Sebastien Alvord menengadah, merasakan hembusan angin musim dingin yang tak kunjung usai. Disaat semua orang selalu mendambakan salju turun dengan cantiknya dan memenuhi kota, baginya itu hanyalah sebuah gumpalan es yang hanya menghambatnya dalam beraktivitas. Mengapa salju ini begitu mengganggu? Batin Sebastien.
Sudah cukup lama Sebastien bekerja menjadi seorang bartender semenjak ia menjajakkan kaki di Florida. Mempermainkan shaker dengan kedua tangan dan ekspresinya sudah menjadi daya tarik yang membuat pengunjung–terlebih kaum hawa–tak akan jenuh kembali untuk mencicipi cocktail buatannya. Memiliki paras tampan bak Zeus dan suara yang jernih memikat, salah satu alat perang ketika Sebastien menarik hati para pelanggan. Ramah? Murah senyum? Ya, itulah Sebastien selama ia bekerja. Namun, jangan berharap mendapatkan senyuman tulus 5 watt saja dari bibir seksi miliknya jika diluar bar. Katakan ia cukup munafik untuk berbagi senyum, tapi itulah dia. Seperti memiliki kepribadian ganda yang sulit untuk ditebak.
Sebastien berjalan menelusuri pusat perbelanjaan berharap menghilangkan kepenatan selama seminggu terakhir. Malam ini Sebastien tidak ingin bekerja, walau ia tahu betul Timoth–manager di bar tempatnya bekerja–pasti akan mencari dan menyeretnya kembali bekerja. Sebastien tidak perduli hal itu, yang ia inginkan hanya menenangkan pikiranya dari sosok wanita yang terus muncul dalam mimpi buruknya. Ah, bodoh harus teringat hal itu lagi. Maki Sebastien lebih kepada pikirannya.
Sebastien memasuki rumah makan yang terkesan sangat sederhana, dengan dua pelayan wanita paruh baya dan satu pelayan wanita muda. Sebastien duduk di sudut ruang, tempat ia biasa memanjakan diri dengan Florishin Steak dan mochaccino hangat. Tapi tidak untuk saat ini. Sebastien datang untuk sekedar menenangkan pikiran dari segala masalahnya. Memang masalah apa?
Pelayan muda itu mendatangi Sebastien segera setelah ia mengangkat tangannya. Senyum ramah tersungging dibibir wanita tersebut. “Hey Tuan Sebastien. Malam ini kau terlihat semakin tampan. Apa yang ingin kau pesan? Florishin Steak?” Sapa pelayan tanpa jeda sedikitpun.
“Em.. Tidak”
“Mochaccino?”
“Tidak juga.”
“Okay. Lalu apa yang anda inginkan?”
“Bagaimana kalau saya memesan anda?” Tanya Sebastien dengan wajah polos tak memiliki dosa.
“APA?!” Cukup keras suara yang dikeluarkan oleh pelayan muda tersebut hingga pelanggan lain melihat ke arah mereka. “Ehm, maaf. Jika tuan Sebastien ingin memesan saya, harga yang tuan bayar sangatlah tinggi. Mungkin seorang bartender profesional seperti anda pun tidak akan mampu membayarnya.” Lanjut pelayan itu dengan senyum yang dipaksakan.
“Menarik. Tapi aku sedang tidak ingin bercanda. Tolong temani aku disini.” Pinta Sebastien dengan mengeluarkan ekspresi memikatnya.
“Haha. Anda bergurau? Saya dibayar untuk bekerja, bukan untuk menemani tuan disini.” Jawab Pelayan muda itu sekenanya. “Jadi, kalau tidak ada yang tuan inginkan, saya izin undur diri untuk melayani pelanggan lain. Selamat malam.” Pelayan itu berbalik dan meninggalkan Sebatien tanpa membiarkannya berbicara sedikitpun.
Sebastien tertawa sumbang. Menurutnya pelayan itu sangat menarik, tapi tidak cukup untuk menjadi bagian dari target wanita incarannya. Salah satu kebiasaan buruk Sebastien adalah menggodai seluruh wanita di depan mata. Tapi Sebastien masih cukup normal untuk membedakan wanita muda cantik dan wanita yang sudah dikategorikan tua kendur.
Sebastien mengedarkan arah pandangnya ke seluruh isi rumah makan itu. Tidak ada yang menarik perhatiannya. Hanya orang yang belalu lalang. Tak ada yang menarik.
Ting. Bunyi bel menandakan pintu terbuka. Pelanggan baru datang. Wanita berambut cokelat sebahu, menggunakan mantel kulit yang terbilang cukup mahal dengan syal putih melingkar dilehernya menambahkan kesan elegant pada wanita tersebut.
Manis. Itu kesan pertama yang didapatkan Sebastien ketika melihatnya.
Ah, wanita itu tidak sendiri. Ia berdua dengan temannya. Rambut blonde panjang yang terjuntai bebas, menggunakan dress selutut dan dibalut mantel bulu. Dan... Bulat. Apakah 36C? Naluri brengsek Sebastien keluar tak tertahan.
Tidak. Oh tidak Sebastien. Ia merutuki dirinya sendiri. Sebastien datang ke sini untuk menenangkan pikirannya. Bukan untuk berfantasi ria dengan pikiran kotornya. Untuk kesekian kalinya Sebastien memaki diri.
***
“Ayolah, Karly! Jangan berharap kita mendapat tempat jika sudah terlalu larut. Meski tempat makan itu terlihat tua, tapi tidak akan kehabisan pelanggan.”
“Baiklah, baiklah. Tapi kaki ku hanya ada dua, tidak ada cadangan, aku sulit berlari dengan kaki yang terkilir.” Karly terlihat pincang dengan kakinya yang menggunakan boots hitam berbulu. Ia cukup terhatih-tatih untuk mengimbangi langkah Jane–sahabat lama Karly–tanpa mendapatkan bantuan. “Apakah masih jauh? Sepertinya aku membutuhkan bantumu, Jane.” Lanjut Karly.
“Tidak. Ini dia rumah makan yang aku maksudkan itu. Rumah makan yang paling enak seantero Florida.” Senyum Jane puas membanggakan. “Ayo masuk.”
Ting.
Jane melangkah masuk lebih dahulu. Tapi Karly tidak, ia perlu memperbaiki cara jalannya agar tidak mempermalukan Jane dan terlebih dirinya sendiri didalam sana. Oke, siap. Batin Karly memantapkan.
Karly memasuki rumah makan. Mengikuti arah Jane. Perabotan dan aksesoris yang terlihat cukup sederhana, rangkaian bunga yang menghiasi beberapa dinding, foto yang terkesan abstrak pun jua terpampang di atas sana. Tidak terlalu buruk.
Sepertinya pria itu memandangiku. Atau hanya perasaanku saja? Dan.. Oh astaga, apakah aku mengenalinya? Dia seperti... Kalry merasa bingung. Seperti ada yang berlalu-lalang dalam pikirannya.
“Hey Karly! Kemarilah duduk. Jangan berdiri saja.”
Karly terlonjak kaget dan tersadar dari lamunannya, seperti orang bodoh yang hanya berdiam diri meratapi kehidupan. Ia menarik kursi untuk ia duduki. Namun, ia masih merasa ada sesuatu yang janggal disini, terlebih pria itu. Ingin rasanya bertanya, apakah harus? Karly memilih bungkam dan memesan makanan. Menahan diri untuk bertanya lebih jauh.