46 | Ricuh (5)

117 20 7
                                    

"Apakah kau sudah selesai bicara dengannya?" tanya Mas Panji pada Ayu. Aku menoleh cepat dan menemukan Ayu yang sudah kembali bergabung dengan kami bertiga.

"Tentu saja," jawab Ayu ceria.

"Lalu, bagaimana?" timpal Panca.

"Aku rasa dia orang normal," ungkap Ayu singkat.

"Jangan pakai perasaan. Itu tidak meyakinkan sama sekali," balas Panca meremehkan. "Seharusnya kau pakai logika. Setelah mendengar penjelasan Mas Judo dan melihat sikapnya yang kurang ajar pada Mas Panji, kelihatan sekali kalau perempuan itu memang tidak waras."

"Insting seorang wanita itu kuat, Mas Panca. Aku rasa dia sedang kebingungan, sehingga bicaranya meracau dan sikapnya aneh seperti itu. Caranya bicara padaku terdengar lembut, tidak menunjukkan kalau dirinya adalah orang jahat seperti yang Mas Panca pikirkan. Tatapan matanya juga tidak kosong. Hal itu yang membuatku yakin kalau dia orang normal, bukan orang tidak waras seperti anggapan Mas Judo," jelas Ayu panjang lebar.

"Mengapa kau malah membela perempuan itu?" Aku angkat bicara dengan hati penuh perasaan kesal. "Sebenarnya, kau berada di pihak siapa?"

"Ini bukan masalah siapa berpihak pada siapa. Ini hanya masalah komunikasi."

"Komunikasi apa maksudmu?"

"Hal seperti ini yang membuat masalah tidak akan pernah selesai," ucap Ayu, kemudian menghela napas. "Sejak awal aku perhatikan, cara kalian menghadapi dia itu salah. Jelas saja dia tidak mau diajak bicara karena kalian memperlakukannya dengan kasar. Dia seorang wanita. Seharusnya, kalian bersikap lembut dan sabar padanya. Dengan begitu, dia pasti mau diajak bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini."

"Menyelesaikan masalah bagaimana? Jelas-jelas dia sumber masalah ini," ujarku semakin kesal.

"Hei, Ayu! Dari kemarin kau selalu membela perempuan itu. Cobalah sedikit saja merasa curiga padanya. Dia orang asing. Identitasnya juga tidak jelas. Kalau terjadi apa-apa pada Mas Judo memangnya kau mau tanggung jawab?" Panca geleng-geleng kepala.

"Aku hanya berpikir positif. Kita tidak bisa langsung menghakiminya begitu saja, kan?" Ayu menekankan nada suaranya. "Melihat kondisinya yang kebingungan seperti itu, kita tidak bisa tergesa-gesa. Jika kita memaksanya, bisa saja dia bersikap lebih parah dari ini."

"Kita laporkan saja perempuan itu ke polisi," usul Panca tiba-tiba.

"Jangan," tolakku cepat-cepat setelah melihat mata Ayu membulat sempurna mendengar keputusan Panca. Bukan karena pemikiranku berubah tentang perempuan itu dan mengikuti kemauan Ayu, tetapi aku merasa keputusan Panca mungkin akan memperburuk situasi.

"Mengapa?" tanya Mas Panji dengan mimik wajah terheran-heran dan kening mengernyit. Matanya pun memandang lurus-lurus padaku. "Perempuan itu sudah menyelinap ke bagasi mobil, Judo. Kita bisa melaporkannya sebagai kasus penguntitan."

"Tidak semudah itu, Mas Panji," jedaku beberapa detik. "Kalau polisi ikut campur, masalahnya akan bertambah panjang. Awak media akan semakin gencar menyerang. Aku tidak mau situasi bertambah panas dan kehidupanku lebih terganggu."

Aku berdiam diri cukup lama. Otakku terus berpikir bagaimana caranya agar masalah ini cepat selesai tanpa gangguan wartawan atau campur tangan pihak lain.

"Mas Judo," tegur Ayu.

Aku menoleh perlahan--menatap Ayu di sampingku. Panca dan Mas Panji juga tampak menunggu. Dengan pertimbangan matang, akhirnya aku mendapat jawaban.

"Adakan konferensi pers untukku," ucapku mantap.

"Apa?" tanya Ayu, Panca, dan Mas Panji ramai-ramai dengan dahi mengerut dan wajah kebingungan.

"Memang agak beresiko, tapi terpikirkan olehku kalau ini satu-satunya cara untuk menghentikan 'Skandal Maheswara'," lanjutku meyakinkan.

"Kau jangan macam-macam, Judo!" tegas Mas Panji dengan mata melotot. "Apa yang akan kau katakan pada wartawan? Sedangkan, kau sendiri melarang kami melaporkan perempuan itu ke polisi."

"Aku melakukannya semata-mata untuk menjaga image –ku sebagai idol yang sempurna. Aku tidak mau image –ku menjadi buruk karena berita 'Skandal Maheswara' ini," tuturku lebih rinci.

"Aku mengerti, Judo. Aku juga tidak mau hal itu terjadi. Yang aku khawatirkan adalah tindakanmu yang gegabah mengadakan konferensi pers justru akan menambah masalah kalau kau melakukan kesalahan sedikit saja di depan awak media. Ini bukan hanya menyangkut karirmu, tetapi nasib Panembrama Entertainment juga," ujar Mas Panji menatapku penuh keraguan.

"Aku tahu apa yang aku lakukan, Mas," sahutku meyakinkan Mas Panji. "Aku yakin dengan ide ini, berita 'Skandal Maheswara' akan meredup. Orang-orang akan melupakannya sementara waktu. Selama itu juga, kita manfaatkan waktu untuk mencari tahu siapa perempuan itu sebenarnya," jelasku, lalu beralih pada Panca. "Apakah besok jadwalku kosong?"

"Sebentar, Mas," jawab Panca yang langsung mengeluarkan tablet dari dalam tas. Jemarinya mengetuk cepat pada permukaan layar tablet dengan mata yang bergerak--membaca apa yang tertulis di sana. "Selain wawancara dengan majalah Donahue yang sudah dibatalkan, jadwal Mas Judo besok kosong."

"Mas Panji, jadwalkan konferensi pers untukku besok siang." Aku berpaling pada Mas Panji setelah selesai mendengarkan laporan Panca.

"Tapi, Mas Judo," sela Panca sehingga aku beralih padanya lagi. "Sama seperti Mas Panji, aku juga khawatir dengan ide ini, Mas."

"Apakah aku harus mengulangi ucapanku lagi?" tegasku. "Hanya ini satu-satunya cara!"

"Oke!" seru Mas Panji membuatku sontak menoleh. "Aku setuju dengan ide gila ini. Aku tidak tahu apa yang ingin kau katakan dan kau lakukan saat konferensi pers nanti. Ingat baik-baik! Kau bukan hanya mempertaruhkan namamu, tapi nama Panembrama Entertainment juga. Nasib kami ada di tanganmu!"

"Bagaimana dengan Kamala Wikrama Indurasmi? Apakah Mas Judo akan membawa Kamala Wikrama Indurasmi ke konferensi pers?" tanya Ayu santai.

"Jangan sebut namanya," ucapku ketus. Telingaku panas mendengar nama perempuan tidak waras itu,  apalagi nama lengkapnya. "Benar-benar menyebalkan."

"Oh, kalau begitu apakah Mas Judo akan membawa perempuan itu ke konferensi pers?" ralat Ayu tanpa merasa berdosa sudah membuatku kesal.

"Tentu saja. Untuk apa aku mengadakan konferensi pers kalau aku tidak membawanya ke sana? Aku harus menjelaskan semuanya pada wartawan," jawabku yang masih diliputi perasaan kesal.

"Apakah perempuan itu akan pergi ke konferensi pers dengan piyama Mas Judo?" tanya Ayu lagi. "Dia hanya membawa satu pakaian yang dikenakannya semalam sewaktu kita menemukannya di bagasi mobil."

Aku lantas menoleh untuk melihat si perempuan tidak waras yang masih duduk dengan tenang di sofa. Betul kata Ayu, ia mengenakan piyama putihku. Dan itu telihat kebesaran di tubuh rampingnya.

"Lalu, apa masalahnya?" tanyaku kembali pada Ayu.

"Mas Judo itu bagaimana?" Ayu berbalik bertanya. "Dia tidak punya pakaian lagi. Setidaknya, belikan dia pakaian baru untuk datang ke konferensi pers. Aku heran. Mas Judo benar-benar tidak mengerti cara memperlakukan seorang wanita."

"Pinjamkan saja pakaianmu. Beres 'kan?" ucapku santai.

"Mas Judo meledek aku?" balas Ayu. "Tubuh dia tinggi sekali. Pakaianku tidak mungkin muat di tubuhnya. Aku sadar kalau aku kurang tinggi, tapi bukan seperti itu juga cara mengingatkannya."

"Jadi, aku harus membelikan dia pakaian?" tanyaku yang disambut Ayu dengan lemparan senyuman manis. "Lalu, bagaimana caranya aku keluar sedangkan wartawan masih mengepung rumahku?"

"Tentu saja dengan konferensi pers seperti ide Mas Judo tadi," jawab Ayu percaya diri.

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang