41 | Ricuh (5)

132 16 10
                                    

Panca dan Ayu bernapas lega setelah posisi mereka sudah cukup jauh meninggalkan gedung Panembrama Entertainment. Panca yang semula santai menghadapi sekuriti juga ikut merasa tegang setelah sekuriti hampir saja menggagalkan rencana rahasia mereka. Sambil dengan santai mengemudi, Panca berusaha menormalkan jantungnya yang berdetak kencang sekali. Begitupula dengan Ayu yang merasakan hal sama. Karena masih takut ketahuan, kepalanya terus menengok ke belakang, memperhatikan pos sekuriti yang tampak menjauh—khawatir jika sekuriti mengikuti dan menangkap basah mereka yang sedang 'menculik' produser Panembrama Entertainment. Beruntung kekhawatiran Ayu tidak terjadi. Tak ada satupun sekuriti yang mengejar mereka sampai saat ini.

"Cepat lepaskan tanganmu dari kepalaku!" Suara berat seseorang terdengar tertahan. Ayu sempat bingung lalu memandang Panca seraya bertanya 'suara siapa itu?' Setelah beberapa detik berlalu, Ayu baru sadar dengan posisi tangannya. Mata Ayu terbelalak saat melihat ke bawah. Kepala Panji sudah berada pada bagian bawah belakang kursinya dengan posisi yang mengenaskan, membungkuk hampir mencium karpet alas kaki mobil.

"Ah! Maaf, Mas Panji! Maafkan aku!" pekik Ayu yang cepat-cepat melepaskan tangannya dari kepala Panji, kemudian mendekap tangannya sendiri di depan dada.

Panji menegakkan tubuhnya perlahan, lalu menatap tajam Ayu dengan mulut terkatup rapat sebelum akhirnya... "Berani-beraninya kau menyentuh kepalaku yang terhormat! Kau sudah membuat kepalaku lebih rendah dari tempat dudukmu! Kau tidak sadar? Hah!" cerca Panji marah-marah.

"Maaf, Mas. Tanganku refleks sewaktu melihat kepala Mas Panji tiba-tiba muncul. Aku bukan bermaksud tidak sopan. Aku terpaksa melakukannya agar sekuriti tidak mengetahui kalau kita sedang membawa Mas Panji," jelas Ayu panjang lebar sambil terus berdoa Panji tidak murka padanya. "Maafkan aku ya, Mas," lanjutnya dengan menempelkan kedua telapak tangan memohon pengampunan.

Dari posisi mengenaskan itu, Panji kembali duduk bersandar di kursinya, merapikan pakaian beserta segala properti yang ia kenakan. Penampilan Panji yang terlihat 'berbeda' menjadi sedikit berantakan karena ulah Ayu yang sungguh membuatnya jengkel. Setelah itu, Panji menatap Ayu dengan raut tegang yang masih nampak di wajah imutnya.

"Oke! Aku maafkan! Kau puas?" ujar Panji membuat raut tegang Ayu menghilang. Senyuman manis kini terpatri jelas di wajahnya yang sudah kembali ceria. "Tapi, kalau kau berani mengulanginya lagi maka aku tidak..."

"Aku janji!" potong Ayu sambil jarinya membentuk huruf V. "Aku tidak akan mengulanginya lagi. Terima kasih, Mas Panji!" Dengan riang, Ayu kembali memposisikan duduknya dengan benar.

Perasaan was-was saat menghadapi sekuriti dan takut akan dimarahi Panji membuat energi Ayu terkuras. Ayu merogoh tas di pangkuannya untuk mengambil botol minum, kemudian meneguk air minumnya untuk menenangkan diri. Dalam waktu yang sama, Panca menoleh pada Ayu. Dengan cepat, Panca melepaskan tangan kirinya, lalu merebut botol air minum Ayu.

"Uhuk! Uhuk!" Ayu tersedak. "Mas Panca apa-apaan?" tanya Ayu marah sambil terus terbatuk-batuk. "Airnya jadi menciprat kemana-mana!"

"Aku haus," jawab Panca singkat, tidak menghiraukan Ayu dan tidak melepaskan pandangannya dari jalanan. Air dalam botol Ayu diteguknya hingga habis. Setelah melepas dahaganya, Panca mengembalikan botol minum pada Ayu tanpa sedikitpun merasa bersalah.

"Sudah merebut seenaknya, sekarang malah dihabiskan!" sungut Ayu tidak terima dengan perlakuan Panca. Ayu memasukkan kembali botol minum ke dalam tas sambil terus menggerutu.

"Untung saja kita bisa kabur dari sekuriti. Kalau tidak, rencana rahasia kita bisa berantakan," tutur Panca dengan tetap menjaga fokus menyetir.

"Salahmu sendiri," timpal Panji. "Siapa yang menyuruhmu meladeni sekuriti mengobrol di pintu gerbang? Kau jadi kerepotan sendiri 'kan?"

"Itu namanya basa-basi, Mas. Dia bisa curiga kalau aku tidak meladeninya. Mas Panji sendiri yang bilang kalau kita harus merahasiakan rencana ini dari orang-orang."

"Ya rahasia. Aku tidak mau ada seorangpun yang melihatku dengan penampilan konyol seperti ini. Dan lagi, mengapa aku bisa menurut dengan idemu? Jelas-jelas ini bisa merusak reputasiku sebagai seorang produser Panembrama Entertainment yang terkenal dengan style-nya yang keren!"

"Semua ini demi Mas Judo, Mas Panji." Panca kembali mengingatkan tujuan utama rencana rahasia.

"Aku tahu! Aku tahu!" sahut Panji. "Sudahlah! Jangan mengobrol lagi! Lebih baik kau menyetir dengan benar saja!"

"Aku sudah menyetir dengan benar, Mas. Tenang saja. Nilai ujian menyetirku tertinggi dari peserta yang lain. Aku langsung lulus mendapat SIM A dalam satu kali ujian," balas Panca menyombongkan diri. "Mas Panji tidak perlu khawatir soal itu."

"Maksudnya bukan itu!" seru Panji menahan kesal. "Yang kumaksud adalah mengapa kau menyetir lambat sekali? Mau sampai kapan kita tiba di rumah Judo kalau jalannya seperti siput begini?" lanjut Panji membuat Panca melirik sekilas jarum speedometer yang menunjuk pada angka 20 kilometer per jam.

"Ini juga salah satu bagian dari menghindari kecurigaan sekuriti, yaitu dengan menyetir santai. Buktinya, tidak ada sekuriti yang mengejar kita. Aku akan terus menyetir seperti ini sampai kita tidak terlihat lagi dari pos sekuriti. Aku khawatir mungkin saja sekuriti masih memperhatikan kita dari sana."

"Kita sudah jauh, Mas Panca." Ayu mengingatkan posisi mereka yang sudah hampir tiba di persimpangan jalan—cukup jauh dari gedung Panembrama Entertainment. "Tidak ada yang memperhatikan kita sejak tadi."

Panca melihat ke kaca spion dan ternyata benar mereka sudah berjalan sangat jauh. Pos sekuriti gedung Panembarama Entertainment juga sudah tidak terlihat lagi. "Oh iya! Aku tidak sadar!"

"Kalau menyetir itu lihat-lihat sekitar! Jangan cuma fokus ke depan!" cetus Ayu.

"Aku fokus untuk menjaga keselamatan kalian juga. Kalau terjadi apa-apa di perjalanan, pengemudi harus bertanggung jawab pada keselamatan penumpangnya."

"Iya, Pak tua. Aku mengerti dengan semua petuahmu."

"Aku belum tua! Ingat itu!"

Ayu menjulurkan lidah pada Panca, lalu membuang mukanya ke arah lain. Hati Ayu masih terasa panas—kesal karena Panca sudah merebut botol air minumnya. Tidak hanya membuat airnya menciprat saja, ulah Panca juga membasahi pakaiannya. Alhasil, Ayu menjadi sedikit kedinginan.

"Semuanya sudah pakai sabuk pengaman?" tanya Panca saat mereka sampai di persimpangan jalan dengan lalu lintas yang lebih ramai.

"Sudah!" seru Ayu yang langsung menoleh pada Panca. "Aku selalu taat pada peraturan berkendara," lanjutnya dengan mood yang cepat berubah—tidak lagi merasa kesal pada Panca.

"Mas Panji sudah pakai..."

"Sudah," potong Panji.

"Karena semuanya sudah pakai sabuk pengaman, sekarang pegangan."

"Oke!" Ayu menyambut instruksi Panca. Tangannya langsung memegang erat pegangan kursi. "Pegangan? Mengapa harus pegangan?" tanya Ayu bingung menyadari keanehan Panca menyuruh mereka pegangan.

"Karena destinasi selanjutnya adalah rumah Mas Judo!" Panca memasukkan perseneling, kemudian menginjak gas membuat mobil van meluncur dengan sangat cepat membelah jalanan kota.

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang