i.

2.6K 276 16
                                    



Wangi lavender menusuk indera penciuman sesaat ku memasuki ruang makan. Ibu sangat menyukai bunga itu, katanya wangi lavender mengingatkannya kepada ayah.

Ku tatap sendu tubuh Ibu yang sedang memasak, diusianya yang hampir memasuki kepala lima, Ibu masih terbilang bugar dan awet muda.

Perginya Ayahku masih menjadi misteri. Tidak ada yang lihat ataupun tau kemana arah tujuan lelaki tua itu. Yang kutemukan adalah sepucuk puisi yang terlihat dibuat terburu-buru dan tak rapih, tapi aku tetap menyimpannya, berharap puisi itu akan membawa Ayahku pulang.

Aku terlahir dari keluarga yang sangat biasa, tidak punya mobil ataupun televisi. Ibuku bekerja sebagai penghias kue dan aku sendiri masih duduk di bangku SMA. Karena ekonomi yang sulit, aku memutuskan untuk bekerja sampingan di salah satu penitipan anak disebrang jalan.

Biasanya, sepulang sekolah aku akan duduk di pohon belakang sekolah dan mengamati seseorang. Lelaki dengan rambut hazel dan mata setajam elang, senyuman menawan dan tubuh mempesona. Aku tidak pernah berani untuk berbicara padanya, sekedar melihat jarak dekat saja aku takut. Batasku hanya sebagai pengagumnya, dan cintaku pantas bertepuk sebelah tangan.

"Ggukie," suara lembut Ibu membawaku kembali ke kenyataan, tangannya perlahan-lahan menyentuh tanganku yang terletak diatas meja makan. Aku tersenyum kecil ketika melihat Ibu mulai melahap sarapannya, aku sangat senang dapat melihat Ibu bergembira seperti ini.

"Bagaimana sekolahmu?" aku hanya menganggukkan kepala, dan ia pun tersenyum.

"Masih mengintai kakak kelasmu itu?" tentu saja, Ibu tau tentang orang itu. Karena kekurangan teman, aku tidak punya pilihan lain selain mengadukan semua perasaanku kepada Ibu.

"Bukan mengintai" aku memajukan bibirku sebal, yang hanya dibalas kekehan gemas dari Ibu.

"Ibu akan selalu mendukung semua yang kau lakukan Ggukie, ingat itu" ia menatapku dalam, tangannya mengelus kepalaku sayang.

"Aku harus pergi, ada tamu penting pagi ini." ia menyeruput teh lavender itu sampai tandas, dan aku pun mengangguk.

"Aku juga harus berangkat sekolah." aku bergumam kecil, melihat Ibu yang mulai memakai sepatu didepan pintu.

Aku mengambil piring kami berdua dan menaruhnya di tempat cucian, ku dengar seruan 'hati-hati' dari Ibu dan selanjutnya ku dengar suara pintu tertutup.

Aku menghela nafas, berjalan ke arah sofa berwarna abu-abu disamping pintu, mengambil earphone yang tergeletak di atas meja dan memakai tasku disatu pundak. Belum sempat ku keluar rumah, bisaku dengar teriakan dari sahabatku yang mengajak berangkat kesekolah. Aku tersenyum, mencoba terlihat antusias akan pergi ke gedung yang sudah berumur itu.

"Pagi kook" Jimin bersiul pelan, mengeratkan tas punggungnya yang terlihat sedikit melorot tadi. Aku tertawa pelan, tanganku mengunci pintu dengan cepat, kemudian menaruhnya kembali di bawah karpet.

"Aku punya kabar bagus untukmu" Jimin berbicara sesaat kami mulai berjalan, aku menoleh kearahnya dengan muka penasaran.

"Kau masih suka menulis puisi kan?" aku sontak mengangguk dengan cepat dan Jimin tersenyum.

"Aku menemukan kertas pemberitahuan kemaren sore, katanya sekolah akan mengadakan lomba menulis puisi. Dan aku tau pasti hadiahnya akan sangat besar kook, itu bisa membantu keuanganmu. Dan yang terpenting adalah juri—" ia berceloteh panjang lebar, namun aku menemukan diriku mengabaikan semua omongannya.

Mataku terbelak kaget dan seketika pipiku memanas, aku langsung bersembunyi dibalik punggung Jimin yang ikut terkejut akan aksiku.

"Apa yang kau lakukan?" Jimin berseru dan aku membekap mulut nya dengan tanganku. Jimin kemudian terdiam, ia berbalik dan menaik-turunkan alisnya padaku jahil.

"Kau tidak ingin menyapanya kookie?" ia menggodaku, tangan kecilnya mulai mendorong-dorong tubuhku kearah orang itu.

"Ayolah," kemudian ia menarikku menuju orang itu, orang yang sedang bersandar di dinding kokoh dengan mata yang terfokus kepada tablet ditangannya.

Tanpa aku ketahui, kami sudah berada didepannya, pipiku kembali bersemu dan aku memberontak akan genggaman Jimin yang tak kunjung lepas.

"Kak," orang itu mengangkat kepalanya, memasukkan alat elektronik itu kembali kedalam saku celananya dan menatap kami dalam.

"Ada yang bisa aku bantu?" suaranya terdengar serak, mungkin efek karena terdiam selama bersandar tadi.

"Temanku ini tertarik untuk mengikuti lomba puisi." aku membulatkan mataku, dengan secepat kilat kuinjak kaki orang disebelahku, yang mengaduh kesakitan setelahnya.

Kakak itu tertawa, tangannya mengusak rambutnya hingga berantakan.

"Ohiya?" ia mengalihkan pandangannya kepadaku, dan akupun tertunduk malu.

"Siapa namamu?" mulutku serasa terkunci rapat-rapat, tanganku mulai memainkan ujung sweaterku gugup.

"J-jungkook"

"Baiklah Jungkook. Kau boleh kekelasku untuk memberikan puisimu," kakak itu tersenyum manis. "Aku tunggu karyamu."

biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang