17

4.3K 471 13
                                    

"Jadi kesimpulannya adalah, kau menawariku bergabung?" tebak Lisa, diiringi dengan anggukan Jisoo sekaligus Irene di sampingnya.

Perlahan fakta mengenai Irene adalah sang leader dan Jisoo adalah orang kepercayaan sang leader terkuak olehnya.

Lisa menampakkan wajah tidak percaya yang dibuat-buat. "Ya Tuhan, benar-benar kau ini. Dengarkan aku, walaupun aku berlatih muay thai selama 5 tahun bukan berarti aku dapat membinasakan musuh-musuhmu."

Dia mengoreksi perkataannya. "Ralat, musuh-musuh bosmu."

"Oh ayolah, Manoban, kau sudah mengetahui tentang identitas Rosé sebenarnya. Karena itu dia membawamu kesini. Plus, kau adalah kenalannya. Dan ya, baginya kau bukan temannya, kau hanya seorang kenalan. Teman Rosé adalah kami."

Lisa melipat kedua lengannya di depan dada sambil bersandar santai di sofa yang ia duduki. "Lalu apa yang dilakukan nanti? Membunuh orang dan mendapat gaji? Yang benar saja."

"Hei, jaga ucapanmu, Nona Manis."

"Manis? For your information, aku ini asin, coba kau jilat jariku rasanya pasti asin. Kau juga asin. Aku bukan gula, aku ini manusia."

Jisoo dan Irene memasang wajah datar. Perempuan dihadapan mereka antara terlalu polos atau bodoh. "Lisa, apa kau sudah meminum obatmu?" tanya Jisoo sudah biasa dengan sikap bodoh Lisa.

"Obat? Aku tak sakit apa pun."

Irene menepuk jidatnya mendengar jawaban Lisa. Lalu perempuan itu—Lisa—tertawa keras. "Hei, aku hanya bercanda. Aku tidak sebodoh itu."

Lisa melanjutkan perkataannya. "Baiklah, baiklah. Aku dibayar berapa untuk ini? Aku tak ingin membuang tenagaku sia-sia."

Dia bisa saja mencari uang tanpa bantuan orang tuanya. Dan keinginannya untuk membayar biaya perawatan Yanika telah hangus karena Jungkook sudah membayarnya sejak awal. Dia seperti seorang pekerja keras, ingin melakukan sesuatu dengan caranya sendiri, karakter mandiri.

Irene menyunggikan senyumnya. "Masalah itu serahkan padaku. Sekarang yang perlu diperhatikan, apa-apa yang harus kau pelajari dan yang kau ketahui, Nona Manis. Kalau soal itu serahkan pada Joy."

Tiba-tiba suara ceklek pintu mengalihkan perhatian mereka. Pintu terbuka menampilkan seseorang berperawakan tinggi, dan sedikit mirip dengan Lisa sendiri.

"Ikutlah dengannya," perintah Irene. Pandangan Lisa beralih pada Jisoo dan dibalas dengan anggukan pelan.

Mereka tiba pada ruang besar yang di setiap sisi dan sudutnya berwarna putih. Dinding dan langit ruangannya pun berwarna putih bersih. Di tengah ruangannya terdapat sebuah tempat untuk berbaring dan ada perabotan rumah sakit didekatnya. Lisa tidak mengerti apa maksudnya itu, kelihatannya sedikit mencurigakan.

"Berbaringlah," ucap Joy mulai sibuk dengan peralatan-peralatan kesehatan serta sebuah kapsul yang berisi cairan kekuningan. Lisa melihatnya. "Bukankah itu bius?" tanya Lisa duduk dikasur menyimak.

"Aku bilang berbaring, Lalisa." Joy sedikit menekankan katanya.

Perempuan itu hanya mengedikkan bahu dan melakukan apa yang Joy suruh. Ia merebahkan tubuhnya dan meluruskan kedua lengannya di sisi tubuhnya.

"Ini akan sedikit sakit, tahanlah." Lisa baru saja akan bangun namun suatu belenggu menyegelnya.

Alhasil, tangannya pun tak dapat bergerak karena tertahan oleh belenggu entah terbuat dari apa karena begitu kuat. Lisa menggerak-gerakkan tangannya yang tersegel.

"Apa maksudnya ini?!" tanya Lisa dengan wajah muram.

Kaki Lisa pun disegel oleh Joy.

Lisa berteriak keras, "APA YANG KAU LAKUKAN!" Dia memberontak. Bergerak kesana kemari, bahkan sampai ranjang itupun ikut bergonjang-ganjing. Tapi tetap belenggu itu tak dapat dilepaskan.

Joy tidak berani menatap netra hazel Lisa yang bercahaya-cahaya. Mulut gadis itu pun disumpal oleh kain hitam.

Ia benar-benar tak mampu melepaskan belenggu tersebut, ataupun berteriak. Lagipula, siapa yang ingin membantunya kalau memang itu syarat seseorang masuk ke organisasi itu? Sudah sejak awal dilakukan. Semuanya bernasib sama, Joy, ataupun Jisoo, ataupun Irene, Seulgi, Jennie, dan bahkan Rosé.

Dia berteriak samar-samar karena mulutnya yang tersumpal oleh kain hitam.

Dia berteriak nama Jungkook. Memang nama itu yang selalu hadir dipikirannya. Dimanapun dan kapanpun. Dan mungkin, nama itu adalah nama terakhir yang Lisa sebut sebelum seluruh ingatannya hilang.

Joy menempelkan benda—entah apa itu—pada kedua sisi pelipis Lisa. Ada kabel yang menghubungkannya pada sebuah monitor. Sepertinya monitor itu adalah layar untuk melihat semua kenangannya. Lisa hanya dapat memberontak tapi tak bisa melepaskan dirinya dari belenggu itu.

Joy melepas kain yang menyumpal mulut Lisa agar perempuan itu berbicara sebelum Joy memulai pekerjaannya.

Joy berkata penuh penyesalan. "Tolong maafkan aku, Lalisa."

Ia benar-benar merasa bersalah pada Lisa. Karena dia melakukannya atas perintah orang lain. Bukan kemauannya sendiri.

Joy melanjutkan perkataannya. "Tapi, kurasa kau tak akan ingat permintaan maafku ini. Tolong tahan sejenak. Bayangkan saja orang-orang yang kau sayangi saat proses berlangsung."

Lisa berkata sedikit keras. "Aku takkan melupakan ibuku. Aku takkan melupakan Paman Lucian. Aku tak akan melupakan Jungkook, asal kau tahu. Aku takkan lupa namanya. Jeon Jungkook. Jeon Jungkook. Jeon Jungkook."

Joy memasangkan kembali kain itu untuk menyumpal mulut Lisa karena proses Menghapus Kenangan akan segera berlangsung.

Memang tak ada yang lebih buruk daripada hilangnya ingatan. Seluruh kenangan hilang, rasanya kau harus membuat kisah barumu. Untuk orang yang putus asa, dia akan memilih bunuh diri. Terlebih lagi saat orang yang ia kenal tak berada di sisinya.

Rasanya seperti kehilangan arah.

Lisa—gadis itu sadar sepenuhnya dan hanya dibius lokal. Joy baru saja akan memulai pekerjaannya.

Joy menerapkan setruman pada pelipis Lisa. Ketika Joy menstimulasi satu bagian, seketika Lisa melihat bentuk-bentuk, warna-warna, dan tekstur-tekstur. Tapi itu hanya permulaan.

Saat setruman itu menyentuh pelipisnya, seperti disengat oleh lebah. Namun sakit itu semakin membesar.

Dan jangan lupakan setruman itu memasuki area otak Lisa. Sungguh sakit, seperti sebuah api sedang membakar otaknya. Dia merasakan sensasi tertentu pada bagian kakinya.

Matanya terbuka lebar. Dia menggigit kain yang menyumpal mulutnya untuk menyembunyikan teriakannya. Bayangkan saja, aliran listrik menyetrum bagian otaknya. Tapi itu tidak mematikannya, malah menyiksanya dengan waktu yang cukup lama.

Setetes bening keluar dari mata indah miliknya. Joy yang melihatnya segera mengusapnya lembut dengan kapas. Lalu setelah itu, mata indah milik Lisa tertutup sepenuhnya. Joy menyudahi proses itu dengan melepaskan alat-alat yang menghubungkan kedua pelipis Lisa dengan sebuah monitor.

Langkah kedua adalah memindahkan memorinya. Tentu saja karena memori itu seperti sebuah data yang dapat ditempatkan. Tapi itu dibutuhkan space yang sangat luas untuk memori manusia. Dan ya, pasti sebagian memorinya akan hilang.

"Sudah kukatakan, ini sangat sakit. Kau salah yang kuat disini. Biasanya, orang biasa akan segera tewas. Atau yang lebih parah, tubuhnya terbakar seluruhnya hingga hangus. Hilang dari dunia ini. Menyeramkan, bukan? Aku beruntung termasuk salah satu gadis kuat itu. Kau juga beruntung, Lalisa."

Joy berbicara pada Lisa walau gadis itu tak dapat mendengarnya.

Dia memasukkan memori Lisa pada sebuah chip yang ia siapkan sedari tadi. "Lihat ini, aku tidak membuang memorimu. Kau harus berterima kasih."

Joy menatao wajah Lisa. "Okay, kau terlihat seksi dengan rambut hitam dan kulit pucatmu." Joy benar-benar gila karena dia berbicara pada orang yang bahkan belum sadar.

"Sekarang, istirahatlah dengan tenang. Suatu hari kau akan mengingat kembali segala yang telah kau pelajari, lalu seketika mengakses setiap bagian dari sejarah hidupmu. Kau akan menjadi manusia yang efisien, berwawasan, dan tercerahkan. Tapi aku bingung akan suatu hal. Apa kau akan tetap layak disebut manusia?"

© kakeisu

FugitiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang