Lensy memang ahli dalam hal memikirkan berbagai kata.
"Jadi dia tak pernah menyalahkan cinta." Lensy menatap Freya lekat-lekat.
"What?" Freya terlihat kesal. Lensy menyukai saat dimana ia mampu memikirkan segala kemungkinan. Disisi lain, Freya yang menantikan pendapatnya akan kesal karena Lensy enggan membagikan sesuatu itu secara langsung. Lensy mengambil tas dan handphonenya, melangkah kedepan kaca.
"Mungkin dia menerima kehadiran cinta. Tapi dia menolak sesuatu yang ia terima oleh cintanya." Lensy berasumsi.
"Mungkin penolakan. Mungkin juga sesuatu seperti teman? Kau yang menciptakan itu, Freya." Lensy tersenyum puas. Ia merasa memecahkan suatu masalah. Lensy menganggap dirinya seperti Detektif Conan yang mempunyai otak cerdas.
"Ok, see you tomorrow my love." Lensy melangkah meninggalkan Freya tanpa ada persetujuan dari Freya. Itulah Lensy. Ia selalu berbuat sesukanya.
"Jadi.. dia hanya menyesali penolakanku? Dia tak bermaksud menolakku? Atau ini harapan lain yang aku ciptakan karena masih mencintainya?" Freya bergumam.
Hy. Sebelum terlalu dalam menceritakan tentang gadis yang memimpikan cinta teman kecilnya itu, bisakah kalian fokus padaku? Ya. Aku gadis biasa berusia 17 tahun yang mengulangi kisah cintaku berulang kali. Bosan? Tidak juga, memikirkannya membuatku semakin merindukan dia. Ya, dia yang pernah tersenyum tulus padaku. Aku hanya ingin berteriak pada Fernando Leman bahwa Aku adalah putri yang kau cari ! I am Freya Keen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Shouldn't come back
RomanceKita pernah saling mengejar. Saling mendapati, saling menghancurkan. Lalu kembali memeluk cinta. Rentetan itu berulang terus menerus. Aku, Freya Keen dan dia, pria yang ku harapkan, Nando Leman. Kita memeluk rasa namun tak merasakan rasa. Karena aku...