43 | Ricuh (5)

138 19 4
                                    

Panca menemukan jalan keluar dari jalan alternatif dan kembali pada jalan raya yang ramai kendaraan. Namun, ketegangan belum berakhir. Mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tinggi yang sama. Ayu dan Panji tak henti-hentinya berteriak sepanjang perjalanan seperti menaiki roller coaster, sedangkan Panca merasa sangat percaya diri dengan kelihaiannya menyetir. Ia bisa menerobos pasar dengan selamat dan tentunya lolos dari kejaran polisi. Dengan kejadian ini, Panca seperti bisa mewujudkan impiannya menjadi seorang pembalap.

Tak butuh waktu lama bagi Panca untuk sampai di rumah Judo. Matanya menangkap tulisan besar 'Perumahan Wirasena' di depan. Tugasnya membawa sang produser untuk menemui Judo sebentar lagi akan selesai. Panca memutar kemudi menuju gerbang perumahan dan pada saat yang sama, seorang sekuriti di pos penjagaan melihat mobil yang amat dikenalinya. Hanya Judo satu-satunya yang memiliki mobil van mewah seperti itu di Perumahan Wirasena.

Sekuriti tersenyum lega melihat Panca dan Ayu sudah kembali, berharap kedatangan mereka bisa meredakan situasi perumahan yang mulai tidak kondusif karena para wartawan. Akibat pemberitaan 'Skandal Maheswara' ini, mereka tidak luput dari serangan para wartawan yang terus menanyakan seperti apa kejadian sebenarnya sehingga 'Skandal Maheswara' bisa muncul di jagat maya dan menghebohkan masyarakat. Meskipun sekuriti sudah menyatakan tidak mengetahui pasti tentang kejadian malam itu, tetapi para wartawan tetap memaksa mereka untuk buka mulut. Bukan hanya itu, sekuriti juga merasa jengah karena para wartawan tidak mau membubarkan diri dan tetap bersikeras tinggal di depan rumah Judo sebelum mendapatkan keterangan dari sang objek pemberitaan. Pada akhirnya, sekuriti mendapat banyak komplain dari penghuni perumahan yang merasa terganggu dangan kehadiran para wartawan. Teguran demi teguran terus dilayangkan hingga dicap tidak becus bekerja. Sekuriti itu bagaimana? Menangani mereka saja tidak bisa!

Saat mobil van sudah dekat dengan gerbang perumahan, sekuriti berjalan keluar dari pos—berniat menyapa Panca. Namun, sewaktu ia mengangkat tangannya untuk memberi hormat, mobil van melenggang begitu saja tanpa basa-basi.

Bruk!

Sekuriti terjatuh karena menghindari mobil van yang melaju kencang. Ia syok dan hanya bisa melongo memandang mobil van sudah berjalan jauh memasuki perumahan.

"Kau sedang apa?" tanya seorang sekuriti lain yang baru saja kembali dari toilet. Wajahnya terheran-heran melihat rekan kerjanya itu duduk di aspal bukan di dalam pos. Namun, pertanyaannya hanya dibalas diam dengan mata yang mengerjap-ngerjap—tak menyangka hampir celaka beberapa detik yang lalu.

Citttttt!

Panca menginjak rem dengan cepat membuat tubuh Ayu dan Panji terlempar ke depan. Beruntung mereka memakai sabuk pengaman sehingga terhindar dari benturan akibat Panca mengerem mendadak.

Mereka mendarat sempurna di dalam perumahan dengan kondisi mobil van yang benar-benar masih mulus tanpa goresan sedikitpun setelah melalui segala peristiwa membahayakan. Namun, Panca tidak menghentikan mobil di depan rumah Judo, tetapi di blok lain. Dari sana, mereka bisa melihat dengan jelas penampakan rumah Judo yang masih dikepung wartawan.

Ayu mengatur napasnya. Panji belum bersuara. Mereka terdiam—meyakinkan diri masing-masing masih hidup dan selamat setelah melalui marabahaya sepanjang perjalanan.

"Para penumpang yang terhormat, kita telah mendarat di Perumahan Wirasena. Atas nama maskapai, kapten Panca dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat berpisah dan sampai berjumpa lagi dalam penerbangan di lain waktu. Sebelum meninggalkan pesawat, kami ingatkan anda kembali untuk memeriksa bagasi kabin anda agar tidak ada barang yang tertinggal. Terima kasih," tutur Panca menirukan kata-kata pramugari saat pesawat mendarat.

Sontak hal itu membuat Ayu menoleh pada Panca, lalu menatapnya dengan penuh amarah. Panca yang ditatap seperti itu justru melempar senyuman manis—melanjutkan aktingnya dengan menganggap mobil van sebagai pesawat.

Buk! Buk! Buk!

"Aduh! Aduh!!" Panca kesakitan karena pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan Ayu pada tubuh gempalnya.

"Mas Panca jahat!" seru Ayu emosi, kemudian mengakhiri serangan pukulan. "Mas Panca mau membunuh kami semua?" lanjutnya kembali memukul Panca tanpa ampun. Ayu masih belum puas, masih sangat kesal dan marah.

"Aduh! Sudah, Ayu! Sakit!" Panca berusaha menghindar. Namun, apa daya ia tak bisa ke mana-mana karena sedang bersembunyi dari para wartawan. Tidak mungkin Panca turun dari mobil hanya agar tidak terkena pukulan dari Ayu lagi.

"Aduh!" jerit Panca lebih keras dari sebelumnya. Kini Panji yang memberi hukuman dengan menjewer telinga Panca tanpa ampun.

"Jewer terus, Mas Panji!" Ayu menghentikan pukulan, lalu beralih menjadi suporter Panji, memberikan kesempatan sang produser menghukum Panca dengan sangat berat. "Yang keras, Mas Panji! Jangan dilepas!"

"Kau mau aku mati?" Kau senang kalau aku mati?" tanya Panji geram dengan terus menjewer telinga Panca semakin keras. Matanya melotot menatap Panca yang meringis kesakitan.

"Te... tentu saja aku tidak mau Mas Panji mati. Aku akan merasa sedih dan kehilangan kalau Mas Panji tidak ada," jawab Panca sambil menahan sakit.

"Lalu, mengapa kau kebut-kebutan? Kau pikir jalanan adalah sirkuit pribadimu?"

"Tapi, Mas Panji sendiri yang meminta padaku untuk cepat sampai di rumah Mas Judo. Mas Panji bilang tidak peduli bagaimana caranya. Maka dari itu aku ngebut."

"Maksud aku dengan cepat itu bukan dengan kebut-kebutan!" geram Panji semakin menjadi. "Yang kumaksud dengan cepat adalah kau hindari titik-titik keramaian yang akan memperlambat waktu tempuh! Kau bisa menelusuri jalan-jalan alternatif untuk menghindari kemacetan! Aku pikir kau mengerti dengan ucapanku! Maka dari itu aku percaya saja padamu! Kau lihat akibat perbuatanmu itu? Kita sampai dikejar polisi! Mereka pasti sudah mencatat nomor polisi mobil ini!"

"Tadi kita juga sudah lewat jalan alternatif," sahut Panca terus meringis.

"Kau masih belum mengerti juga?" Panji yang geram benar-benar tidak paham pemikiran Panca. "Kau seharusnya melewati jalan-jalan alternatif dari awal kita berangkat! Bukan karena terjebak kemacetan atau dikejar polisi!"

"Ampun, Mas Panji. Aku minta maaf. Aku sudah salah paham. Mengenai polisi dan kekacauan di pasar, aku akan mengurusnya kalau nanti terjadi apa-apa. Tolong lepaskan dulu, Mas. Telingaku sakit sekali." Panca memohon dan seketika Panji melepaskan jeweran dari telinganya yang sudah tampak memerah. "Terima kasih, Mas Panji," lanjut Panca sembari mengusap telinga yang terasa panas.

"Lihat mereka, Mas Panji," tunjuk Ayu ke arah kumpulan wartawan. "Mereka semua sudah berkumpul sejak pagi. Semakin siang, jumlahnya semakin banyak," jelasnya yang langsung mengalihkan perhatian Panji. Tampak wartawan dengan jumlah yang sangat banyak membuat halaman rumah Judo penuh sesak. Adapun yang menunggu di luar halaman, bahkan sampai ke jalanan. "Kami bisa keluar dari rumah Mas Judo dengan mengatakan kalau Mas Judo tidak ada di rumah dan sudah pergi dari jam 5 pagi, tetapi mereka tidak percaya dan tetap bertahan di sana."

"Maka dari itu, aku meminta Mas Panji untuk mengenakan semua properti yang kubawa tadi agar Mas Panji bisa dengan mudah masuk ke rumah Mas Judo," timpal Panca. Meski Panca bersikap tenang menjelaskan rencana, tetapi kerumunan wartawan itu tetap dapat membuat bulu kuduknya berdiri. Panca menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Saatnya eksekusi!" ucap Panca mantap. "Kau siap, Ayu?"

"Aku selalu siap dengan semua rintangan!" sambut Ayu dengan semangat membara.

"Mas Panji siap?" tanya Panca beralih pada Panji di belakangnya.

"Apa boleh buat. Aku terpaksa melakukan ini demi uangku."

Panca dan Ayu menoleh bersamaan pada Panji setelah mendengar suatu kejanggalan—menatap dengan wajah bingung.

"Ma... maksudku adalah Judo sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Aku akan melakukan apapun demi Judo. Aku akan memperjuangkan Judo meskipun diriku sendiri yang menjadi taruhannya," ralat Panji panik sudah kelepasan bicara. Namun, Panca dan Ayu bergeming, memastikan mungkin mereka salah dengar. "Aku siap! Benar-benar siap!" Panji meyakinkan.

Mendengar Panji menyatakan benar-benar siap, Panca dan Ayu menyudahi tatapan mereka, dan tidak lagi memikirkan kejanggalan ucapan Panji.

"Oke! Karena semuanya sudah siap, ayo kita lakukan!" seru Panji.

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang