Part 4

34.1K 802 9
                                    

Dani tidak dapat melupakan kejadian minggu lalu, dimana Namira mencium bibirnya, Namira benar-benar membuatnya gila. Anehnya, setelah kejadian itu, tidak ada yang berubah dengan hubungan mereka. Namira dan dirinya masih seperti dulu. Tidak ada yang spesial, masih seperti sahabat, dan tidak ada ciuman-ciuman berikutnya.

Dani menyenderkan tubuhnya di kursi kerjanya, apa yang dimilikinya dengan Namira kini adalah segalanya baginya. Namira tidak dapat ditukar dengan apapun. Ia sadar, perlahan, ia mulai mencintai gadis itu. ia mulai menikmati kehadiran Namira dalam kehidupannya.

Dengan cepat, ia menekan tombol-tombol di handphone nya.

“Hai, Nam. Lagi apa kamu?” Tanya Dani di telfon dengan istrinya. Memikirkan Namira membuatnya kangen pada istrinya itu.

“Aku lagi belanja bulanan nih, aku nggak sadar ternyata udah pada abis. Kamu mau titip sesuatu?”

“Lunch bareng yuk? Aku susul kesana ya? Tempat yang biasa kan?”

“Loh, emangnya kamu nggak kerja?”

“Tunggu aku lima belas menit lagi ya.”

~

“Dan, menurut kamu, aku harus kerja nggak sih?” Tanya Namira sambil melahap nasi hainamnya yang tadi ia pesan.

Hanya dalam waktu lima belas menit, Dani sudah dapat menghampiri Namira yang sedang belanja bulanan itu, dan kini, mereka sedang makan siang bersama di restoran yang sudah beberapa kali menjadi langganan mereka untuk makan siang bersama.

“Loh, ada apa? Kamu butuh uang, Nami?” Tanya Dani penuh perhatian. Dani menghentikan makannya, menatap Namira lekat-lekat. Apakah istrinya itu butuh uang? Namira Selama ini tidak pernah meminta apapun darinya, setiap mau diberi uang bulanan, Namira juga selalu menolak.

“Nggak kok. Aku nggak butuh apa-apa. Cuma kan, tabunganku selama sebelom nikah sama kamu lama-lama bisa abis juga. Dan aku kayaknya nggak enak, semua pengeluaran kita di apartemen, listrik, telfon, belanja bulanan, makan, jajan, semuanya, kamu yang penuhin. Dan aku kan juga nggak mungkin minta sama Ayah Ibu lagi.” Jawab Nami perlahan.

“Cuma karena itu?” Tanya Dani yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Namira. “Kamu nggak usah khawatir, Nami. Sekarang, kayaknya kamu pelan-pelan udah harus mulai tau tentang pekerjaanku.” Dani tampak mengeluarkan handphone dari saku kemejanya. Ia sibuk menekan-nekan tombol di handphone nya. “Aku rasa, sebagai istri, kamu perlu tau pendapatanku setiap bulan, supaya kamu nggak usah khawatir tentang hal yang nggak seharusnya kamu pikirin, Nami.” Dani menunjukan handphone nya pada Namira. “Ini pendapatanku selama sebulan, dalam setahun, kamu bisa bayangin sendiri kan berapa yang ku dapet? Belom ditambah thr, lembur, dan tunjangan lain dari kantor.”

“WOW!” pekik Namira sangat terkejut saat membaca deretan angka yang terpampang di layar handphone Dani. Pantas saja Dani sangat loyal, gajinya sebulan bisa dipakai untuk satu tahun kebutuhan kehidupan mereka.

“Jadi, kamu nggak usah capek-capek kerja ya? Biar aku aja yang cari nafkah untuk keluarga kita.”

Hati Namira bergetar saat Dani mengucapkan ‘keluarga kita’, itulah mereka yang sebenarnya. Sebuah keluarga kecil, yang cukup bahagia dengan kehidupan mereka. Namira buru-buru menunduk untuk menghilangkan kecanggungannya.

“Kalo kamu mau apa-apa, kamu juga nggak usah canggung minta ke aku ya. Apapun yang kamu butuhin, apapun yang kamu mau, insya Allah pasti aku kabulin.”

“Makasi banyak ya, Dan.” Ucap Namira sambil menggenggam jemari Dani. “Oh iya, besok, Ayah sama Ibu ngajak kita nginep di rumahku. Mumpung week end, kamu mau?”

Are We A Couple?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang