"Aaargh!!" pekikku dengan keras setelah tadi sempat melihat sebuah mimpi buruk. Mimpi seperti apa, aku sendiri lupa. Yang jelas, aku terbangun oleh mimpi buruk itu.
Kepalaku terasa sakit. Begitu sakit, sampai aku merasa ada sesuatu di bagian tubuh paling atasku ini yang memaksa untuk keluar. Seakan-akan kepalaku menyimpan bom yang siap meledak kapan saja.
Aku mencoba untuk menenangkan diri. Menghirup napas dalam-dalam, dan ternyata malah memberiku masalah baru. Napasku terasa sesak. Sulit bagiku untuk bernapas. Seolah oksigen yang tersedia sangat terbatas di tempat ini, padahal aku bisa melihat ventilasi udara terpasang di bagian atas ruangan.
Bicara soal tempat ini... timbul sebuah pertanyaan di benakku. Aku di mana? Rasa sakit dan sesak ini sempat menunda pikiranku untuk menyadari; aku terbangun di sebuah ruangan kecil yang asing. Dindingnya terbuat dari logam namun sudah banyak karat di berbagai titik. Pencahayaan di ruangan ini juga tidak terlalu bagus.
Dengan rasa sakit kepala dan sesak yang masih terus mengganggu, aku melemparkan tatapanku untuk mengamati seluruh isi ruangan ini. Ada 4 buah CCTV di setiap sudut atas ruangan, mengawasi setiap pergerakanku. Tidak ada benda apapun lagi selain kasur keras tempatku terbaring, serta meja kecil di sebelahnya.
Rasa penasaranku semakin menjadi, menambah sakit kepalaku saja. Aku mencoba untuk memegangi kepalaku, tapi sialnya kedua tanganku terikat di kasur ini. Dan bodohnya, aku baru menyadari itu sekarang. Kedua kakiku juga terikat erat, membuatku merasa tersiksa.
Kemudian dua orang membuka pintu ruangan, menatapku sejenak lalu memutar badan. Seorang pria berambut pirang dengan potongan pendek berbisik pada perempuan yang mendampinginya di depan pintu. "Hanya dia?" bisiknya. Walau samar, tapi aku masih bisa mendengar ucapannya.
Perempuan itu mengangguk pelan. "Hanya dia," jawabnya. "Sebenarnya di sana ada dua kapsul, tapi yang satu sudah kosong."
Lalu keduanya kembali menghadap ke arahku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas sosok keduanya, cahaya di ruangan ini terlalu redup. "Siapa kalian?! Di mana ini?!" tanyaku dengan nada lantang. Aku merasa panik.
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka terdiam sambil menatapku dari pintu yang ada di depanku. "Aku serahkan dia padamu. 'Professor' sudah menunggu laporan dariku," ujar si pria sebelum ia melangkah pergi.
≈≈Ω≈≈
Perempuan itu mendekatiku. Aku meronta, berusaha melepaskan ikatan yang mencengkram kedua tangan dan kakiku. "Mau apa kau?!" pekikku dengan panik saat melihat perempuan itu mengeluarkan sebilah katana yang tadi disarungkan di pinggangnya. Ia bersiap mengayunkan katana-nya, sedangkan aku menutup mata dengan takut, berharap nyawaku masih bisa terselamatkan.
Wuush!! Wuush!! Aku bisa mendengar suara angin saat terbelah oleh katana itu. Tapi aku tidak merasakan apapun. Dengan rasa takut yang masih menggerayangiku, perlahan kubuka kedua mataku. Ikatan yang membelenggu tangan dan kakiku sudah terlepas oleh sabetan katana perempuan itu.
Rasa malu langsung menghantui pikiranku karena sempat berpikir perempuan itu akan membunuhku.
Dia menghampiriku, mendekatkan wajahnya padaku. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas wajah manisnya. Bentuk wajahnya agak membulat, hidungnya cukup mancung, bibirnya tidak tipis tapi juga tidak tebal. Matanya lumayan sipit seperti orang asia. Dari wajahnya, aku bisa memperkirakan perempuan ini seumuran denganku, sekitar 20 tahunan.
Dengan alis yang berkerut, dia menatapku. Aku bisa merasakan banyak pertanyaan dari tatapannya. "Namaku Feona. Kau boleh memanggilku 'Feo'," ucapnya memperkenalkan diri.
Aku tidak ingin dicap sebagai orang yang tak tahu sopan santun olehnya. Karena itu, aku pun memperkenalkan diri. "Namaku Arlass. Orang-orang biasa memanggilku 'Lass'. Kau boleh memanggilku Lass."
Mendengar namaku terucap, Feo tersenyum lega. Entah apa alasannya. Kemudian dia berkata padaku, "Aku tahu kau punya banyak pertanyaan di dalam benakmu. Untuk sekarang, beristirahatlah dulu. Wajahmu pucat."
Apa yang Feo ucapkan itu benar. Tubuhku memang terasa lemas dan terasa dingin, sakit di kepalaku juga masih belum hilang. Terpaksa segala pertanyaan dalam benakku harus kusimpan dulu.
Feo memberikanku segelas air yang sedari awal terletak di meja kecil ruangan ini. Aku menyambutnya dengan senang, kondisi yang membingungkan ini sampai membuatku melupakan dahaga.
Aku meneguk air minum ini dengan cepat, tapi kemudian aku menyemburkannya lagi. Rasanya pahit, ada aroma besi berkarat menyeruak dari air yang baru saja kuminum itu. "Air apa ini?!" ucapku dengan spontan. Rasa pahit dari air itu masih berbekas di tenggorokanku, membuatku muak.
Perempuan itu terdiam dengan alis berkerut. Raut wajahnya terlihat khawatir. Mungkin ia khawatir dengan reaksiku. Apa aku terlalu bersikap berlebihan?
Lalu Feo mengambil gelas yang hampir saja ku jatuhkan tadi. Sambil memaksakan senyumnya, ia berkata padaku, "Maafkan aku. Aku akan mencarikan air jernih untukmu." Setelah itu dia pergi meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
Kepergiannya memberiku kesempatan untuk merenungi situasi dan kondisi yang tengah terjadi padaku. Otakku mulai memikirkan berbagai kemungkinan tentang di mana aku berada saat ini. Aku merebahkan tubuhku di kasur, menatap langit-langit ruangan dengan pikiran yang menjelajah memori.
Untuk mendapatkan jawaban, aku harus mengingat lagi peristiwa terakhir, sebelum aku sampai di tempat asing ini....
≈≈Ω≈≈
KAMU SEDANG MEMBACA
D-Genesis : Reversed
Science FictionDi tahun 2025, seorang ilmuwan ahli genetika berhasil menciptakan sebuah serum yang mampu meningkatkan potensi manusia secara maksimal. Setelah bertahun-tahun meneliti, ayahku, Dr. Sheer Genesia, akhirnya bisa membuktikan pada dunia kalau teorinya t...